Catatan Dakwah

Framing Jahat

Untuk Catatan kali ini saya mengutip agak banyak tulisan Ummu Naflah dalam situs Suara-Islam. Tulisan ini cukup bagus. Sangat pas dengan apa yang tengah terjadi saat ini. Intinya tentang framing atau pembingkaian jahat yang dilakukan oleh media atas apa yang terjadi, yang terkait dengan Islam atau kelompok Islam.

++++

Framing atau pembingkaian adalah kegiatan mengemas (packaging) dan mengkontekstualisasikan (contextualizing) sebuah kejadian atau peristiwa dengan narasi dan penggunaan istilah-istilah tertentu sedemikian. Dengan itu dihasilkan pemahaman dan opini pada pembaca atau pemirsa seperti yang diinginkan oleh pelaku, yang biasanya jauh atau menyimpang dari konteks yang sebenarnya.

Misalnya ini. “Hizbut Tahrir resmi dilarang di Indonesia. Dalihnya, bertentangan dengan dasar negara. Upaya hukum sudah dilakukan. Pengadilan tingkat pertama telah memutuskan. Sebenarnya ini bukan keputusan langka. Sejumlah negara sudah lebih dulu melarangnya.” (Narasi Najwa Shihab di “Mata NajwaTrans7, 9/5/2018).

Bukan hanya di “Mata Najwa”, BBC Indonesia juga menulis judul “HTI dinyatakan ormas terlarang. Pengadilan tolak gugatan.” (7/5/2018).

Perhatikan penggunaan istilah-istilah kunci ini: dilarang, terlarang. Tujuannya jelas, agar publik menolak keberadaan HTI, seolah barang haram. Mengatakan HTI sebagai organisasi terlarang jelas bertentangan dengan fakta hukum yang ada. Menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra sebagai kuasa hukum HTI, tidak bisa HTI dianggap sebagai ormas terlarang karena proses hukumnya masih berjalan. Pernyataan ini diperkuat oleh Ahmad Khozinudin SH dari Koalisi 1000 Advokat Bela Islam. Menurut dia, organisasi HTI masih ada, sah dan legal. Bukan organisasi terlarang. Status BHP-nya saja yang dicabut. Itu tidak menjadikan HTI bubar apalagi terlarang. Tidak ada satu pun amar putusan PTUN yang menyatakan HTI dibubarkan atau menyatakan HTI sebagai Organisasi Massa Terlarang (Mediaumat.news, 8/5/2018). Terhadap putusan itu, HTI mengajukan banding.

Ungkapan bahwa HT juga dilarang di sejumlah negara seolah bila sekarang Pemerintah melarang adalah wajar belaka. Ini juga framing. Padahal larangan dimaksud adalah info dari dari intelijen negara itu. Semua itu dilakukan tanpa due process of law yang benar. Artinya, itu juga sebuah kezaliman.

Bukan hanya HTI, organisasi lain seperti FPI pun tak luput dari framing jahat. Kiprah FPI dalam beramar makruf nahi mungkar, memberantas kemaksiatan di tempat-tempat hiburan malam, menghentikan peredaran miras, perjudian dan lainnya di-framing sebagai ormas yang doyan melakukan kekerasan. Fakta bahwa FPI telah lebih dulu mengingatkan dan mengadu kepada aparat tetapi tak mendapat respon memadai, tak pernah ditulis oleh media. Semua disembunyikan bersama dengan kiprah FPI dalam membantu korban musibah atau bencana yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Walhasil, dimata publik FPI seperti tampak tak ada baiknya sama sekali.

