
Kekerasan Mengintai Perempuan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Undang-undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Kendati telah diketok palu, gelombang protes lewat tagar #TolakRUUTNI terus bergema./ Protes lain berupa petisi yang dimulai oleh (The Indonesian Human Rights Monitor) Imparsial Indonesia. Hingga (19/3) kemarin, petisi itu sudah ditandangani lebih dari 2.000 orang.
Amandemen terhadap Undang-Undang TNI tahun 2004 memperkenalkan beberapa perubahan yang bertujuan untuk memperluas peran militer di luar bidang pertahanan. Padahal UU tahun 2004 (awal) itu sendiri merupakan reformasi penting yang mengurangi peran militer dalam urusan sipil. Revisi UU ini dikhawatirkan mengembalikan “dwifungsi” yang memungkinkan militer untuk campur tangan dalam pemerintahan sipil.
Kembalinya dwifungsi TNI dan militerisme tentu bukan persoalan sepele. Ada beberapa dampak besar yang bakal langsung dirasakan warga, termasuk perempuan.
Mempersubur Kekerasan Terhadap Perempuan
Perempuan rentan menjadi target kekerasan militer, termasuk kekerasan seksual, penyiksaan, hingga pembunuhan. Sejarah membuktikan, aparat militer pernah menjadi sponsor kekerasan perempuan. Misalnya, kekerasan seksual pasca-peristiwa 1965, pemerkosaan massal pada Mei 1998, pemerkosaan dan penyiksaan seksual selama masa Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989–1998), Timor Leste (1975-1976), dan pendudukan Papua.
Di Papua, Asia Justice and Rights (AJAR) pada 2014-2017 pernah meneliti 40 perempuan korban kekerasan negara. Korban menyebutkan, ada tiga periode kekerasan yang mereka alami, yaitu ketika Operasi Militer tahun 1977 – 1978, Operasi Militer 2005 dan peristiwa pengejaran OPM pada 2007.
Selain itu, ada pula kasus pembunuhan Marsinah pada 1993. Buruh Marsinah yang getol memimpin aksi demonstrasi untuk kenaikan upah buruh di pabrik tempatnya bekerja diculik, diperkosa dan dibunuh. Beberapa bukti mengindikasikan keterlibatan militer dalam pembunuhan Marsinah. Di antaranya adalah pengamanan pabrik tempat Marsinah bekerja oleh militer, Marsinah dan 12 buruh lainnya dikumpulkan di Kodim Sidoarjo, serta pemaksaan penandatanganan surat pengunduran diri karena telah melakukan rapat ilegal.
Namun, sama seperti pelanggaran HAM terhadap perempuan lain, kasus Marsinah dipetieskan. Anggota militer sering dapat impunitas dari negara atau melalui peradilan militer yang tidak transparan.
Konflik Agraria
Kekuatan militer selalu digunakan oleh Pemerintah untuk memuluskan jalan mereka melakukan pembangunan. Pada masa Orde Baru, cara ini biasa dilakukan mulai dari pembangunan Waduk Kedung Ombo, Revolusi Hijau, proyek transmigrasi, hingga beberapa proyek tambang besar seperti Freeport di Papua dan tambang minyak di Sumatera. Di beberapa kasus, warga harus kehilangan nyawa dan kebebasannya. Misal di kasus Wadung Kedung Ombo, ada lima warga tewas dan penolak pembangunan waduk disebut disusupi komunis sehingga KTP mereka diberi tanda ET (eks tapol).
Jauh setelah Orde Baru runtuh, pelibatan militer dalam proyek pembangunan nasional tetap dilakukan. Salah satunya dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). KontraS mencatat sedikitnya 79 peristiwa pelanggaran HAM yang berkaitan dengan PSN sepanjang November 2019-Oktober 2023. Temuan itu sejalan dengan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang mendapati 115 letusan konflik agraria akibat PSN, sepanjang 2020-2023.
Dengan adanya revisi UU TNI, kekerasan pada masyarakat sipil oleh aparat dalam proyek Pemerintah akan berpotensi meningkat. Hal ini sempat disampaikan Siska, aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam aksi Tolak RUU TNI, di Dago, Bandung (18/03).
Dilansir dari Bandung Bergerak, sebelum ada heboh-heboh soal revisi UU TNI saja, masyarakat Papua yang tanahnya sudah jadi target PSN tiap hari sudah dihadapkan dengan moncong senjata. Jadi dengan adanya UU Revisi ini tuh pasti akan melegalkan semua kekejaman yang mereka lakukan.
Tak Bebas di Internet
Dalam draft UU TNI, TNI bakal mendapatkan tugas baru, yakni terlibat dalam pertahanan siber. Direktur Eksekutif Safenet Nenden Sekar Arum dikutip dari Media Indonesia menyebut, perluasan menyatakan kewenangan perluasan operasi militer selain perang (OMSP) untuk mengatasi dimensi virtual dan kognitif dari perang siber dapat diinterpretasikan secara luas dan sangat rentan disalahgunakan.
