Analisis

Solusi Islam Mengatasi Problem Pertanahan

Tanah sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia, merupakan salah satu kekayaan yang mendapat perhatian penting di dalam Islam.  Hal ini tampak dalam kitab-kitab turats yang membahas secara khusus klasifikasi tanah, penguasaan dan pengusahaan, hukum, serta hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah.

 

Tanah dalam Konteks Kepemilikan (Property)

Islam mengklasifikasi kepemilikan menjadi tiga macam: kepemilikan individu, umum dan negara.  Kepemilikan adalah izin dari Asy-Syari’ (Allah SWT) untuk menguasai zat dan manfaat suatu benda.  Begitu pula dengan tanah. Ada yang menjadi kepemilikan individu, umum dan negara.

Tanah-tanah milik umum meliputi hutan, padang rumput, sungai, danau, terusan, selat, pantai, lautan, tanah-tanah tambang yang memiliki deposit yang sangat besar, jalan-jalan umum dan lain sebagainya. Seluruh kaum Muslim berserikat—sama-sama memiliki andil dan hak—di dalamnya.  Seseorang tidak boleh melarang orang lain mengakses dan memanfaatkan tanah milik umum.   Jika setiap individu tidak terhalang dalam memanfaatkan tanah-tanah milik umum secara alami, negara membiarkan hal itu berlangsung secara alami dan wajar.  Padang rumput dan sungai yang sudah biasa dimanfaatkan masyarakat tanpa menimbulkan masalah bagi yang lain, misalnya, dibiarkan berlangsung apa adanya.  Namun, jika pemanfaatan tanah-tanah milik umum oleh seseorang atau sekelompok orang menimbulkan persoalan dan kesulitan bagi yang lain, negara wajib melakukan pengaturan hingga setiap orang memiliki akses dan hak yang sama pada tanah-tanah milik umum.

Pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahaan swasta, sebagai akibat dari kebijakan privatisasi, jelas merupakan tindakan haram dan zalim yang hanya menguntungkan segelintir orang.   Atas dasar itu, HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang sudah terlanjur diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta harus dicabut.  Negara wajib mengelola dan mengusahakan hutan demi kepentingan seluruh rakyat.

Begitu pula privatisasi PDAM, penguasaan sumber-sumber air oleh perusahaan-perusahaan air kemasan asing maupun pribumi, serta pengalihan pengelolaan ruas dan jalan tol, dermaga, selat, pantai, dan lain sebagainya kepada perusahaan swasta. Jelas kebijakan ini haram dan zalim.  Alasannya, tanah-tanah di atas, di dalamnya terdapat hajat bagi seluruh kaum Muslim, dan tabiatnya juga menghalangi individu untuk menguasainya.  Rasulullah saw. bersabda:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ


Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).

 

Nabi saw. juga telah bersabda:

ثَلاَثٌ لاَيُمْنَعْنَ : اَلْمَاءُ وَ الْكَلَأُ وَ النَّارُ

Ada tiga yang tidak boleh dilarang (untuk dimanfatkan): air, api dan padang rumput (HR Ibnu Majah).

 

Beliau pun bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ يَسَعُهُمَا الْمَاءُ وَالشَّجَرُ

Muslim itu bersaudara satu sama lain. Mereka bersama-sama memiliki air dan pepohonan (HR Abu Dawud dan ath-Thabarani).

 

Rasul saw. pun bersabda, “Mina adalah milik orang-orang yang lebih dulu sampai padanya.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Diriwayatkan pula dari Rasul saw bahwasanya beliau melarang seseorang menguasai atau memiliki jalan umum dan mengijinkan semua orang untuk sama-sama memiliki hak (andil) di dalamnya.  Mina, ’Arafah, Muzdalifah serta jalan-jalan yang menjadi lalu lintas jamaah haji adalah milik umum. Sebab, tabiatnya mencegah individu untuk menguasainya.

Atas dasar itu, laut, sungai, danau, teluk, selat, terusan (seperti Terusan Suez), lapangan umum dan masjid-masjid adalah milik umum bagi setiap anggota masyarakat.  Negara tidak boleh (haram) menyerahkan pengelolaannya kepada swasta.  Negara wajib mengelola jalan-jalan tol, terusan, darmaga dan lain sebagainya. Negara sekaligus wajib menjamin setiap orang bisa mengakses dan memanfaatkan semua fasilitas tersebut.

