Tarikh

Persatuan Asia Tenggara Di Bawah Khilafah: Visi Politik Sultan Aceh (4)

Sejak kapan Kesultanan Aceh berada “di bawah perintah Sultan Rum”? Darimana para ulèëbalang itu mengetahuinya? Hal ini dijawab Sultan Manshur Syah dalam suratnya yang berbahasa Arab (yang artinya):

 

Setelah mengecup “Jenjang-jenjang tangga yang tinggi” yang merupakan tempat perlindungan bagi para pencari kebaikan dan tempat kemurahan yang tidak akan kecewa orang yang mendatanginya, maka telah sampai kepada “Pendengaran yang mulia dan Perasaan yang penuh kasih sayang” bahwa sesungguhnya kami seluruh penduduk Negeri Aceh, bahkan seluruh penduduk Pulau Sumatera tergolong sebagai rakyatnya Negara Adidaya Utsmaniyyah, dari generasi ke generasi semenjak zaman Tuan kami al-Marhum Sultan Selim Khan anak al-Marhum Tuan kami Sultan Sulayman Khan anak al-Marhum Tuan kami Sultan Selim Abu al-Futuh Khan. Semoga terlimpah rahmat dan ridha Allah atas mereka semuanya. Itu telah tercantum dalam arsip kesultanan.1

 

Menurut Sultan Manshur Syah, segenap penduduk Aceh atau bahkan seluruh penduduk Pulau Sumatera “tergolong sebagai rakyat Negara Adidaya Utsmaniyah dari generasi ke generasi” (kulluhum mahsûbîna min ri’âyâ al-Daulah al-‘Aliyyah al-‘Utsmâniyyah jîlan ba’da jîl).

Ketergolongan mereka sebagai rakyat Khilafah Utsmaniyah sudah berlangsung, sebut Sultan Manshur Syah, sejak masa Sultan Selim II bin Sulayman al-Qanuni bin Selim I. Klaim penguasa Aceh ini memiliki tingkat akurasi historis yang cukup sempurna. Ia mendaulatkan pengakuannya dengan merujuk pada “arsip kesultanan” (wa dzâlika matsbûtan fî al-dafâtir as-sulthâniyyah). Ini menandakan bahwa sampai abad ke-19, Kesultanan Aceh memiliki kumpulan dokumen resmi yang mencatat berbagai kejadian penting semenjak masa-masa awal Kesultanan ini berdiri di abad ke-16. Betapa rapihnya kerja administratif dan tradisi pencatatan resmi pemerintahan Kesultanan Aceh. Sayang, dokumen arsip resmi tersebut tidak bisa kita temukan hari ini, sebagai buah pahit dari peperangan dengan Belanda.

Rumah Teungku Qadhi Malik al-‘Adil, salah seorang wazir Kesultanan Aceh yang menyimpan arsip-arsip Kesultanan (al-dafâtir as-sulthâniyyah) dibakar Belanda pada 19 Desember 1873. Begitu pula salah satu rumah Panglima Polem yang aktif mempertahankan dalem (istana) tatkala diserang Belanda. Rumahnya yang ada di Peunayong dan tersimpan di dalamnya arsip-arsip Sultan dan dokumen-dokumen sejarah lainnya yang musnah dimakan api.2

Meski demikian, kita sungguh beruntung karena ada juga arsip-arsip Kesultanan Aceh yang tersimpan di Istanbul. Di dalam Arsip Istana Topkapi, misalnya, sampai saat ini masih tersimpan surat dari penguasa Aceh yang ketiga, Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar (k. 1537-1571) yang dikirim kepada Khalifah Sulayman al-Qanuni (k. 1520-1566). Dalam suratnya yang dikirim pada tahun 1566, dengan terang-benderang Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar berbaiat dan menyatakan ketundukannya di bawah otoritas Khilafah Utsmaniyah:

 

