Fokus

Penguasaan Tanah Oleh Para Kapitalis

Ruh dari corak produksi kapitalisme adalah akumulasi modal (capital accumulation)  Disebut ruh, karena akumulasi merupakan suatu keniscayaan dalam sistem ini. Tidak ada kapitalisme tanpa akumulasi. Akumulasi berarti proses pembesaran modal. Hasil dari keharusan rekonversi nilai-lebih menjadi modal. Ini berlangsung tanpa henti dan skala yang terus meningkat.

Dengan frasa “akumulasi demi akumulasi, produksi demi produksi” (accumulation for the sake of accumulation, production for the sake of production), Karl Marx ingin mengisyaratkan bahwa tugas kesejarahan kelas kapitalis adalah akumulasi modal tanpa jeda. Termasuk di dalamnya akumulasi penguasaan tanah.1

Akumulasi mempunyai dua aspek yang tidak terpisahkan yaitu: konsentrasi dan sentralisasi modal. Konsentrasi mengandung arti penumpukan modal dalam jumlah besar di tangan segelintir individu-individu kapital (perusahaan-perusahaan) yang kuat. Caranya melaui proses investasi dan reinvestasi profit. Bentuknya berupa pengembangan atau perluasan skala bisnis dengan membeli lagi alat-alat produksi (mesin, peralatan, gedung, infrastruktur, tanah) dan tenaga kerja yang baru.

Adapun sentralisasi dimaknai sebagai proses yang menyatukan berbagai individu kapital—dengan semua sumber daya produksi yang ada—ke dalam genggaman satu tangan yang kuat. Sering terjadi perusahaan yang lebih kuat mengambil alih perusahaan yang lebih lemah.

Dengan kerangka dasar tersebut, catatan ini menyorot soal-soal yang menarik perhatian publik, khususnya terkait monopoli penguasaan tanah oleh segelintir kelas kapitalis, terutama kelas kapitalis transnasional.

 

Sejarah Monopoli Kepemilikan Tanah di Indonesia

Sebagai sistem global, Kapitalisme selalu ditandai dengan akumulasi dunia. Artinya, proses konsentrasi dan sentralisasi selalu berlangsung lintas batas negara. Dalam konteks ini, motor utama akumulasi global adalah perusahaan-perusahaan yang monopolistic. Mereka keluar menjadi pemenang dalam proses konsentrasi dan sentralisasi. Para pemenang ini adalah perusahaan-perusahaan transnasional (transnational corporations, TNCs). Mereka beroperasi lintas batas negara. Dalam pembagian kerja secara internasional, TNCs tumbuh dan berkembang di negeri-negeri kapitalis maju. Wilayah ini merupakan lokasi geografis pusat keuangan, teknologi, dan penelitian dan pengembangan. Ekspansi geografis ke belahan dunia lain, terutama ke negeri-negeri Selatan yang dicirikan oleh upah murah dan sumber utama bahan baku, dilakukan melalui “ekspor kapital” atau dalam bahasa lebih populer: investasi asing langsung (foreign direct investment, FDI). Negara-negara kapitalis maju dari Utara dan institusi-institusi multilateral yang mereka kuasai mendukung habis-habisan—baik dengan cara-cara keras (penggunaan kekuatan militer) maupun dengan cara-cara lunak (diplomasi injak kaki)—ekspansi  tersebut. Kita menyebut fenomena ini sebagai imperialisme. Jadi, akumulasi global adalah cermin imperialisme.