Nenden menjelaskan perluasan OMSP pada ranah digital sangat kental dengan nuansa militerisasi ruang siber. Ini nantinya bakal membenarkan pengembangan dan peningkatan berkelanjutan kapabilitas militer siber tanpa henti. Selain itu, negara dapat menjadikan narasi “ancaman siber” sebagai bentuk justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
Dalam cuitan terpisah, SAFEnet Indonesia menyatakan bagaimana UU TNI berpotensi memperluas tugas Satuan Siber Tentara Nasional Indonesia (Satsiber TNI).
Lewat Satsiber TNI, Pemerintah bisa melakukan pengawasan ketat terhadap akun atau konten di media sosial. Atas dasar menjaga keamanan siber negara, akun atau konten media sosial ini bisa ditangguhkan (takedown). Satsiber TNI juga bisa mengarahkan kontra opini terhadap akun media sosial melalui kecerdasan buatan atau AI. Akibatnya, ruang gerak masyarakat yang kritis di ruang siber semakin terimpit.
Jauh dari Aman
Kehadiran prajurit aktif di ranah sipil pada praktiknya semakin mengusik rasa aman warga. Hal ini terdengar ironi memang, bagaimana institusi dan personil yang lekat dengan tugas pertahanan–penjagaan ancaman, tetapi malah dirasakan sebagai gangguan oleh masyarakat.
Lantas bagaimana mewujudkan rasa aman? Masalah keamanan adalah masalah pengaturan ketertiban dan penegakan aturan. Artinya, harus ada aturan yang mengatur interaksi diantara individu yang mampu menyelesaikan persoalan. Baik masalah ekonomi, politik, sosial hingga hukum. Baru diikuti dengan penegakan hukum yang adil. Jadi rasa aman itu bukan karena banyak melibatkan personil militer.
Namun, perluasan personil aktif militer pada jabatan publik yang diatur dalam UU TNI Revisi sepertinya jauh dari kepentingan warga. Sebaliknya, lebih dekat pada kepentingan rezim saat ini. Mengapa demikian? Banyak pihak mengakui pendidikan di militer telah menjadikan personil TNI lebih memiliki kemampuan berpikir strategis dan taktik, juga keahlian dan pengalaman di bidang logistik operasi. Hal lainnya, budaya komando yang kuat akan menjadikan kerja lebih cepat dan efisien. Ini aspek teknis. Bagaimana dengan aspek politisnya?
Politik komando bagaimanapun akan menjadikan pemerintahan dipandang lebih efektif karena dilakukan dengan komando. Tuntutan ini sesuai dengan kondisi rezim saat ini yang dikritik sana-sini karena kebijakan blunder dan menyebabkan gaduh di bawah. Gaya komando tentu lebih efektif untuk berjalannya tugas pemerintahan. Namun, semua ini harus dibayar dengan pendekataan kekerasan ala militer yang tentu saja mengancam keamanan warga negara.
Akhirnya, UU TNI revisi menjadi bagian dari puzzle regulasi mengokohkan apa yang disebut sebagai rezim otoriter. Sifat otoriter selalu dibutuhkan manakala kepemimpinan dengan gaya populis ada. Sebut saja, berbagai kebijakan populis semacam Makan Bergizi Gratis (MBG) telah memunculkan kebijakan blunder efisiensi anggaran yang membuat marah rakyat. Kegaduhan demi kegaduhan akan lebih cepat diredam dengan strategi, taktik dan operasi gaya militer. Lagi-lagi korbannya adalah warga, terutama perempuan.
Islam Mewujudkan Keamanan
Islam datang dengan membawa sistem yang sempurna yang mengatur seluruh aktivitas manusia. Penerapan aturan-aturan Islam oleh negara akan mampu mewujudkan hal-hal yang harus ada dalam kehidupan manusia (dharûriyât). Kemaslahatan ini yang akan menjaga manusia dari bersikap anarki, merusak dan akhirnya tertimpa kesengsaraan.
Masalah dharuriyât itu ada delapan: (1) Menjaga agama; (2) Menjaga jiwa; (3) Menjaga akal; (4) Menjaga keturunan; (5) Menjaga harta-benda; (6) Menjaga kehormatan; (7) Menjaga keamanan; (8) Menjaga negara.
Negara Islam, melalui aturan dan struktur pemerintahannya, akan mewujudkan delapan kemaslahatan dharûriyât ini. Karena itu menjadi keharusan bagi negara untuk mewujudkan pasukan dalam koordinasi departemen perang untuk menangani pertahanan dari hal-hal yang mengancam negara, juga Departemen Dalam Negeri (Al-Amnu Ad-Dakhili) yang bertugas menindak prilaku kriminal yang mengganggu keamanan warga negara.
Lebih khusus, militer dan pasukan hanya fokus pada aktivitas jihad (perang dalam konteks futûhât) dan keamanan yang dipandang oleh khalifah perlu menurunkan pasukan militer untuk mendukung kerja polisi di Departemen Keamanan Dalam Negeri. Dengan pengaturan ini, maka militer dan pasukan tidak akan menebar ketakutan dan kengerian pada masyarakat umum. Tentu saja masalah keamanan tetap terjaga.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fatma Sunardi]