Dengan bersungguh-sungguh, kami meminta agar Padisyah (Khalifah Sulayman al-Qanuni) tidak lagi memandang saya, hambanya di tanah (Aceh) ini, sebagai penguasa yang independen, melainkan sudi menerima saya sebagai hambanya yang miskin dan rendah, yang dapat berkuasa berkat kemurahan hati Sang Padisyah, sang pelindung dunia, naungan Allah (di muka bumi); dengan jalan yang tiada berbeda dari gubernur Mesir, Yaman, atau para Bey di Jeddah dan Aden (ol-dergah-i Mu’alla’ya reca-i vasikimuz oldur ki; bu bendelerini sayir Padisyahlar idadindan saymayup kendü kullarindan diyar-i Misir Beylerbeyisi veyahud Yemen Beylerbeyisi veya Cidde ve Aden Beyleri kullari idadindan Padisyah-i alem-penah-i zill-i فlah hazretlerinün etraf vilayetlerinde sadaka yiyen garib ü miskin ü khazin kullari idadindan ma’dud buyuralar).

 

Dalam waktu bersamaan, langkah Sultan al-Qahhar ternyata diikuti oleh penguasa Maldives, Gujarat, Srilangka dan Kalkuta. Mereka berharap agar diakui sebagai gubernur (sancak bey) dari kuasa Khilafah Utsmaniyah.3

Tatkala surat ini sampai ke Istanbul, Khalifah Sulaiman al-Qanuni baru saja wafat sebagai syuhada dalam jihadnya di Hungaria. Namun demikian, surat tersebut tetap mendapat perhatian dari Selim II (k. 1566-1574) yang menggantikan ayahnya untuk menjadi Khalifah. Selim II pun menerima baiat Sultan Aceh dan mengirimkan bala bantuan militer ke Aceh untuk membantu Aceh melawan Portugis.4

Memang bala tentara yang dikirim Istanbul ke Aceh menemui hambatan. Di tengah jalan tugas mereka dialihkan untuk menumpas sebuah pemberontakan di Yaman. Namun, Selim II berjanji, “insya Allah, dengan pertolongan-Nya, fitnah dan kerusakan itu akan dibasmi, dan armada perang akan diberangkatkan ke wilayah yang sudah disepakati sebelumnya” (insyâ’allâhü te’âlâ inâyet-i hakk celle ve alâ ile ol cânibün fitne vü fesâd1 def’u ref’ oldukdan sonra zikrolunan Donanma-i Hümâyûn mu’âhade olundugi üzre müretteb ü mükemmel bî-kusûr irsâl ü îsâl olunur).5

Para sejarahwan mencatat, akhirnya dua kapal perang Utsmaniyah dapat berlabuh di pantai Aceh sekitar tahun 1568 atau 1569.6

Keterangan menarik diberikan oleh Saffet Bey, seorang tentara angkatan laut Utsmaniyah merangkap sejarahwan yang hidup di awal abad ke-20. Dalam tulisan yang ia rilis pada 1912, Saffet Bey menceritakan keterangan seorang anggota keluarga Istana Aceh yang menemui dirinya pada Oktober 1911 di Istanbul:

 

Jauh di masa lalu utusan-utusan dari Aceh berangkat ke Dersa’adet (Istanbul), tempat kedudukan hadarat Sang Pelindung Khilafah (hazret-i hilafetpenahi’den), untuk mencari bantuan. Hasilnya, dua kapal Utsmaniyyah dikirim ke Aceh, bersama banyak prajurit dan perajin. Senjata-senjata api dan bendera-bendera dari kedua kapal itu tetap tinggal di Aceh sampai perang melawan Belanda. Tidak ada kapal atau prajurit yang kembali ke Dersa’adet. Mereka mendirikan desa Utsmaniyyah di Aceh. Penduduk desa ini tetap menganggap diri orang Utsmaniyyah, meski mereka sudah terserap sepenuhnya ke dalam budaya Aceh. Bersama kedua kapal itu tiba pula sebuah ferman, yang masih dalam tangan raja yang terakhir yang dibuang ke Ambon (Sultan ‘Ala’uddin Muhammad Dawud Syah)…7