Agar objektif, kita mesti melihat monopoli, terutama oleh TNCs, sebagai sesuatu yang tertanam dalam perkembangan historis kapitalisme di Indonesia. Tersubordinasi sejak awal abad lalu atau lebih. Kontra-revolusi 1965-66 terhadap kampanye dan mobilisasi anti-imperialisme Soekarno telah membuka jalan reintegrasi Indonesia ke dalam hirarki akumulasi dunia. Setelah anti-imperialisme hilang dari agenda para pembuat kebijakan, Pemerintah—sejak kediktatoran Soeharto—secara bertahap melakukan kebijakan-kebijakan liberalisasi investasi, perdagangan dan keuangan. Aneka kebijakan itu didiktekan oleh pemerintah dari negeri-negeri kapitalis maju dan berbagai institusi kapitalis internasional (Bank Dunia, IMF, dsb). Terutama pada momen-momen krisis Kapitalisme, kebijakan-kebijakan itu dipaksakan lebih dalam sebagai resep penyembuhan krisis. Buahnya, Indonesia menjadi bagian tidak terpisah dari proses akumulasi dunia di bawah cengkeraman imperialisme.

Jauh sebelum kemerdekaan, aturan hukum positif yang berlaku tentang agraria, yaitu Undang-Undnag (UU) Agraria tahun 1870 (Agrarische Wet), menjadi dasar hukum bagi kolonialis Belanda guna memfasilitasi akumulasi modal perusahaan Eropa yang berinvestasi di Hindia Belanda, lewat perkebunan kapitalis yang memproduksi komoditas ekspor. Menurut catatan Alec Gordon (2010)2, formasi sosial Hindia Belanda dari 1870 hingga 1942 yang bercorak lahan produksi ekspor, seperti kopi dan gula, memang sengaja didesain untuk meningkatkan surplus penerimaan Hindia Belanda ke Belanda.

Alih-alih mewujudkan reforma agraria, sistem perkebunan kolonial ditandai dengan paksaan ekstra ekonomi dalam rangka penyediaan tanah dan tenaga buruh murah. UU ini juga memfasilitasi pemberian hak konsesi perkebunan pada perusahaan asing. Gordon menyebut UU buatan kolonialis tersebut menjadi karpet merah bagi para koorporasi yang hendak berinvestasi.

 

Ketimpangan Penguasaan Tanah

Adanya ketimpangan penguasaan tanah oleh para kapitalis secara tidak langsung diakui oleh Pemerintah sendiri. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, misalnya, menyatakan bahwa dari pemberian lahan dan akses atas 42 juta hektar hutan hingga 2017, Pemerintah sudah mengalokasikan sekitar 95 persen untuk swasta, 4 persen untuk warga masyarakat. Sisanya untuk kepentingan publik.

Namun, seperti tidak mau disalahkan, pemerintahan Jokowi-JK mengklaim monopoli sebagai warisan masa lalu. Jokowi mengatakan penguasaan yang terkonsentrasi sudah terjadi sebelum masa kepresidenannya. Siti Nurbaya menyuguhkan data monopoli sebagai buah dari kebijakan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, terutama dalam periode SBY. Ada benarnya, tetapi tidak menggambarkan akar penyebab.

Pada tahun 2003, BPN menggambarkan situasi ketimpangan tersebut dengan mengeluarkan data bahwa mayoritas petani (84%) menguasai tanah pertanian kurang dari satu hektare dan hanya 16% yang menguasai tanah lebih dari satu hektare.7

Terjadi pula ketimpangan alokasi pemanfaatan sumberdaya hutan. Hutan Tanaman Industri (HTI) mencapai 9,39 juta hektare untuk 262 unit perusahaan, HPH untuk 21,49 juta hektare untuk 303 unit perusahaan. Ini berbanding sangat sedikit dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang hanya seluas 631.628 hektare. Di bidang perkebunan, Pemerintah memberikan 9,4 juta hektar untuk 600 perusahaan perkebunan kelapa sawit.3

Data terbaru diluncurkan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) (25/10/18), terkait hasil pengolahan data perkebunan sawit yang berada di kawasan hutan dan ilegal. Temuannya, seluas 2,8 juta hektare kebun sawit berada di kawasan hutan, 35% dikuasai masyarakat dan 65% pengusaha. Izin pelepasan dan izin pinjam pakai kawasan hutan pun pada beberapa kasus tak melalui skema perizinan reguler atau ilegal. Dari jumlah itu, sekitar 35% merupakan kebun masyarakat. Sisanya dikelola perusahaan.4

