Soal Jawab

Bolehkah Menggunakan Dalil “Dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘alâ jalbi al-mashâlih”?

Soal:

Bagaimana status kaidah, “Dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘alâ jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan)”? Bolehkah kaidah ini dijadikan sebagai dalil? Kalau tidak, bolehkah kaidah ini dijadikan sebagai ‘illat hukum?

 

Jawab:

Kaidah “Dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘alâ jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan)” ini terdiri dari dua poin. Pertama, “dar’u al-mafâsid (mencegah kerusakan)”. Kedua, “jalbi al-mashâlih (mengupayakan kemaslahatan)”.

Dua poin ini adalah konotasi dari makna “rahmah (rahmat)” dalam firman Allah SWT:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ

Kami tidak mengutus kamu (Muhammad)—dengan membawa syariah Islam—kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Jadi, Nabi saw. diutus dengan membawa syariah Islam tak lain agar menjadi rahmat bagi alam semesta. Konotasi “rahmat[an] li al-‘âlamîn (rahmat bagi alam semesta) di sini adalah “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan)”.

Hanya saja, apakah “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” ini merupakan ‘illat (alasan) dari pensyariatan hukum syariah, baik secara keseluruhan (kulli) maupun perhukum (kullu hukm)? Ataukah”jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” ini hanya merupakan hikmah, atau dampak dari penerapan hukum syariah? Nah, inilah yang harus didudukkan terlebih dulu.

Pertama: Kita harus membedakan ‘illat dengan hikmah. ‘Illat telah dijelaskan oleh para ulama ushul:

اَلْعِلَّةُ هِيَ الشَّيْءُ الَّذِيْ مِنْ أَجْلِه وَجَدَ الْحُكْمُ, أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى هِيَ الأَمْرُ اَلْبَاعِثُ عَلَى الْحُكْمِ, أَيْ لِحُكْمِ, أَيْ اَلْبَاعِثُ عَلَى التَّشْرِيْعِ, لاَ عَلَى الْقِيَامِ وَإِيْجَادِهِ. وَمِنْ هُنَا كَانَ لاَ بُدَّ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ وَصْفًا مُنَاسِبًا, أَيْ وَصْفًا مُفْهِمًا, بِمَعْنَى أَنَّه لاَ بُدَّ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ الْوَصْفُ مُشْتَمِلاً عَلَى مَعْنًى صَالِحٍ لِأَنْ يَكُوْنَ مَقْصُوْدًا لِلشَّارِعِ مِنْ شَرْعِ الْحُكْمِ .

Illat adalah sesuatu yang menjadi alasan adanya hukum. Dengan kata lain, ‘illat merupakan alasan yang membangkitkan hukum atau alasan yang menyebabkan pensyariatan hukum, bukan alasan untuk mengerjakan dan mewujudkan hukum. Dari sini maka ‘illat harus berupa sifat yang relevan atau sifat mufhim (yang memberikan pemahaman). Dalam arti, sifat tersebut harus mengandung makna yang layak menjadi maksud Allah mensyariatkan hukum.1

Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menambahkan:

اَلْعِلَّةُ دَلِيْلٌ عَلَى الْحُكْمِ, وَعَلاَمَةٍ عَلَيْهِ, وَمُعَرِّفَةٍ لَهُ, وَلَكِنَّهَا إِلَى جَانِبِ ذَلِكَ هِيَ الأَمْرُ اَلْبَاعِثُ عَلَى الْحُكْمِ .

Illat adalah dalil hukum, tanda sekaligus pengenal yang menunjukkan pada hukum. Namun demikian, selain itu ‘illat merupakan alasan yang membangkitkan hukum.2

Karena itu ‘illat tidak sekadar dalil, tanda atau sesuatu yang menunjukkan hukum, tetapi sekaligus merupakan sesuatu yang membangkitkan hukum. Karena ‘illat merupakan dalil hukum, maka ‘illat yang bisa diterima adalah ‘illat syar’iyyah (yang dinyatakan oleh wahyu), bukan ‘illat ‘aqliyyah (dinyatakan oleh akal). Dengan kata lain, ‘illat ini harus dinyatakan oleh dalil syariah, bukan akal. Karena itu ‘illat yang bisa diterima hanya ada empat, yaitu ‘illat: sharahah, dalâlah, istinbâth dan qiyâs. Selain itu tidak bisa diterima.3

Memang ‘illat itu harus dinyatakan oleh dalil syariah, tetapi tidak semua dalil syariah mengandung ‘illat. Karena itu ketika ‘illat tersebut ada pada dalil hukum tertentu, maka ada dan tidak adanya ‘illat tersebut juga menentukan ada-tidak adanya hukum tersebut. Ini sesuai dengan kaidah:

اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ الْحُكْمِ وُجُوْدًا وَعَدَمً

‘Illat itu berputar mengikuti ada atau tidak adanya hukum.4

Adapun hikmah, menurut ulama’ ushul adalah:

اَلْمَعْنَى اَلْمُنَاسِبُ الَّذِيْ نَشَأَ عَنْهُ الْحُكْمِ

Makna yang relevan, yang dari makna itu ada hukum. 5

Contoh, adanya kesulitan (masyaqqah) bagi seorang musafir dianggap sebagai makna yang relevan dalam meringankan shalat, dengan kebolehan meng-qashar-nya. Ini bukan ‘illat karena qashar dalam bepergian telah disyariatkan sejak awal. Kadang tidak ada kesulitan bagi seorang musafir, tetapi berlaku bagi dia kebolehan hukum menjamak dan meng-qashar shalat saat bepergian sebagai rukhshah. Kalau masyaqqah ini ‘illat, maka begitu tidak ada masyaqqah, hukum jamak dan qashar tersebut tidak berlaku, padahal tidak demikian. Artinya, ini bukan ‘illat, tetapi hikmah.6

Lebih jauh, baik Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani maupun al-‘Alim al-Ushuli asy-Syuwaiki menjelaskan bahwa hikmah adalah dampak atau hasil (nâtijah) dari penerapan hukum syariah,7baik dari masing-masing hukum maupun dari hukum secara keseluruhan. Contoh, Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ

Sungguh shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS al-‘Ankabut [29]: 45).

Hikmah shalat bagi pelakunya adalah dapat mencegah orang tersebut dari melakukan perbuatan keji dan munkar. Hikmah ini ada pada pelaksanaan hukum shalat setelah shalat tersebut dilaksanakan dengan sempurna. Meski demikian, hikmah ini bisa jadi diperoleh oleh pelakunya dan bisa juga tidak. Inilah contoh hikmah yang ada pada masing-masing hukum.

Adapun hikmah yang terdapat pada pelaksanaan hukum syariah secara menyeluruh, yaitu dampak dari pelaksanaan hukum syariah secara kâffah, adalah “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan)”. Ini didasarkan pada QS al-Anbiya’ (29) ayat 107 di atas.8

Namun demikian, ini bukan ‘illat. Pasalnya, konotasi bahasa, dari dalâlah iltizam ayat ini, tidak bisa dibawa pada konotasi ‘illat, sebagaimana yang lazim dalam istilah para ulama ushul.

Dari sini jelas ‘illat berbeda dengan hikmah. Meski sama-sama dinyatakan oleh dalil, ciri khas ‘illat adalah adanya sifat mutharidah (membuntuti/menempel). Artinya, ketika ‘illat itu ada, pasti hukumnya juga ada. Begitu juga sebaliknya, ketika ‘illat-nya tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada.9

Sifat ini tidak ada pada hikmah. Karena itu kadang hukumnya ada, tetapi hikmahnya tidak ada.

Berdasarkan penjelasan ini kita bisa memahami bahwa “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” bukanlah ‘illat hukum, baik satu-persatu hukum maupun hukum syariah secara keseluruhan. Namun demikian, lebih tepat disebut hikmah atau hasil dari penerapan hukum syariah. Itu pun dengan catatan jika hukum syariah tersebut dilaksanakan secara kâffah. Jika “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” itu bukan ‘illat hukum maka lebih tidak layak lagi diklaim sebagai dalil hukum. Dengan kata lain, kaidah tersebut diklaim sebagai ‘illat saja tidak layak, apalagi diklaim sebagai dalil.

Kedua: Fakta bahwa “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid (mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan)” adalah makna atau tepatnya pendapat yang diambil secara spekulatif (bi azh-zhann) dari dalil syariah, yaitu QS al-Anbiya’ (29) ayat 107, dan bukan dalil syariah itu sendiri, sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa kaidah ini kedudukan hanya sebatas “hukum”, bukan dalil hukum.10 Jelas, hukum tidak boleh dijadikan sebagai dalil hukum, baik untuk membatasi (taqyîd) kemutlakan (muthlaq), menspesifikkan (takhshîsh) keumuman (‘âm), mendetailkan (tasyîn) keglobalan (mujmal) maupun yang lain.

Karena itu “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” tidak bisa digunakan untuk men-takhshîsh keumuman dalil syariah, seperti kewajiban berdakwah dan amar makruf nahi mungkar, mulai dari yang ringan hingga yang berat, termasuk mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm) hingga menegakkan Khilafah (iqâmah al-Khilâfah). Apalagi digunakan untuk membatalkan kewajiban yang dinyatakan dengan tegas oleh dalil syariah ini.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” adalah konotasi yang ditunjukkan oleh dalil syariah secara keseluruhan. Pendapat seperti ini sudah diruntuhkan oleh Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, al-‘Alim al-Ushuli as-Syuwaiki maupun al-‘Alim al-Ushuli Muhammad ‘Abd al-Karim Hasan.11 Faktanya, setiap hukum syariah harus ditarik dari dalil tertentu yang menjelaskan tentang hukum itu. Menarik satu hukum syariah tidak bisa dilakukan dengan menggunakan metode deduksi dan induksi (istiqrâ’).

Ketiga: Jika “jalbi al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” bukan ‘illat atau dalil, juga tidak layak dijadikan sebagai ‘illat maupun dalil, maka kaidah “dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘ala jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan)” lebih tidak boleh lagi digunakan baik untuk membatasi (taqyîd) kemutlakan (muthlaq), menspesifikkan (takhshîsh) keumuman (‘âm), mendetailkan (tasyîn) keglobalan (mujmal) maupun yang lain.