 

Sebagaimana yang disinggung Saffet Bey, sampai hari ini kita dapat menjumpai komplek pemakaman yang diyakini sebagai makam tentara-tentara Khilafah ‘Utsmaniyah di Aceh. Komplek pemakaman tersebut terletak di Gampong Bitay, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh. Selain Gampong Bitay, ada tiga desa lain di Banda Aceh yang dulunya disinyalir menjadi hunian orang-orang Utsmaniyah, yakni Gampong Pande, Gampong Emperom dan Gampong Mulia. Di Gampong Pande, tahun 2013 lalu ditemukan sekitar 6.000 dinar emas yang kesemuanya dicetak oleh otoritas Khilafah Utsmaniyah.

Saffet Bey juga menyebut adanya sebuah ferman dari Sultan Selim II yang tetap berada di Aceh sampai sultannya yang terakhir dibuang Belanda. Ferman merupakan surat resmi dari penguasa Utsmaniyah berupa penunjukkan seseorang untuk menduduki jabatan tertentu. Dalam kasus Aceh, pada tahun 1566 mereka telah mengirim surat ke Istanbul agar mereka diakui sebagai gubernur Utsmaniyah (sancak bey/veli). Maka dalam suratnya yang berbahasa Arab bertarikh 1850 itu, Sultan Manshur Syah menjelaskan (yang artinya):

 

Pulau itu (Sumatera) adalah pulau yang besar dan terhampar memanjang. Ia meliputi sejumlah negeri. Setiap negeri memiliki seorang wali (gubernur) yang berada di bawah otoritas Negara Adidaya Utsmaniyyah. Namun setiap wali itu digelari sebagai sultan dan raja sesuai cara mereka masing-masing, lantaran setiap mereka bebas untuk mengurus dan bertindak terhadap penduduk negeri mereka, serta tidak dapat dihalang seorang pun. Mereka hidup dalam keadaan stabil sebab al-Marhum Wazir Agung Sinan Pasya telah mengakui sultan setiap negeri atas kesultanannya terhadap penghuni negeri itu.8

 

Sultan Manshur Syah menegaskan, setiap sultan yang berkuasa di Pulau Sumatera sejatinya adalah gubernur di bawah otoritas Negara Adidaya Utsmaniyah (wa li kulli iqlîmin wâlun man tahta al-Daulah al-‘Aliyyah al-‘Uamâniyyah). Mungkin ferman yang disebut Saffet Bey berdasarkan penuturan yang ia dengar dari salah seorang keluarga istana Aceh belum dapat kita temukan. Namun, berdasarkan penelitian Gِksoy, dalam surat perintahnya kepada gubernur Mesir pada 22 Rajab 975 (22 Januari 1568), Sultan Selim II telah menyebut Aceh dengan istilah “provinsi” (vilayet-i Aci).9

Bagaimana Aceh bisa mendapatkan status sebagai provinsi dari Khilafah Utsmaniyah? Sultan Manshur Syah menyebut peran seorang pejabat tinggi Utsmaniyyah di masa Selim II yang bernama Sinan Pasya. Sejatinya, ketika surat-menyurat antara Aceh-Istanbul terjadi sepanjang tahun 1566-1568, Sinan Pasya yang dimaksud sedang menjabat sebagai gubernur Mesir, bukan wazir agungnya Sultan Selim II. Jabatan wazir agung kala itu dipegang oleh negarawan hebat Utsmaniyah yang mempunyai visi ekspansioner global, Sokullu Mehmed Pasya. Adapun Sinan Pasya yang dimaksud baru menjadi wazir agung di tahun 1580. Namun begitu, Sultan Manshur Syah tetap menganggap Sinan Pasya-lah sang wazir agung yang telah “mengakui sultan setiap negeri (di Sumatera) atas kesultanannya terhadap penghuni negeri itu” (qarrara sulthân kulla iqlîmin ‘alâ sulthânatihi fî ahli iqlîmihi).10