Salah satu jalan keluar yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan ketimpangan penguasaan lahan ini adalah dengan mengakomodasi pengelolaan lahan oleh masyarakat, misalnya melalui perhutanan sosial. KLHK mencatat skema perhutanan sosial berperan dalam memperbaiki ketimpangan pemanfaatan hutan. Sebelum ada skema perhutanan sosial, perusahaan menguasai hutan 98%, sementara masyarakat hanya 2%. Setelah diberlakukan skema perhutanan sosial, terdapat perbaikan proporsi, yakni 69%-72% untuk perusahaan dan 28%-31% untuk masyarakat.  Namun demikian, masih ditemui persoalan di lapangan terkait dengan aspek kelembagaan dan tumpang tindih perizinan yang menghambat percepatan perhutanan sosial.

Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menyampaikan catatan kritis terkait konflik agraria yang masih dirasakan hingga saat ini. Pertama ketimpangan penguasaan lahan antara pengusaha besar, khususnya perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat. Total ada sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan seluas 5,1 juta hektar. Grup ini antara lain: Golden Agri Resources atau Sinar mas dengan 502.847 hektar, kemudian IndoAgri dengan 387.937 hektar, Astra Agro Lestari dengan penguasaan 297.011 hektar, Grup Sime Darby dengan 279.691 Hektar dan Bumitama Agri dengan pengusaan lahan seluas 233.000 hektar.5

Ini fakta penguasaan lahan untuk sawit. Sebanyak  25 grup perusahaan sawit menguasai lahan hampir 5 juta hektar atau hampir menguasai setengah Pulau Jawa.

Kemudian ketimpangan penguasaan tanah di kawasan hutan. Dalam data yang dipegang YLBHI sampai 2018 lalu, sebanyak 40.46 juta hektar lahan di kawasan hutan dikuasai oleh usaha besar, sedangkan masyarakat hanya menguasai 1.47 juta hektar. Apalagi dengan adanya perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi 90 tahun lamanya melalui UU No. 20 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law). Kondisi ini menjadikan adanya ketimpangan yang akan dihadapi kedepan semakin besar gapnya.

 

Penguasaan Tanah oleh Konglomerat dan Asing

Penguasaan Tanah oleh konglomerat dan asing di Indonesai banyak terjadi pada sektor perkebunan dan kehutanan.6 Lahan perkebunan dan hutan tanaman industri dikuasai perusahaan swasta besar, bahkan Multi National Corporation (MNC) dan Trans National Corporation (TNC). Sebagai contoh, terdapat TNC yang menguasai 400 ribu hektar kebun kelapa sawit tanpa plasma. Ada grup perusahaan tanaman industri yang menguasai 700 ribu hektar atau mencapai sekitar 25% dari luas sebuah kabupaten di Pulau Sumatera. Di Provinsi Kepulauan Riau terdata nama-nama perusahaan modal asing asal Malaysia, yang menanamkan investasi mereka dalam bisnis perkebunan kelapa sawit. Mereka dinilai ekspansif dalam kegiatan bisnisnya. Mereka disinyalir sebagai pihak yang dinilai turut bertanggung jawab atas kebakaran lahan hutan yang marak pada bulan Juni 2013 di Pulau Sumatera.

