Hiwar

Rokhmat S. labib: Putusan PTUN Tentang HTI Zalim!

Pengantar:

Sebagaimana diketahui, gugatan HTI terhadap Pemerintah yang telah secara sepihak mencabut BHP HTI ditolak oleh hakim di PTUN. Tampak jelas ada aroma ketidakadilan. Hakim seolah hanya merujuk pada bukti, saksi dan keterangan ahli dari tergugat (Pemerintah) yang nyata-nyata sangat lemah. Sebaliknya, hakim mengabaikan sama sekali bukti, saksi dan keterangan ahli dari pihak penggugat (HTI) meski punya argumentasi sangat kuat.

Yang lebih aneh, PTUN yang harusnya hanya mengadili perkara administrasi, malah mengadili subtansi, di antaranya mengadili ajaran Islam, yakni Khilafah, yang memang selalu diusung oleh HTI dalam dakwahnya. Bahkan hakim memutuskan bahwa mendakwahkan khilafah sebagai tindak kejahatan luar biasa.

Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa alasannya? Itulah di antara yang ditanyakan oleh Redaksi kepada pimpinan HTI, Ustadz Rochmat S, Labib, dalam wawancara berikut ini.

 

HTI menolak keputusan PTUN, mengapa?

Secara hukum, ini merupakan keputusan yang aneh. Sebab, ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan yang mengadili perkara administrasi. Perkara ini juga yang diajukan oleh HTI. HTI menggugat keabsahan SK Menkumham yang mencabut status Badan Hukum HTI.

Setelah SK tersebut dipelajari oleh kuasa hukum HTI, yakni Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, di dalam surat tersebut terdapat beberapa kesalahan sangat fatal. Di antaranya, di dalam SK tersebut tidak disebutkan apa kesalahan HTI. Tidak dijelaskan pasal berapa yang dilanggar oleh HTI sehingga dikenakan sanksi berupa pencabutan status badan hukum.

Padahal pencabutan status badan hukum sebuah organisasi berbadan hukum adalah sanksi. Sebagaimana kayaknya sanksi, harus ada pasal yang dilanggar.

Ini merupakan kesalahan fatal. Bagaimana mungkin ada surat keputusan yang isinya berupa sanksi terhadap sebuah organisasi berbadan hukum, namun tidak disebutkan apa kesalahan yang diperbuat dan pasal berapa yang dilanggar? Bandingkan, surat tilang polisi terhadap pengendara bermotor yang hanya melibatkan seorang harus ditulis pelanggaran dan pasalnya, sementara ini menyangkut orang banyak, hal itu justru tidak ada.

Dalam naskah keputusan hakim, hal ini juga diakui oleh hakim. Akan tetapi, hakim justru mengabaikan aspek ini. Mereka hanya mengatakan bahwa di dalam SK itu ada kekurangan atau ketidaklengkapan yang dapat diperbaiki, namun tidak membatalkan keputusan dalam SK tersebut. Anehnya, mereka justru mengadili paham khilafah yang disimpulkan oleh hakim bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.

Ini kan jelas keptusan aneh. Objek sengketanya yang seharusnya diadili malah diabaikan, sementara perkara lain yang tidak menjadi objek sengketanya justru diadili. Oleh karena itu, setelah keputusan itu dibacakan, Jubir HTI Ustadz Ismail Yusanto dan kuasa hukum langsung menyatakan banding.

Secara substansi, kesimpulan hakim itu justru bermasalah dan akan melahirkan berbagai masalah serius. Bayangkan, khilafah disebut sebagai paham tercela dalam perpektif Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal khilafah adalah ajaran Islam. Tidak ada seorang pun dari kalangan ulama mu’tabar yang berbeda pendapat tentang ini. Karena bagian dari Islam, maka tidak boleh dipersoalkan. Mempersoalkan khilafah dan dakwah untuk menyampaikannya jelas merupakan sebuah kezaliman. Kezaliman tentu harus ditolak.