Kadi, Peacock dan Gallop tidak menutup kemungkinan bahwa Sinan Pasya memang pernah menginjakkan kaki di Sumatera setelah ia dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan di Yaman, walau saat itu Sinan Pasya masih berstatus sebagai gubernur Mesir, bukan wazir agung.11

Informasi historis yang cukup lengkap tentang Sinan Pasya justru diterangkan oleh utusan Sultan Manshur Syah yang dikirim pada tahun 1849 ke Istanbul, Muhammad Ghauts, dalam suratnya kepada Gubernur Makkah, Mehmed Hasib Pasya (yang artinya):

 

Alasan dari semua itu, karena pada zaman leluhur Tuan kami (Sultan Manshur Syah), Sinan Pasya datang ke Aceh dengan kapal-kapal perang dan sejumlah besar (orang). Sultan Aceh yang berkuasa saat itu (Sultan ‘Ala’uddin Ri’ayat Syah al-Qahhar) menemui Sinan Pasya dan begitu memuliakannya. Ia menyerahkan kerajaannya kepadanya dan menjadikan dirinya di bawah ketaatan kepada Sinan Pasya yang telah disebutkan. Ia mengkaruniakannya dengan hadiah-hadiah yang mulia dan pemberian-pemberian yang melimpah, dan Sinan Pasya menyebarkan keamanan dan kedamaian di seluruh negeri itu. Di negeri Aceh telah diketemukan tembaga, maka Sang Pasya memerintahkan agar tembaga itu dicor untuk dibuat meriam dan senapan yang banyak. Mereka memahat di atas meriam itu tahun pengecoran, nama pengecornya, dan nama Tuan kami al-Marhum Sultan Selim Khan beserta nama sang penguasa Aceh. Sinan Pasya juga memerintahkan penduduk Aceh agar mempelajari cara mengecor tembaga dari mereka. Maka rakyat Aceh belajar dari mereka dan membuat banyak sekali meriam. Al-Marhum Sinan Pasya yang telah disebutkan menegakkan aturan di seluruh pulau Sumatera dan di seluruh negeri-negerinya. Ia menyempurnakan dan memberikan hak kekuasaan atas setiap negeri kepada sultannya dan mengakui tiap-tiap sultan itu atas kerajaannya, kemudian ia kembali ke al-Haramayn asy-Syarifayn. Maka semenjak masa itulah seluruh pulau tersebut berada dalam otoritas Negara Adidaya Utsmaniyyah dan senantiasa taat kepadanya, dari generasi ke generasi sampai hari ini.12

 

[Bersambung]

 

Catatan Kaki:

1        BOA. I.HR, 73/3511 (2)

2        Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 27

3        Topkapi Sarayi Müsezi Arsivi, E-8009

4        BOA. Bab-i Asafi Divan-i Hümayun Mühimme Kalemi (A.DVNS.MHM), 7/244

5        BOA. A.DVNS.MHM, 7/708

6        Ismail Hakki Gِksoy, Ottoman-Aceh Relations as Documented in Turkish Sources, dalam R. Michael Feener dkk (eds). Mapping The Acehnese Past, (Leiden: KITLV Press, 2011), 78

7        Saffet Bey, Bir Osmanli Filosunun Sumatra Seferi, Tarih-i Osmani Encümeni Mecmuasi, 11 (Istanbul, 1329/1911), 682

8        BOA. I.HR, 73/3511 (2)

9        Ismail Hakki Gِksoy, Ottoman-Aceh Relations, dalam R. Michael Feener, dkk (eds), Mapping The Acehnese Past, 75

10      BOA. I.HR, 73/3511 (2)

11      Ismail Hakk‎ Kadi, A.C.S Peacock, dan Annabel Teh Gallop, ‘Writing History: The Acehnese Embassy to Istanbul, 1849-1852’, dalam R. Michael Feener, dkk (eds). Mapping The Acehnese Past, (Leiden: KITLV Press, 2011), 168

12      BOA. I.HR, 66/3208 (4)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × 5 =

Back to top button