Data lain mengungkapkan, perusahaan asal Singapura dan Malaysia yang memiliki lahan cukup luas adalah Wilmar Internasional Ltd dan Sime Darby Berhard. Wilmar Internasional Ltd. memiliki perkebunan di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah. Adapun lahan perkebunan Sime Darby Berhard tersebar di Provinsi-provinsi seperti Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Sulawesi. Di luar Sime Darby Berhard, masih terdapat Guthrie, Golden Hope, KL Kepong, IOI, TH Plantations, dan Kulim. Jika ditotal, dari keseluruhan luas lahan 8,9 juta hektar, lahan yang dikuasai perusahaan MNC/TNC asal Malaysia mencapai 3 juta hektar. Jika dikomparasikan penguasaan lahan kebun kelapa sawit Indonesia antara modal asing dan dalam negeri adalah 40%:60%. Adapun lahan yang sudah dibeli perusahaan besar berskala global sejak tahun 2008 telah mencapai 50 juta hektar.

Dari dalam negeri, PT Lestari Asri Jaya, salah satu dari anak perusahaan  Barito Group, memiliki lahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang luas. Barito Group, milik konglomerat nasional, Prayogo Pangestu, dikenal dengan lahan-lahan perkebunan dan HTI-nya yang amat luas, terutama di Pulau Kalimantan.

 

Konflik Pertanahan

Kebutuhan tanah yang terus meningkat berdampak pada terjadinya konflik di bidang pertanahan. Baik secara vertikal maupun horizontal. Antara perseorangan (warga masyarakat atau masyarakat hukum adat) maupun badan hukum (pemerintah atau swasta).

Berdasarkan data Komnas HAM dalam lima tahun terakhir, pengaduan masyarakat kepada komisi ini menunjukkan konflik agraria jadi masalah mendasar. Penyelesaian mendesak luasan konflik mencapai 2.713.369 hektar dan tersebar di 33 provinsi di berbagai sektor. Tercatat, 42,3% atau 48,8 juta jiwa desa berada dalam kawasan hutan. Konflik terjadi antara lain, sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN), pertambangan, kehutanan dan lingkungan. Ada lebih 30% pengaduan masyarakat masuk ke Komnas HAM itu kasus terkait konflik pertanahan atau agraria sumber daya alam.

Dalam rilisnya Komnas HAM juga menyebutkan bahwa pada 2017, ada 1.162 pengaduan kasus ke Komnas HAM, 269 kasus atau 23,14% terkait konflik agraria. Dalam kurun 2018-April 2019 tercatat, 196 kasus konflik agraria di Indonesia ditangani Komnas HAM. Kejadian terbesar di 29 provinsi. Enam besar sebaran paling banyak di Sumatera Utara (21 kasus sektor perkebunan), Jawa Barat (18 kasus sektor infrastruktur), Jakarta (14 kasus sektor infrastruktur dan BMN). Lalu Jawa Timur (11 kasus sektor perkebunan), Jawa Tengah (10 kasus sektor perkebunan/kehutanan), Kalimantan Tengah (10 kasus sektor perkebunan/kehutanan) dan Riau (delapan kasus sektor perkebunan/kehutanan).

Konsorsium Pembaruan Araria (KPA), dalam Catatan Akhir Tahun 2019 tentang Konsorsium Pembaruan Agraria “Dari Aceh Sampai Papua: Urgensi Penyelesaian Konflik Struktural dan Jalan Pembaruan Agraria ke Depan”, menyebutkan bahwa Tahun 2019 telah terjadi 279 letusan konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 hektar.

Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria tahun ini sebanyak 109.042 KK. Tersebar di 420 desa. Di seluruh provinsi di Tanah Air. Dibandingkan situasi konflik agraria tahun lalu, yaitu 410 letusan konflik, maka terjadi penurunan jumlah letusan konflik agraria di tahun ini. Namun, dilihat dari eskalasi kekerasan penanganan konflik agraria, jumlah korban dan masyarakat yang ditangkap karena mempertahankan haknya atas tanah.

Letusan konflik terbesar kembali terjadi di sektor perkebunan dengan jumlah 87 letusan konflik. Disusul sektor infrastruktur sebanyak 83 letusan konflik. Sektor properti 46. Pertambangan 24. Sektor kehutanan 20. Pesisir/kelautan dan pulau-pulau kecil sebanyak 6 konflik. Sektor pertanian 3 konflik. Sektor fasilitas militer mencatatkan 10 letusan konflik di sepanjang tahun ini.