 

Keputusan PTUN dianggap melampui wewenang, dari persoalan administrasi ke persoalan substansi, mengapa?

Seperti saya katakan tadi, ini pengadilan admistrasi. Semestinya, hakim fokus mengadili aspek administrasi ini. Bukan malah menghadili aspek lainnya yang bukan menjadi kewenangannya. Bahkan Prof. Dr. Suteki menyebut ini Pengadilan Pidana Tata Usaha Negara.

Hakim beberapa kali mengatakan bahwa objek sengketanya adalah selembar kertas, SK Menkumham. Ini disampaikan ketika topik yang disampaikan oleh saksi atau ahli melebar ke mana-mana. Jadi ketika keputusannya justru berbeda dengan apa yang disampaikan oleh hakim sendiri, kita merasa aneh.

 

Benarkah beberapa fakta yang keliru, seperti sumpah di IPB, tetap digunakan hakim jadi pertimbangan?

Pihak Pemerintah memang menyodorkan beberapa bukti yang dianggap sebagai pelanggaran HTI. Di antaranya adalah video Sumpah Mahasiswa di IPB. Dalam persidangan, Ustadz Farid Wajdi sebagai saksi dari pengurus HTI juga telah membantah itu sebagai kegiatan HTI. Namun anehnya, itu tetap dijadikan sebagai bukti oleh hakim. Apakah karena isinya mendukung Khilafah sehingga disimpulkan sebagai kegiatan HTI? Kan tidak bisa begitu.

 

Hakim, sepertinya lebih banyak merujuk pada pendapat ahli dari pihak tergugat?

Benar. Bahkan bisa dikatakan, keputusan hakim itu hanya memperhatikan pendapat ahli dari Pemerintah. Sebaliknya, pendapat semua ahli dari HTI diabaikan. Padahal banyak pendapat dari para ahli Pemerintah itu tidak memiliki pijakan dalil dan rujukan yang kuat.

Sebagai contoh, tentang konsep khilafah, hakim lebih memilih mengambil pendapat Prof. Dr. Yudian Wahyudi. Rektor UIN Sunan Kalijaga itu mengatakan bahwa konsep khilafah menurut al-Quran tidak mensyaratkan agama. Menurut dia, khalifah hanya mensyaratkan dua hal. Pertama, memiliki keilmuan, keterampilan, dan keahlian. Kedua, menang tanding atas yang lain. Atas dasar syarat itu, Presiden Jokowi, menurut dia, adalah khalifah. Bahkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga bisa disebut khalifah.

Ini kan pendapat yang sangat aneh. Tidak ada satu pun kitab mu’tabar yang menjelaskan konsep khilafah dengan penjelasan seperti ini. Saya bisa pastikan ini. Maka dari itu tidak mengherankan jika dalam makalah yang dia bacakan di Pengadilan itu sama sekali tidak disebutkan kitab para ulama mu’tabar sebagai referensi dan dasar rujukannya.

Demikian juga penjelasan Yudian lainnya yang mengatakan bahwa mendirikan Khilafah di Indonesia itu haram, bahkan dia sebut sebagai tindakan memberontak kepada Allah SWT.

Ini jelas pendapat yang sangat ganjil. Khilafah adalah ajaran Islam. Semua ulama mu’tabar sepakat bahwa hukum menegakkan Khilafah adalah fardhu. Tepatnya, fardhu kifayah. Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim juga menegaskan para ulama sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah itu fardhu. Kemudian beliau menegaskan: wa wujْbi bi al-syar‘ lâ bi al-‘aql. Kewajiban tersebut berdasarkan syariah, bukan dengan akal. Itu artinya, dalil-dalilnya dijadikan dasar kewajibannya mengangkat khalifah adalah dalil syar’i, bukan didasarkan pertimbangan akal.

Jadi sungguh aneh jika orang-orang yang menegakkan Khalifah itu malah disebut memberontak kepada Allah SWT. Mestinya, orang-orang yang menolak dan menghalang-halangi tegaknya Khilafah itulah yang lebih tepat disebut sebagai orang-orang yang memberontak kepada Allah SWT karena melawan perintah-Nya. Namun anehnya, pendapat seperti itu justru diambil oleh hakim.