Faktanya saat ini jalan-jalan tol, terusan, dermaga, dan terusan banyak yang telah dikuasai perusahaan-perusahaan swasta.  Padahal tindakan seperti ini jelas-jelas menyalahi syariah Islam.

Selain tanah-tanah di atas, ada jenis tanah yang di dalamnya terdapat kandungan deposit tambang yang sangat besar seperti emas, tembaga, minyak bumi, batu bara, nikel, dan lain sebagainya. Tanah-tanah yang mengandung deposit tambang dalam jumlah besar adalah milik umum. Negara wajib mengelola semua tanah tersebut untuk kemashlahatan rakyat.   Negara dilarang mengalihkan pengelolaan, apalagi kepemilikan-nya, kepada perusahaan swasta.

Adapun tanah milik negara meliputi padang pasir, gunung, bukit, lembah, pantai, tanah mati yang tidak terurus, yang belum pernah diolah, atau pernah diolah namun terbengkalai karena tidak dikelola lagi.  Tanah-tanah semacam ini dikelola sepenuhnya oleh Khalifah berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Tentu dengan tetap memperhatikan kemashlahatan kaum Muslim. Khalifah diperbolehkan memberikan tanah-tanah seperti ini kepada individu. Bisa juga Khalifah memberikan hak guna atau hak pemanfaatannya kepada seseorang atau sekelompok orang. Khalifah juga berhak memberikan ijin kepada seseorang untuk menghidupkan tanah-tanah tersebut.  Ketentuan ini didasarkan praktik Nabi saw. dan para shahabat.  Di dalam riwayat lain disebutkan:

أَقْطَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلاَلًا أَرْضَ كَذَا، مِنْ مَكَانِ كَذَا إِلَى كَذَا، وَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ جَبَلٍ أَوْ مَعْدِنٍ

Rasulullah saw. pernah memberi Bilal bin Harits al-Mazani tanah ini dan itu dari tempat ini hingga tempat itu. Di dalamnya ada gunung dan tambang (HR Abu ’Ubaid).

 

Dari ‘Amr bin Su’aib, dari bapaknya, dituturkan bahwa ia berkata: “Rasulullah saw. pernah memberikan tanah kepada orang-orang yang berasal dari Muzainah atau Juhainah.”

Adi bin Hathim juga berkata:

أَقْطَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَاساً مِنْ مُزَيْنَةَ، أَوْ جُهَيْنَة

Rasulullah saw. pernah memberikan tanah kepada orang-orang yang berasal dari Muzainah atau Juhainah  (HR Abu Dawud).

 

Adi bin Hathim juga bertutur:

أَقْطَعَ رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفُرَاتَ بْنَ حَيَّانَ الْعِجْلِيَّ أَرْضًا بِالْيَمَامَةِ

Rasul saw. pernah memberi Furat bin Hayan al-Ajli sebidang tanah di Yamamah  (HR Abu ‘Ubaid).

 

Di dalam sejarah dituturkan bahwa Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan para khalifah setelah mereka pernah membagi-bagikan tanah kepada rakyat seperti yang pernah dilakukan Rasulullah saw.  Mereka memahami sepenuhnya bahwa padang pasir, gunung dan tanah mati adalah milik negara. Kewenangan untuk menguasai dan mengelola harta-harta tersebut ada di tangan penguasa. Mereka juga memahami bahwa padang pasir, gunung dan tanah-tanah mati adalah hak seluruh kaum Muslim. Pnguasaannya juga ada di tangan negara. Ketentuan semacam ini telah diketahui oleh para Sahabat lain.

Atas dasar itu, Zubair bin Awwam, Abyad bin Hammal, Bilal bin Harits al-Mazani, Abu Tsa’labah al-Khusni, Tamim ad-Dari dan yang lainnya telah meminta tanah kepada Rasulullah saw.   Nafi’ Abu Abdullah, seorang penduduk  Basrah dari Tsaqif  juga pernah meminta sebidang tanah kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. di daerah Basrah untuk kandang sekawanan kudanya.

Dari Katsir bin Abdullah, dari bapaknya, dari kakeknya berkata: “Kami pernah datang bersama Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. ketika ia tengah melakukan  ‘umrah pada tahun 17 H. Para pemilik air bercakap-cakap dengan Khalifah Umar bin Khaththab di perjalanan. Mereka meminta Khalifah Umar bin al-Khaththab mengijinkan mereka membangun rumah-rumah antara Kota Makkah dan Madinah, yang sebelumnya rumah-rumah itu belum ada. Khalifah Umar bin Khaththab mengizinkan tetapi mensyaratkan agar mereka mendahulukan para musafir dalam mengakses air dan tempat berteduh.” (Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 377).