Lalu HTI dan FPI, bersama ormas lain seperti MMI, FUI, juga GNPF Ulama, di-framing sebagai kelompok radikal. Radikalisme dinyatakan sebagai akar dari terorisme. Narasi ini terus berulang digunakan. Maka dari itu, ketika terjadi peledakan bom, seperti yang terjadi di tuga gereja di Surabaya baru lalu, langsung dinyatakan sebagai tindak terorisme yang dilakukan oleh kelompok radikal. Belum lagi diketahui siapa dalang di balik pengeboman tersebut, linimasa sudah diramaikan dengan duga-dugaan yang semua mengarah kepada apa yang mereka sebut sebagai kelompok radikal-teroris. Sebaliknya, bila hal serupa terjadi menimpa umat Islam dan pelakunya non-Muslim, tidak pernah disebut teroris. Kelompok yang melakukan kekerasan itu pun, seperti yang terjadi di Papua baru lalu, tidak disebut kelompok radikal. Mereka hanya disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Seolah sudah direncanakan, peristiwa pengeboman itu dimanfaatkan untuk menekan DPR agar segera mengesahkan RUU Antiterorisme. Padahal banyak pasal dalam RUU itu sangat mengancam keamanan publik. Alih-alih bakal tercipta ketenteraman, dengan RUU itu, sangat boleh jadi akan timbul suasana teror di tengah masyarakat. Pasalnya, dalam RUU itu dinyatakan bahwa aparat boleh menangkap orang yang diduga hendak melakukan kegiatan teroris, lalu membawa dia ke suatu tempat untuk waktu yang lama tanpa boleh dijenguk keluarga dan didampingi pembela. Ini yang kemudian disebut sebagai pasal “Guantanamo”.

Bukan hanya terhadap organisasi yang mereka sebut radikal seperti HTI dan FPI, media juga menyasar khilafah. Mereka membingkai salah satu bagian dari ajaran Islam yang sangat penting dengan cara keji. Mereka katakan khilafah sebagai ajaran radikal, lalu mencoba mengidentikkan atau mengkaitkan khilafah dengan ISIS. Lalu tiap kali disebut ISIS, yang digambarkan selalu adalah kekacauan dan kehancuran negara seperti Suriah dan Irak. Selanjutnya, ini tampaknya yang menjadi tujuan akhirnya, digambarkan bahwa bila dibiarkan, ide khilafah juga bakal menghancurkan Indonesia. Walhasil publik menjadi takut. Mereka lalu menjauh dan menolak ide yang sesungguhnya sangat penting untuk mewujudkan ukhuwah islamiyah secara nyata, penerapan syariah secara kâffah dan pelaksanaan dakwah. Ini jelas ironi besar. Bagaimana bisa umat Islam takut pada ajaran agamanya sendiri? Inilah dampak luar biasa dari framing jahat tadi.

Setelah organisasi dan idenya, framing jahat juga dilakukan terhadap orangnya. Lihatlah bagaimana Habib Rizieq Shihab diperlakukan begitu rupa. Dipojokan, dihina dan di-bully akibat chat fake yang terbukti direkayasa oleh oknum yang tak bertanggung jawab. Seolah beliau itu penjahat besar dan telah melakukan perbuatan yang begitu hina sehingga pantas dilenyapkan.

Manipulasi akibat framing jahat semacam ini jelas telah merugikan publik, bahkan menjadikan publik, khususnya umat Islam, sebagai korban. Media yang dalam sistem demokrasi dianggap sebagi pilar keempat setelah yudikatif, eksekutif dan legislatif pada kenyataannya telah dijadikan sebagi alat para pemilik modal guna mencengkeram isi kepala publik. Media telah nyata-nyata disalahgunakan untuk memuluskan kepentingan kuasa modal dan kelompok tirani.

++++

 

Maka dari itu, tak ada pilihan lain selain terus melawan framing jahat itu dengan terus melanjutkan dakwah ini, baik melalui lisan mau pun tulisan. Dari sanalah kejahatan itu bisa ditepis, bahkan dibongkar kebusukannya. Dengan begitu publik terbuka mata hati dan pikirannya untuk menangkap kebenaran dan apa yang terjadi sebenarnya.

Oleh karena itu, berbanggalah para jurnalis Muslim dan para penulis ideologis. Kiprahmu dirindu dan dinanti umat sebagai cahaya di tengah gelap gulitanya berita dunia yang dicekam wabah framing jahat yang amat menyesatkan.

Akhirnya, seburuk apapun keadaannya, kita tetap harus yakin dan percaya, mereka bisa saja membuat tipudaya terhadap Islam dan umatnya melalui framing jahat media, tetapi tetap saja Allahlah sebaik-baiknya Pembuat tipudaya. Orang-orang kafir itu membuat tipudaya. Allah membalas tipudaya mereka itu. Allahlah sebaik-baik Pembalas tipudaya. (TQS Ali Imran [3]: 54).

Selalu ada hikmah di balik semua peristiwa, seburuk apapun menurut kita. Hanya acap kita tidak tahu, atau terlambat tahu, atau akhirnya baru tahu setelah kita tiba di ujung sana. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [H. M. Ismail Yusanto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × five =

Check Also
Close
Back to top button