Spirit Islam Dalam Perlawanan Umat Tatar Sunda Terhadap Penjajah (Lanjutan)
Kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya secara mazhab jelas berbeda dengan Makkah ataupun Ulama Jawi. Pasalnya, Utsmaniyah dan para penulis adalah Hanafiyah, sedangkan Makkah secara umum termasuk Ulama Jawi adalah Syafiiyah. Persembahan penulis syarah kepada Khalifah Murad III hingga kini tercetak dalam naskah yang dipakai di berbagai pesantren Nusantara. Setidaknya, ditemukan data bahwa kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya sudah diajarkan oleh thabaqah (tingkatan generasi) Ulama setelah KH Tb. Ahmad Bakri Sempur dan KH Hasyim Asy’ari rahimahumalLâh. Ini berarti kitab tersebut sudah dikenal luas di era keduanya ataupun pada masa para gurunya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya sampai ke Nusantara melalui hubungan Makkah sebagai bagian Wilayah (setingkat Kegubernuran/Provinsi) dari Khilafah Utsmaniyah saat itu dengan para Ulama Jawi yang belajar di sana. Oleh karena itu, kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya dapat dianggap semacam panduan resmi Khilafah dalam pelaksanaan pendidikan Islam.
Adapun pengaruh kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya jelas terlihat dalam Kurikulum Pesantren Salafiyah (Tradisional), terutama di Pulau Jawa, khususnya terkait adab terhadap ilmu dan ulama. Sebagian pihak menuduh pengaruh tersebut adalah “penghambat kemajuan” yang tidak sesuai dengan perkembangan pendidikan modern.
Kritis terhadap kajian Pendidikan Islam pada masa lalu dibenarkan jika bersandar pada dalil dalam bahasan materi ajar dan metode belajar dan bersandar pendekatan ilmiah dalam bahasan teknik dan sarananya. Adapun kritik bersandarkan pada konsep Pendidikan Barat jelas keliru karena sudah berbeda sejak asasnya, yakni Sekulerisme. Apa yang dianggap tradisi masa lalu oleh Pendidikan Barat sebagiannya adalah bagian dari hukum syariah, termasuk konsep utama seputar adab terhadap ilmu dan ulama.
Apa yang dikaji dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya yang bersandar pada pendapat Ulama Hanafiyah tidak berbeda dengan penjelasan dalam kitab Tadzkirah as-Sâmi’ wa al-Mutakallim karya Imam Ibn Jama’ah yang bersandar pada pendapat Ulama Syafiiyah. Pada umumnya, ia merujuk pada tradisi belajar-mengajar para Ulama di era Sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ at-Tabi’în. Bahkan sebagiannya jelas dinisbahkan pada masa Nabi saw.
Adab terhadap ilmu dan ulama yang diajarkan dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya adalah bagian dari hukum syariah, bukan sekadar tradisi masyarakat yang boleh berubah. Ini karena semua itu bersandar pada Hadis Nabi saw. dan pendapat Sahabat dan Tâbi’în serta para ulama setelahnya. Artinya, bisa jadi rujukannya adalah dalil ataupun ijtihad ulama.
Kajian Pendidikan Islam dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya bisa dibandingkan dengan karya ulama lain dengan mazhab berbeda, selain at-Tadzkirah-nya Imam Ibn Jama’ah, semisal Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih-nya Imam al-Khathib al-Baghdadi, Jâmi’ Bayan al-‘Ilm wa Fadhlih-nya Imam Ibn Abdill Barr, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn-nya Imam al-Ghazali, At-Tibyân fi Adab Hamlah al-Qur`ân dan al-Majmû’-nya Imam an-Nawawi.
Apalagi penulis Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya adalah Ulama Hanafiyah yang mazhabnya dikenal sebagai Ahli Ra‘yu. Jika kajiannya sesuai dengan pendapat Ahli Atsar, yang menunjukkan adab-adab yang masyhur dalam kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarah-nya, itu adalah bagian dari ajaran Islam yang tidak bisa digantikan oleh teori apapun dari Pendidikan Barat. Yang juga termasuk dalam bahasan ini ialah adanya keterkaitan maksiat dengan keberkahan ilmu, yang ditolak oleh Pendidikan Barat yang dianggap “modern”. Bagi para pelajar Muslim, keterikatan pada hukum syariah adalah perkara penentu dalam hasilnya ilmu bermanfaat bagi bagi dirinya dan masyarakat secara umum. Keberkahan ilmu yang didapatkan melalui penerapan adab terhadap ilmu dan ulama merupakan ciri khas santri dan alumni dari Pesantren Salafiyah di Nusantara secara umum, terutama di Pulau Jawa. WalLâhu A’lam.