Dari Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Maryam, dari Atiyah bin Qais berkata: “Orang-orang meminta kepada Khalifah Umar bin Khaththab tanah yang ada di Anzirkisan di Damaskus untuk menambatkan kuda-kuda mereka.  Khalifah Umar memberikan sebagian tanah itu kepada mereka.  Lalu mereka menanami tanah itu.  Lalu Khalifah Umar mencabut kepemilikan tanah itu dari mereka dan memberikan denda kepada mereka atas tanah tersebut.” (HR Abu Ubaid. Lihat pula: Ibnu Zanjawaih, Al-Amwal, 2/632).

Di dalam sejarah, Rasulullah saw dan para Khalifah setelah beliau telah mengelola dan mengatur harta milik negara dengan maksimal untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim. Hanya saja, walaupun Khalifah berhak mengelola harta milik negara, negara tidak boleh memposisikan dirinya sebagai pedagang, produsen, atau pengusaha. Negara tidak boleh memerankan diri layaknya seorang pedagang, produsen atau pengusaha.  Kedudukan Negara tetaplah sebagai pengatur. Oleh karena itu, dalam  pengelolaan harta-harta kepemilikan negara tersebut, aspek yang ditonjolkan adalah pengaturan urusan masyarakat (ri’ayah), merealisasikan kemaslahatan rakyat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Bukan berorientasi pada bisnis dan mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya. Substansi pengelolaan harta milik negara oleh Khalifah adalah pengaturan (ri’ayah). Bukan mencari keuntungan.

Adapun terkait tanah-tanah milik individu, negara akan memberikan proteksi kepada setiap individu yang memiliki tanah.  Negara menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah kepada pemilik tanah, untuk memudahkan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya, sekaligus melindungi dari para penjarah.

Pengklasifikasian kepemilikan tanah menjadi milik umum, negara dan individu tidak saja memberikan kepastian kepemilikan. Hal demikian juga akan mencegah penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah oleh segelintir orang, khususnya pada tanah-tanah milik umum dan negara.

 

Hukum-hukum Islam Seputar Tanah

 

  1. Pemanfaatan Tanah.

Di antara hukum syariat yang berhubungan dengan peningkatan produktivitas tanah adalah ihya‘ al-mawat (menghidupkan tanah mati).  Nabi saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu adalah miliknya (HR al-Bukhari).

مَنْ أَحَاطَ حَائِطاً عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَه

Siapa saja yang memagari sebidang tanah dengan pagar maka tanah tersebut menjadi miliknya (HR Abu Dawud).

مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ

Siapa saja yang telah lebih dulu sampai pada suatu (tempat di sebidang tanah) yang belum pernah didahului oleh seorang Muslim pun maka sesuatu itu adalah menjadi miliknya (HR ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir).

 

Abu Yusuf di dalam Al-Kharaj menuturkan sebuah  riwayat dari Salim bin ‘Abdillah, bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata di atas mimbar:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya. Tidak ada hak bagi orang yang memagari (tanah mati) setelah tiga tahun (HR Abu Yusuf dalam Al-Kharaj).

 

Nas-nas di atas menunjukkan bahwa tanah mati yang dihidupkan seseorang adalah menjadi milik dia. Baik degan cara dijadikan lahan bercocok tanam, ditanami pohon, diberi batas pagar, didirikan bangunan di atasnya, atau pemanfaatan-pemanfaatan lain.

Islam juga memerintahkan pemilik lahan untuk menggarap lahannya secara maksimal, melarang menyewakan lahan, serta menyita lahan dari pemiliknya jika ia menelantarkan lebih dari tiga tahun. Nabi saw. bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَه أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ فَلْيُزْرِعْهَا أَخَاهُ وَلاَ يُكَارِيهَا بِثُلُثٍ وَلاَ بِرُبُعٍ وَلاَ بِطَعَامٍ مُسَمَّى

Siapa saja yang memiliki lahan, garaplah tanah itu atau saudaranya yang akan menggarapnya. Janganlah menyewakan lahan dengan 1/3 atau 1/4 dari hasilnya, atau dengan makanan yang telah ditetapkan (HR Abu Dawud).

مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَه

Siapa saja yang memiliki tanah, garaplah tanah itu, atau ia memberikan tanah tersebut kepada orang lain. Jika ia tidak melakukan hal itu, sitalah tanahnya (HR al-Bukhari).

 

Juga diriwayatkan:

نَهَى رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم-أَنْ يُؤْخَذَ لِلْأَرْضِ أَجْرٌ أَوْ حَظٌّ

Rasulullah saw. telah melarang mengambil sewa atau bagian atas lahan (HR Muslim).

 

Usaid bin Dhuhair juga bertutur:

 

نَهَى رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كِرَاء الْأَرْضِ قُلْنَا يا رسول الله إِذًا نُكْرِيهَا بِشَيْءٍ مِنْ الْحَبِّ قَالَ لَا قَالَ وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِالتِّبْنِ فَقَالَ لَا وَكُنَّا نُكْرِيهَا بِمَا عَلَى الرَّبِيعِ السَّاقِي قَالَ لَا ازْرَعْهَا أَوْ امْنَحْهَا أَخَاكَ

Rasulullah saw. telah melarang sewa tanah.  Kami bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana jika kami menyewakannya dengan kompensasi berupa biji-bijian?.”  Nabi saw. menjawab, “Jangan!”  Kami berkata, “Kami akan menyewakannya dengan kompensasi berupa jerami.”  Beliau menjawab, “Jangan!” Kami berkata, “Kami akan menyewakannya dengan kompensasi berupa tumbuhan yang tumbuh di saluran air.” Beliau menjawab, “Jangan. Garaplah tanah itu atau berikan (tanah itu) kepada  saudaramu.” (HR an-Nasa’i).

 

Dhuhair bin Rafi’ ra. juga bertutur:

دَعَانِي رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا تَصْنَعُونَ بِمَحَاقِلِكُمْ قُلْتُ نُؤَاجِرُهَا عَلَى الرُّبُعِ وَعَلَى الْأَوْسُقِ مِنَ التَّمْرِ وَالشَّعِيرِ قَالَ لَا تَفْعَلُوا ازْرَعُوهَا أَوْ أَمْسِكُوهَا

Rasulullah saw. pernah memanggilku seraya bersabda, “Apa yang kalian lakukan dengan sawah ladang kalian?”  Saya menjawab, “Kami menyewakannya dengan kompensasi ¼ (dari hasil tanaman) atau dengan beberapa wasaq kurma dan gandum.” Nabi saw. bersabda, “Janganlah kalian melakukan itu.  Garaplah oleh kalian tanah itu atau sitalah tanah itu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

  1. Hima.

Hima adalah penguasaan milik umum oleh negara untuk kepentingan-kepentingan tertentu.  Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar ra. berkata, “Rasulullah saw. telah menguasai tempat berair, yaitu suatu tempat yang telah diketahui di Madinah untuk unta-unta kaum Muslim.”

Khalifah Abu Bakar telah menguasai padang rumput untuk unta-unta zakat. Pelaksanaannya dilakukan oleh maula beliau, yaitu Abu Salamah. Khalifah Umar telah menguasai padang rumput tersebut pada bagian yang tinggi. Pelaksanaannya dilakukan oleh maula beliau yaitu Haniy.

Negara boleh menetapkan suatu kawasan sebagai hutan lindung, suaka margasatwa dan sebagainya.  Negara juga boleh menetapkan tanah-tanah milik umum untuk kepentingan-kepentingan khusus, seperti markaz pasukan perang, pangkalan militer, pusat penelitian multi dimensi, daerah resapan, pertanian khusus, industri, dan lain sebagainya.

Hima yang dilakukan negara untuk kemaslatan negara dan kaum Muslim merupakan salah satu cara melindungi kawasan-kawasan tertentu dari kerusakan, seperti hutan lindung, hutan mangrove, resapan air, dan lain sebagainya.  Hima juga menjadi cara untuk menjaga kedaulatan dan eksistensi Negara Islam dari para intervensi negara asing, dengan menjadikan kawasan-kawasan strategis sebagai pangkalan militer, pusat penelitian alutsista, reaktor nuklir, dan lain sebagainya.   Hima juga berfungsi menciptakan ketahanan multidimensional di dalam negeri.   Negara bisa menetapkan kawasan-kawasan subur sebagai sentra penghasil pangan, bahan obatan-obatan, bahan pakaian, dan bahan-bahan penunjang industri di seluruh bidang kehidupan.  Negara juga bisa menetapkan kawasan-kawasan tertentu untuk perumahan rakyat, pariwisata, dan lain sebagainya.  Untuk itu, negara wajib membuat pemetaan dan zonasi wilayah untuk mengetahui peruntukkan yang paling cocok dari wilayah-wilayah tersebut.