 

Mengapa bisa begitu?

Kita tidak tahu persis alasannya. Namun yang pasti, HTI sudah menyodorkan kitab-kitab dari para ulama mu’tabar yang menjelaskan tentang konsep khilafah dan kewajiban untuk menegakkan Khilafah. Di antaranya Kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah yang ditulis oleh Imam al-Mawardi. Dalam kitab tersebut terdapat gambaran cukup jelas tentang khilafah. Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh HTI dalam kitab-kitabnya. Intginya, Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim untuk menegakkan hukum Islam dan mengemban Islam ke sluruh dunia.

 

Keputusan PTUN ini dianggap mengkriminalkan ajaran khilafah. Benarkah seperti itu?

Benar. Setelah hakim mengatakan khilafah adalah paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, maka hakim membenarkan tindakan Pemerintah yang membubarkan HTI sekalipun tanpa peringatan. Sebab, Perppu Ormas yang dijadikan sebagai dasar pencabutan status badan hukum HTI membolehkan Pemerintah melakukan tindakan tersebut mesikpun tanpa peringatan terlebih dulu.

 

HTI dianggap telah melakukan extra ordinary crime, dengan perjuangan Khilafahnya?

Ini juga yang sangat disayangkan. Dalam putusannya, hakim membagi pelanggaran oleh ormas itu ada dua macam, yakni pelanggaran biasa dan pelanggaran luar biasa. Termasuk pelanggaran luar biasa adalah menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUG 45. Kemudian hakim memasukkan khilafah sebagai salah satunya.

Ini tentu sangat disayangkan. Betapa pun para hakim yang mengadili perkara ini adalah Muslim. Agamanya Islam. Bagaimana mungkin ada orang yang beragama Islam justru mengkriminalisasi ajaran agamanya sendiri?

 

Hakim menganggap perjuangan HTI bisa menyebabkan perpecahan di Indonesia. Bagaimana tanggapan Ustadz ?

Ini tidak layak dikatakan oleh hakim. Mestinya, hakim mengadili fakta-fakta di persidangan, bukan mengadili dugaan. Apalagi dugaan itu tidak memiliki dalil sama sekali.

Bagaimana bisa HTI dikatakan menyebabkan perpecahan, sementara HTI hanya menyampaikan dakwah. Layaknya dakwah, sifatnya adalah ajakan. Siapa yang mau, silakan ikut. Yang menolak tidak bisa dipaksa.

Coba, pernah dengar nggak HTI memukul atau menyiksa seseorang karena menolak dakwah HTI? Tidak ada kan? Semua orang tahu, HTI menyampaikan dakwahnya tanpa kekerasan, termasuk dalam berbagai masirah atau demonstrasi yang dilakukan. Semuanya dilakukan dengan santun dan tertib. Di mana letak pemecah-belah itu?

 

Hakim juga menyoal adanya perbedaan penafsiran tentang khalifah berdasarkan QS al-Baqarah ayat 30. Apakah bisa disimpulkan bahwa ada perbedaan pendapat tentang kewajiban menegakkan Khilafah?

Kalau mendasarkan kewajiban Khilafah hanya pada ayat ini memang terdapat ikhtilaf. Namun, dalil kewajiban Khilafah kan bukan hanya itu. Justru, ayat itu jarang dipakai oleh para ulama sebagai dalil kewajiban menegakkan Khilafah. Yang banyak digunakan oleh para ulama adalah ayat-ayat yang secara jelas dan tegas mewajibkan kaum Muslim berhukum dengan Islam. Itu tidak mungkin bisa dilaksanakan kecuali dengan adanya kekuasaan. Kekuasaan itulah yang disebutkan dalam beberapa Hadis Nabi saw. sebagai khilafah.

 

Ada opini yang dibangun pasca keputusan PTUN ini, bahwa HTI merupakan ormas terlarang?