Dari total jumlah letusan konflik perkebunan sebanyak 87, terdapat dua tipologi jenis perusahaan dalam konflik agrarian sektor perkebunan, yakni perkebunan swasta dan perkebunan negara. Sepanjang tahun 2019 perusahaan perkebunan swasta mendominasi konflik agraria sejumlah 61 pada 2019. Sisanya adalah konflik warga dengan perusahaan perkebunan negara (BUMN/BUMD) sebanyak 26 letusan konflik.

Dari sisi komoditas perkebunan, konflik agraria didominasi oleh perkebunan berbasis komoditas kelapa sawit dengan total konflik sebanyak 69. Diikuti perkebunan karet sebanyak 6. Perkebunan tebu 5. Holtikultura 3. Perkebunan kopi dan singkong sebanyak 2 letusan konflik.

Dari tahun ke tahun sektor perkebunan selalu tertinggi. Tingginya eskalasi konflik agraria di sektor ini disebabkan oleh mudahnya Pemerintah memberikan izin usaha perkebunan melalui penerbitan izin lokasi dan HGU. Pemerintah tidak melihat situasi di lapangan yang menyebabkan tumpang-tindih perkebunan dengan wilayah hidup masyarakat. Diperparah oleh tertutupnya informasi mengenai HGU. Utamanya HGU-HGU yang bermasalah dengan warga.

Sepanjang tahun 2019, konflik agraria kembali terjadi di seluruh provinsi di tanah air. KPA mencatat konflik tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Barat sebanyak 28 konflik, Sumatra Utara 24 konflik, Kalimantan Tengah 23 konflik, Jawa Timur 21 konflik, Jambi 16 konflik, DKI Jakarta 16 konflik, Riau 14 konflik, Aceh 12 konflik, Sulawesi Selatan 12 konflik dan Jawa Tengah 11 konflik.

Konflik agraria berupa penggusuran dan kriminalisasi petani masih terjadi di tengah pandemi Covid-19. Konsorsium Pembaruan Agraria atau KPA mencatat setidaknya ada sembilan peristiwa penggusuran dan kriminalisasi terjadi dalam kurun 2 Maret hingga hari ini.7 []

 

Catatan kaki:

1        Anto Sangadji. 2018. “Ekonomi Politik Monopoli Penguasaan Tanah, Kelas-kelas Petani dan Reforma Agraria (Bagian-1)”. Indoprogres.com.

2        Alec Gordon. 2010. “Netherlands East Indies: The Large Colonial Surplus of Indonesia, 1878–1939”. Journal of Contemporary Asia 40 (3): 425–443.

3        Destara Sati. 2019. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: hlm. 234-252.

4        Tommy Apriando, “Kajian UGM: 2,8 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan, 65% Milik Pengusaha, Solusinya?”, http://www.mongabay.co.id/2018/11/04/kajian-ugm-28-juta-hektar-kebunsawit-di-kawasan-hutan– 65-milik-pengusaha-solusinya/. Diakses tanggal 28 November 2018.

5        Alfreds Tuter. 2020. https://rri.co.id/nasional/hukum/903473/ketimpangan-penguasaan-lahan-ylbhi-kritisi-reforma-agraria

6        Poltak Partogi Nainggolan. 2013. “Kapitalisme Internasional Dan Fenomena Penjarahan Lahan Di Indonesia”. Politica Vol. 4 No. 2 November 2013.

7        Budiarti Utami Putri. 2020. “KPA Catat 9 Konflik Agraria Terjadi Selama Masa Pandemi Covid-19”, https://nasional.tempo.co/read/1330772/kpa-catat-9-konflik-agraria-terjadi-selama-masa-pandemi-covid-19/full&view=ok

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − 5 =

Back to top button