 

Larangan Asing Menguasai Tanah Kaum Muslim

Orang-orang asing dilarang secara mutlak menguasai tanah kaum Muslim.   Penguasaan orang asing atas tanah kaum Muslim sama artinya dengan memberikan jalan kepada mereka untuk menguasai dan menjajah negeri kaum Muslim.  Jelas ini haram (QS an-Nisa‘ [4]: 141).

Orang-orang asing tidak boleh diberi kesempatan untuk menguasai tanah kaum Muslim, baik langsung maupun tidak langsung.  Negara tidak boleh menjual zat tanah maupun manfaatnya kepada orang asing; baik individu, perusahaan, atau atas nama negara asing.

Sebaliknya, kaum Muslim wajib menjaga keutuhan dan integritas wilayah negara hingga mereka bisa menjalankan aktivitas-aktivitasnya di atas tanah mereka. Jika ada kekuatan asing menyerang dan hendak mengokupasi sebagian wilayah kaum Muslim, mereka wajib mengangkat senjata untuk mempertahankan kedaulatan wilayah dan negara.  Bahkan di dalam fikih dinyatakan, orang-orang asing yang masuk ke wilayah Negara Islam, tanpa ada ijin dan jaminan keamanan, maka seluruh harta mereka bisa dirampas, dan negara Islam tidak menjamin keselamatan jiwa mereka. Imam Asy-Syafi’i menyatakan, “Ahl al-Harb tidak boleh dibiarkan masuk negeri kaum Muslim sebagai pedagang. Jika mereka masuk tanpa jaminan keamanan (al-aman) dan risalah (sebagai duta), maka mereka bisa dirampas (hartanya). Jika mereka masuk dengan al-aman, dengan syarat membayar 1/10 lebih atau kurang dari harta mereka, maka boleh diambil. Jika masuk tanpa al-aman dan syarat, mereka harus dikembalikan ke negeri mereka. Tidak boleh dibiarkan melenggang di negeri kaum Muslim.” (Asy-Syafi’i, Al-Umm, IV/hlm. 244).

Jika masuk ke negeri Islam saja dilarang, apalagu menguasai tanah kaum Muslim.

 

Tanah Sebagai Sumber Pendapatan

Di dalam Islam, tanah-tanah yang terkategori tanah kharajiyyah, penduduknya wajib membayar kharaj.  Pada masa Khalifah ’Umar bin Khaththab ra, beliau mengutus ’Utsman bin Hunaif menghitung besaran kharaj dari Tanah Sawad. ‘Utsman bin Hanif berangkat mengukur tanah tersebut dan memberikan tanda batas kharaj. Setelah itu, beliau memberikan laporan kepada Khalifah Umar dan membacakannya. Sebelum Khalifah Umar wafat, hanya dari Tanah Hitam di Kufah telah diperoleh 100 juta dirham. Pada saat itu nilai satu dirham sama dengan satu mitsqal. Dengan demikian Khalifah Umar telah menetapkan tanah tersebut di tangan pemiliknya, tetapi mewajibkan kharaj atas tanah tersebut untuk mengisi Baitul Mal serta menjadikannya fai’ bagi kaum Muslim sampai Hari Kiamat.

Tanah kharajiyyah adalah milik Baitul Mal.  Penduduknya diberi hak untuk memanfaatkan. Setiap tahun dikenakan pungutan atas tanah tersebut , dengan kadar yang telah ditentukan.   Pungutan ini tak ubahnya dengan kira‘ (sewa) atas tanah tersebut.  Penetapan besaran pungutan diserahkan sepenuhnya kepada Khalifah, tetapi tidak boleh melebihi apa yang dikandung oleh tanah.

Kharaj adalah hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun perjanjian damai. Kharaj dibagi menjadi dua; kharaj ‘unwah (kharaj paksaan) dan kharaj sulhi (kharaj damai).   Ketentuan terkait dengan kharaj ‘unwah dan kharaj sulh bisa dibaca di dalam kitab-kitab fikih. [Gus Syams]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − six =

Back to top button