Ibrah

Takwa

Sebagaimana banyak dipahami, Allah SWT mewajibkan kaum Muslim berpuasa agar mereka meraih takwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

Apa itu takwa? Banyak definisinya. Salah satunya dikemukakan oleh Imam ath-Thabari. Saat menafsirkan QS al-Baqarah [2] ayat 2 pada kata al-muttaqîn, beliau antara lain mengutip pernyataan Imam al-Hasan, “Mereka—kaum yang bertakwa, pen.—adalah yang takut atas apa saja yang telah Allah haramkan atas mereka dan menunaikan apa yang telah Allah wajibkan kepada mereka.”

Beliau juga mengutip pernyataan Ibnu Abbas, “(Kaum yang bertakwa adalah) kaum Mukmin yang takut untuk menyekutukan Aku (Allah SWT) dan mereka selalu mengerjakan ketaatan kepada-Ku.” (Lihat: Ath-Thabari, Jâmi al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 1/232-234).

Dengan demikian takwa mencakup seluruh bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Karena itu takwa tak cukup dengan puasa Ramadhan. Faktanya, di dalam al-Quran, selain dalam QS al-Baqarah (2) ayat 183 yang berbicara tentang kewajiban puasa Ramadhan, ada beberapa ayat lain yang diakhiri dengan frasa “la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa)”.

Di antaranya: Pertama, firman Allah SWT saat memerintahkan manusia untuk mengabdi (beribadah) kepada Allah Yang telah menciptakan manusia, agar manusia bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 21). Ibadah tentu mencakup semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT secara totalitas; bukan semata-mata ritualitas shalat, shaum Ramadhan, zakat atau haji saja.

Kedua, firman Allah SWT saat mewajibkan perberlakuan hukum qishâsh, juga agar manusia bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 178-179), Jika hukum qishâsh wajib diterapkan, demikian pula hudûd, termasuk semua hukum Allah SWT yang lain.

Ketiga, firman Allah SWT saat memerintahkan manusia untuk hanya mengikuti jalan-Nya yang lurus dan tidak mengikuti jalan-jalan lain yang bisa mengakibatkan perpecahan (QS al-An’am [6]: 153). Jalan Allah SWT tentu adalah Islam. Hanya dengan mengikuti jalan Islam saja seseorang dimungkinkan meraih takwa.

Alhasil, takwa tak mungkin benar-benar terwujud pada diri seorang Muslim hanya dengan menjalankan puasa Ramadhan. Takwa paripurna hanya akan terwujud dengan cara menjalankan seluruh ketaatan kepada Allah SWT, yakni dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Takwa paripurna tentu memiliki ciri-ciri. Di antaranya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ali ra., takwa dicirikan oleh empat hal: (1) Al-Khawf min al-Jalîl (Memiliki rasa takut kepada Zat Yang Mahaagung (Allah SWT); (2) Al-‘Amal bi at-Tanzîl (Mengamalkan apa yang telah Allah turunkan (al-Quran); (3) Al-Qanâ’ah bi al-Qalîl (Merasa cukup dengan (harta) yang sedikit; (4) Al-Isti’dâd li Yawm ar-Rahîl (Mempersiapkan bekal (amal) untuk menghadapi Hari Penggiringan (Hari Kiamat) (Muhammad Shaqr, Dalîl al-Wâ’izh ilâ Adillath al-Mawâ’izh, 1/546).

Takwa semacam inilah yang benar-benar terwujud di dalam diri generasi salafush-shalih, khususnya para sahabat, tâbi’în dan tâbi’ at-tâb’în. Salah satunya Ibnu Umar ra. Ia termasuk pengusaha kaya. Harta halalnya cukup berlimpah karena ia seorang pengusaha sukses. Namun, semua itu tidak ia simpan sendiri, tetapi ia bagikan kepada fakir miskin. Setiap bulan Ramadhan, ia memiliki kebiasaan berbuka puasa bersama anak yatim dan orang miskin.