Pengaruh lain juga dapat ditemukan dalam perlawanan terhadap serangan pemikiran Barat melalui isu Modernisme yang dibawa al-Afghani, Abduh dan Rasyid Ridha yang menyerukan Ijtihad Mutlak. Jika diteliti secara seksama dengan memperhatikan kondisi politik dan sosial pada masa tersebut, dapat disimpulkan itu merupakan Tafsir Konstekstual terhadap syariah Islam yang sudah mapan dalam kitab-kitab fiqih. Ini adalah metodologi baru “bid’ah” yang bersandar pada teori Hermeneutika para peneliti Bibel. Di antara ajarannya ialah adanya kemungkinan bahwa Sistem Khilafah bukanlah satu-satunya bentuk Pemerintahan Islam yang baku. Mereka menjadikan hukum-hukum syariah disesuaikan dengan kondisi dan fakta yang “dipaksakan” para kafir penjajah terhadap negeri-negeri Islam. Pemikiran Barat masuk melalui jalur ini dirintis langsung dari al-Azhar asy-Syarif yang “tersandera” oleh Westernisasi yang dilakukan sejak serangan Prancis ke Mesir, terutama dilakukan oleh agen mereka yang menjadi penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasya.
Di antara ulama rujukan Ashabul-Jawiyyah dalam isu Modernisme ini ialah Syaikh Yusuf ibn Isma’il an-Nabhani,1
[Abdurrahman Al-Khaddami dan Wirahadi Geusan Ulin ; (Tim Penulis Naskah Film Jejak Khilafah di Tatar Sunda)]Catatan Kaki:
1 Beliau adalah al-‘Allamah al-Musnid al-Qadhi Syaikhuna Yusuf ibn Isma’il ibn Yusuf ibn Isma’il ibn Muhammad Nashiruddin an-Nabhani asy-Syafi’i al-Azhari. Lahir pada tahun 1265 H/ 1849 M di daerah Ijzim utara Palestina dan wafat sekitar tahun 1350 H/ 1932 M. Beliau belajar al-Quran, bahasa Arab, fiqih dan akhlak dari Sang Ayah, yakni Syaikh Isma’il ibn Yusuf an-Nabhani, kemudian sejak 1283 – 1289 H/ 1886 – 1872 M menempuh studi keislaman di al-Azhar asy-Syarif, Mesir. Diantara para guru beliau ialah para Masyayikh al-Azhar. Pada umumnya mereka merupakan Ulama Syafiiyah dan sebagiannya Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Beliau juga mengambil sanad beberapa Thariqah Sufiyah: Idrisiyah, Syadziliyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Rifa’iyah dan Khalwatiyah. Lulus dari al-Azhar asy-Syarif dilanjutkan mengajar di daerah ‘Akka, Palestina.
Selama masa penjajahan Inggris, beliau menolak menjadi Mufti di Palestina karena tidak diizinkan untuk berhukum dengan Islam. Beliau juga dikenal sebagai pembela utama bagi Daulah Khilafah Utsmaniyah, terutama pada masa Khalifah Abdul Hamid II ibn Abdul Majid Khan al-Ghazi. Beliau bahkan secara khusus menulis kitab Al-Ahaadits al-Arba’iin fii Wujuub Thaa’ah Amiir al-Mu‘miniin dan Khulaashah al-Bayaan fii Ba’dhi Ma‘aatsir Mawlanaa ash-Shulthaan ‘Abdil Hamiid ats-Tsaani wa Ajdadihi Ali Utsmaan, serta karya lainnya. Tujuannya untuk meneguhkan kedudukan Sang Khilafah dan mengajak umat Islam untuk membela dan mendukung Khaligah. Beliau juga mengajak umat agar mengemban Jihad fi Sabilillah dalam melawan kafir penjajah, semisal Inggris, Perancis dan Rusia. Beliau menulis Al-Ahaadits al-Arba’iin fii Fadhl al-Jihaad wa al-Mujaahidiin.
Beliau aktif mengkritisi berbagai pemikiran-pemikiran yang menyerang syariah Islam serta kesatuan umat dan dawlah. Gerakan Wahabiyah-Su’udiyah pada masa lalu telah dimanfaatkan Inggris untuk mengoncang kesatuan umat dan Khilafah melalui isu-isu agama semisal syirik, tawasul dan ziarah kubur. Beliau menjawab hujjah mereka dalam berbagai kitab, semisal Syawaahid al-Haqq fii al-Istighaatsah bi Sayyid al-Khalaq. Beliau sekaligus meneguhkan kedudukan Khilafah Utsmaniyah. Pasalnya, masalah utama mereka adalah pemberontakan dan secara nyata dilakukan saat melakukan baiat atas kekuasaan, padahal Khalifah sudah ada. Mereka menyerang Hijaz, Irak dan Syam yang secara jelas merupakan wilayah yang diurus oleh Khilafah Utsmaniyah.