Karena itu kewajiban berdakwah dan amar makruf nahi mungkar, mulai dari yang ringan hingga yang berat, termasuk mengoreksi penguasa (muhâsabah al-hukkâm) hingga menegakkan Khilafah (iqâmah al-Khilâfah) tidak bisa dibatasi (taqyîd) kemutlakan (muthlaq)-nya, dispesifikkan (takhshish) keumuman [‘âm]-nya, didetailkan (tasyîn) keglobalan (mujmal)-nya dengan menggunakan “dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘ala jalbi al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan)”.

Dalil tentang kewajiban berdakwah dan amar makruf nahi mungkar, misalnya nas, baik al-Quran maupun as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ رَأَيۡتَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودٗا

Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah kalian (tunduk) pada hukum yang Allah telah turunkan dan pada hukum Rasul”, niscaya kalian lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya agar tidak (mendekati) kalian (QS an-Nisa’ [4]: 61).

Nabi saw. bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرَنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ, ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Demi Zat Yang jiwaku dalam genggaman-Nya, kalian harus benar-benar menyerukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran atau Allah pasti akan mengirimkan siksa-Nya, kemudian kalian berdoa kepada-Nya, maka doa kalian tidak akan pernah dikabulkan (HR at-Tirmidzi).

Dalil tentang kewajiban untuk menegakkan Khilafah, misalnya, sabda Nabi saw.:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati, sementara di atas pundakya tidak ada baiat (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah (HR Muslim).

Begitu juga dalil tentang kewajiban mengoreksi penguasa, apapun risikonya, termasuk dibunuh:

سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةٌ بْنِ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَمَنْ قَامَ أَمَامَ إِمَامٍ جَائِرٍ فَنَصَحَهُ فَقَتَلَهُ

Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan siapa saja yang berdiri di hadapan seorang imam yang zalim, kemudian menasihatinya, lalu dia (imam) membunuhnya (HR al-Hakim dan al-Khathib).

Dalil-dalil syariah di atas tidak bisa dibatasi tidak bisa dibatasi (taqyîd) kemutlakan (muthlaq)-nya, dispesifikkan (takhshish) keumuman [‘âm]-nya, didetailkan (tasyîn) keglobalan (mujmal)-nya dengan menggunakan “dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘ala jalbi al-mashâlih”. Pasalnya, “dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘ala jalbi al-mashâlih” bukan dalil syariah.

WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, edisi Muktmadah, cet. III, 1426 H/2005 M, Juz III/337. Lihat juga, Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz III/17; Ibn Hajib, Mukhtashar al-Muntaha, Juz II/213; Bayan al-Mukhtashar, Juz III/25.

2        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/337. Ini hampir mirip dengan penjelasan ar-Razi, al-Baidhawi, Ibn as-Subki, as-Shairafi, dari kalangan mazhab Syafii, dan Abu Zaid ad-Dabusi, dan kalangan mazhab Hanafi, dan mayoritas pengikut Asy’ari. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ya’la, Abu al-Khatthab, Ibn ‘Aqil, al-Hulwani, dari kalangan mazhab Hanbali, dan mayoritas mazhab Maliki. Lihat, Hafidz Tsana’ullah az-Zahidi, Taisir al-Ushul, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. II, 1428 H/1997 M, hal. 237-238.

3        Untuk lebih jauh, silahkan rujuk kitab Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/350.

4        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/337. Ini hampir mirip dengan penjelasan ar-Razi, al-Baidhawi, Ibn as-Subki, as-Shairafi, dari kalangan mazhab Syafii, dan Abu Zaid ad-Dabusi, dan kalangan mazhab Hanafi, dan mayoritas pengikut Asy’ari. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Ya’la, Abu al-Khatthab, Ibn ‘Aqil, al-Hulwani, dari kalangan mazhab Hanbali, dan mayoritas mazhab Maliki. Lihat, Hafidz Tsana’ullah az-Zahidi, Taisir al-Ushul, Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. II, 1428 H/1997 M, hal. 237-238.

5        Lihat, Mukhtashar ar-Raudhah, Juz I/423; Nuzhatu al-Khathir ‘ala Raudhatu an-Nadhir, Juz I/160; Hasyiyah Bukhit ‘ala Nihayati as-Sul, Juz XXXX/261.

6        Muhammad as-Syuwaiki, al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1418 H/1998 M, hal. 48.

7        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/381; Muhammad as-Syuwaiki, al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1418 H/1998 M, hal. 48.

8        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/381; Muhammad as-Syuwaiki, al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. I, 1418 H/1998 M, hal. 48.

9        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/348; al-‘Allamah ‘Ali as-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1414 H/1994 M, hal. 309.

10      Muhammad as-Syuwaiki, ibid, hal. 207.

11      Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ibid, Juz III/399; Muhammad as-Syuwaiki, ibid, hal. 207; Muhammad ‘Abd al-Karim Hasan, al-Mashalih al-Mursalah, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, Beirut, hal. 56.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − 8 =

Back to top button