Tentang sifat qanâ’ah-nya terhadap harta, diceritakan oleh Ayub bin Wail ar-Rasibi. Disebutkan, suatu hari Ibnu Umar ra. pernah mendapat kiriman harta senilai 4000 dirham (sekitar Rp 200 juta). Namun keesokan harinya, Ayub bin Wail melihat Ibnu Umar ra. di pasar membeli pakan kudanya dengan cara berutang. Ayub pun heran. Karena penasaran, Ayub datang menemui keluarga Ibnu Umar, ingin tahu, apa gerangan yang terjadi. Keluarganya menjelaskan bahwa uang sebanyak itu tak sampai menginap semalam, sudah langsung dibagikan semuanya saat itu juga kepada fakir miskin.

Ada pula Aswad bin Yazid. Ia dikenal banyak menunaikan ibadah haji. Ia berkunjung ke Baitullah lebih dari 80 kali baik untuk melaksanakan haji maupun umrah. Ia juga banyak berpuasa dan shalat. Ia pun selalu dekat dengan al-Quran. Ia biasa mengkhatamkan al-Quran selama bulan Ramadhan setiap dua malam sekali. Di luar Ramadhan ia biasa mengkhatamkan al-Quran setiap pekan (Adz-Dzahabi, Syiar A’lam an-Nubala’, IV/50-51).

Ketakwaan juga tersurat pada diri Qatadah as-Sadusi. Ia seorang dari kalangan tâbi’în, murid Anas bin Malik. Ia seorang yang buta. Namun demikian, ia selalu mengkhatamkan al-Quran sepekan sekali. Selama bulan Ramadhan ia mengkhatamkan al-Quran tiga hari sekali. Saat sepuluh hari terakhir Ramadhan, ia mengkhatamkan al-Quran sehari sekali.

Ketakwaan juga tampak jelas pada diri Imam Syafii. Beliau adalah seorang ulama pemimpin para mujtahid dan ahli fikih. Saat yang sama beliau adalah pemimpin kaumnya dalam hal iman, takwa, wara’, zuhud dan ibadah. Salah satu murid Imam Syafii, Ar-Rabi’, pernah bertutur, “Imam Syafii membagi waktu malamnya menjadi tiga: sepertiga untuk menulis; sepertiga untuk menunaikan shalat malam; sepertiga lagi untuk istirahat/tidur.”

Imam Syafii juga membaca al-Quran setiap hari. Khusus selama bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan al-Quran sebanyak 60 kali.

Tentu akan terlalu banyak teladan salafush-sahalih dalam hal ketakwaan mereka. Yang pasti, ketakwaan harus diwujudkan segera, tak boleh ditunda-tunda. Inilah juga yang dicontohkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq ra.

Dikisahkan, suatu ketika Imam Ja’far ra. sedang bersama budaknya. Saat itu budaknya tengah menuangkan air. Tak sengaja, air itu tumpah dan mengenai pakaian Imam Ja’far. Seketika Imam Ja’far menatap wajah budaknya dengan menampakkan ketidaksukaan (tanda agak marah, pen.). Namun, seketika pula budaknya itu mengingatkan Imam Ja’far dengan mengutip QS Ali Imran (3) ayat 134 (yang berbicara tentang ciri-ciri orang-orang yang bertakwa, pen.), “Tuanku, orang yang bertakwa adalah mereka yang biasa menahan amarah (wal kâzhimîn al-ghayzh).”

Imam Ja’far segera sadar dan berkomentar, “Kalau begitu, aku sudah tidak lagi marah kepadamu.”

Budaknya berkata lagi, “Mereka juga mudah memaafkan manusia (wal ‘âfîna ‘an an-nâs).”

Imam Ja’far segera membalas, “Kalau begitu, aku sudah memaafkan kamu.”

Budaknya lalu menutup kata-katanya dengan kalimat di akhir ayat, “Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (WalLâhu yuhibu al-muhsinîn).”

Imam Ja’far segera menjawab, “Kalau begitu, pergilah kamu. Sekarang kamu merdeka karena Allah. Kamu pun berhak mendapatkan hartaku sebanyak 1000 dinar (sekitar Rp 2 miliar, pen.).” (Lihat: Ibnu al-Jauzi, Bahr ad-Dumû’, hlm. 142). [Arief B. Iskandar]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 + fourteen =

Check Also
Close
Back to top button