Kelompok Modernis (‘Ashriyyah) dari Arab maupun Turki, yang merupakan lulusan sekolah Misionaris, universitas luar negeri di Inggris atau Prancis ataupun bagian dari al-Azhar asy-Syarif yang ter-barat-kan, juga mendapat kritik keras dari beliau dalam berbagai karyanya, semisal: Ar-Ra`iyyah ash-Shughraa fii Dzam al-Bid’ah wa Madh as-Sunnah al-Gharra` dan Irsyaad al-Hayara fii Tahdziir al-Muslimiin min Madaaris an-Nashaara; terutama dalam isu Tajdid, Ijtihad dan Mazhab Empat. Pasalnya, mereka menyerang pemikiran dan hukum Islam dan berupaya menyebarkan pemikiran dan hukum Barat melalui Tafsir Kontekstual atau Perubahan Hukum.
Tentu saja, dari kitab-kitab yang beliau tulis terlihat jelas kecintaan beliau kepada segala hal yang berkaitan dengan Rasulullah saw. Bahkan beliau menghimpun semuanya secara ringkas dalam karyanya, Al-Fadhaa‘il al-Muhammadiyyah.
Beliau merupakan Ulama Hadis yang banyak menulis karya, semisal Al-Fath al-Kabiir fii Dhamm az-Ziyaadah ilaa al-Jaami’ ash-Shaghiir, bukan sekadar Ulama Faqih yang menjabat sebagai Qadhi Khilafah.
Beliau juga dikenal sebagai Ahli Syair dalam bahasa Arab dan seorang Wali yang ‘Arif BilLaah, Shaahib al-Karamaat, juga Syaikh-nya para sufi yang zuhud nan wara’. Karya beliau Jaami’ Karamaat al-Awliyaa` menjadi rujukan para ulama setelahnya.
Di antara para Ulama Masyhur yang pernah mengambil ilmu dari beliau ialah sebagai berikut:
- Sayyid Abdullah ibn Muhammad ibn Shiddiq al-Ghumari al-Idrisi al-Hasani, Ulama Ahli Bait al-Ghumariyyah, Ahli Hadits dari Maghrib (Maroko),
- Al-Habib Abdullah ibn Abdul Qadir Bilfaqih al-Husaini, Ulama Ahli Bait, pengasuh Dar al-Hadits al-Faqihiyyah di Malang, Jawa – Nusantara.
- Syaikh al-Qadhi Muhammad Taqiyyuddin ibn Ibrahim an-Nabhani al-Azhari, Sang Cucu dari anak perempuan beliau, Ulama Palestina, Syam al-Mubarak.
- Syaikh al-Musnid ad-Dunya Muhammad Yasin ibn Isa al-Fadani al-Makki, Ulama Mekkah asal Padang, Sumatera – Nusantara, pengasuh Dar al-‘Ulum ad-Diniyyah, pemilik tsabat yang masyhur saat ini, menjadi rujukan sanad para ulama dari berbagai negeri, termasuk Nusantara.
- Syaikh Muhammad Baqir ibn Nur al-Jukjawi.
- Syaikh Ali ibn Falih azh-Zhahiri al-Madani.
- Syaikh Umar ibn Hamdan al-Mahrasi, Ahli Hadits al-Haramain.
- Syaikh Muhammad Raghib ibn Mahmud ath-Thabakh al-Halabi, Ahli Hadits Syam.
Beliau telah meninggalkan atsar dengan berbagai bentuknya, berupa sanad ilmu, para muirid dan karya tulis, bahkan termasuk Ulama rujukan bagi para Ulama al-Jawi (Nusantara) bersama Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan al-Hasani al-Makki asy-Syafi’i, Mufti Khilafah Utsmaniyah di Hijaz (al-Haramain). Diantara Ulama al-Jawi yang menukil karya beliau ialah Sayyid Utsman, Mufti Betawi dalam Manhaj al-Istiqaamah; KH. Tubagus Ahmad Bakri Sempur dalam Idhaah al-Karathaniyyah, Tanbiih al-Ikhwaan, Cempaka Dilaga dan lainnya; Ulama asal Banten yang berpengaruh di Tatar Sunda, serta Buya H. Sirajuddin Abbas dalam 40 Masalah Agama, Ulama asal Sumatera, Ulama Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).