Ini jelas salah besar. Dalam SK Menkumham itu hanya disebutkan Pemerintah telah mencabut status badan hukum HTI. Tidak ada satu pun kata melarang. Kemudian setelah digugat HTI ke PTUN, Pengadilan menolak gugatan HTI. Artinya, Pengadilan hanya mengokohkan keputusan tersebut. Tidak menambah dengan keputusan baru berupa pelarangan. Maka dari itu, menyebut HTI sebagai ormas terlarang jelas salah besar dan opini yang menyesatkan.

Ada juga fakta penting tentang ini. Dalam satu sesi persidangan, tepatnya ketika HTI menghadirkan Prof. Dr. KH. Didin Hafidduddin sebagai ahli, perwakilan dari Menkumham yang bernama Dr. Haris mengatakan bahwa Menkumham tidak melarang dakwah-dakwah HTI. Yang dilakukan Menkumham hanya mencabut status badan hukum HTI.

Bahkan diterima gugatan HTI atas nama organisasi, bukan atas nama personal pengurus atau anggota HTI oleh Pengadilan, menunjukkan dengan jelas bahwa HTI bukan ormas terlarang. Seandainya ormas terlarang, nisacaya tidak akan diterima oleh Pengadilan.

 

Apa bahaya keputusan PTUN ini terhadap umat Islam?

Mengkriminalisasi dua hal yang sangat penting dalam Islam, yakni khilafah dan dakwah. Khilafah dikategorikan sebagai paham yang dilarang untuk dianut, dikembangkan dan disebarkan oleh umat Islam. Apalagi ada ancaman pidananya. Ini kan gawat. Masak ajaran Islam diperlakukan seperti itu. Selama ini diopinikan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Jika demikian keputusannya, berarti akan membuat umat Islam bertanya-tanya. Jika tidak bertentangan, mengapa ada bagian dari ajaran Islam yang dilarang untuk dianut, dikembangkan dan diajarkan?

 

Meskipun gugatan HTI ditolak, namun justru sujud syukur, mengapa?

Keputusan tersebut bagi hakim adalah pilihan. Namun, bagi kita sebagai pihak yang menerima keputusan itu adalah qadhâ’, sesuatu yang terjadi di luar kekuasaan kita. Qadhâ’ itu jelas tidak kita inginkan. Yang kita inginkan, gugatan kita diterima. Namun, yang terjadi sebaliknya. Karena itu kita ber-husnuzhann kepada Allah SWT, barangkali itulah jalan terbaik bagi kita. Kita yakin, selama jalan yang kita tempuh benar, yang ada hanyalah kebaikan. Sebagai manusia kita tidak mengetahui yang sesungguhnya. Wa ‘asyâ ‘an takrahْ syay`[an] wa huwa khayr[un] lakum. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal itu baik buat kalian. Sebaliknya: Wa ‘asyâ ‘an tuhibbْ syay`[an] wa huwa syarr[un] lakum. Boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal itu buruk bagi kalian.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya, HTI dipersalahkan bukan karena melakukan kejahatan seperti mereampok, korupsi, melakukan teror atau membikin onar. Satu-satunya ‘kesalahan’ HTI adalah mendakwahkan khilafah. Bukankah ini membanggakan? Artinya, terbukti sah dan meyakinkan HTI telah mendakwahkan ajaran Islam. Kita bersyukur karena ini akan menjadi salah satu bukti di akhirat kelak bahwa kita telah benar-benar berjuang mewujudkan perintah-Nya.

 

Apa pesan HTI untuk pengemban dakwah dan masyarakat?

Harus tetap sabar dan istiqamah dalam menjalankan perintah Allah SWT. Tantangan itu biasa. Jangankan kita, Rasulullah saw. dan para nabi lainnya juga mendapatkan tantangan amat keras dari para umatnya. Yakinlah, jika kita benar-benar menolong agama Allah SWT, niscaya Dia akan menolong kita. Semoga pertolongan itu dalam waktu dekat. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × four =

Back to top button