Otonomi Bangsa Moro: Kado Atau Perangkap?
Presiden Filipina Rodrigo Duterte baru saja membuat keputusan penting. Demi menegakkan stabilitas keamanan di kawasan selatan yang selama ini lekat dengan aksi terorisme dan konflik bersenjata, ia menandatangani undang-undang otonomi baru untuk wilayah tersebut. Pada tanggal 6 Agustus lalu, Rodrigo Duterte, Presiden Filipina, memimpin seremoni penandatanganan UU Organic Bangsamoro (BOL – Bangsamoro Organic Law) di Malacaan dua minggu pasca penandatanganan sebenarnya. “Sepuluh hari yang lalu, saya menandatangani UU ini untuk Muslim Mindanao. Saya berharap ini akan menjadi akhir dari konflik puluhan tahun yang berakar pada martabat Bangsamoro untuk penentuan nasib sendiri dan pengakuan atas keunikan identitas mereka,” kata Duterte dalam pidatonya. (www.philstar.com).
Otonomi: Kado atau Perangkap?
Persetujuan BOL datang setelah masa sulit bagi Filipina pasca pengepungan Marawi tahun 2017 lalu. Marawi, sebagai kota Islam utama, saat itu diserbu oleh militan bersenjata yang dikaitkan dengan ISIS. Darurat militer di Marawi yang diberlakukan Duterte telah membuat lebih dari 330.000 orang penduduk Marawi dipaksa meninggalkan rumah mereka. Mereka lalu menderita krisis pangan. Sekitar 475 keluarga melarikan diri ke gedung-gedung pemerintah selama satu bulan. Sebanyak 1.000 keluarga lain tinggal dengan kerabat di kota-kota terdekat yang membutuhkan bantuan makanan pada akhir Ramadhan menjelang Idul Fitri tahun lalu.
Undang-undang otonomi ini akan menerapkan perjanjian damai 2014 antara Pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro yang telah dicapai setelah perundingan panjang selama 17 tahun dan secara intensif difasilitasi oleh lembaga-lembaga internasional, termasuk beberapa negara besar seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, dan Malaysia. BOL adalah versi baru dari upaya sebelumnya dari pemerintahan Aquino yang dikenal sebagai UU Dasar Bangsamoro (BBL).
Perjanjian ini juga memberikan peta jalan (roadmap) baru untuk Bangsamoro, yakni sebagai entitas politik otonom baru yang akan menggantikan Wilayah Otonomi Muslim Mindanao (ARMM) yang dianggap oleh Presiden Filipina sebagai “percobaan yang gagal”. Di sisi lain, perjanjian ini juga membentuk identitas baru untuk Muslim Moro sebagai “bangsa Moro”. Bangsa adalah kata Melayu yang berarti ‘bangsa’ yang akan mencakup tidak hanya suku Muslim etnis, tetapi juga penduduk yang beragama Kristen dan masyarakat adat di wilayah Bangsamoro. Perbedaan antara undang-undang ARMM dan BOL mencakup ketentuan bahwa undang-undang baru memberikan 75-25 pembagian kekayaan antara Bangsamoro dan pemerintah nasional Filipina. Ini lebih tinggi daripada skema 70-30 saat ini di bawah undang-undang ARMM. Namun, Muslim Moro tidak bisa memiliki pasukan militer dan kepolisiannya sendiri. Unsur ini akan terus berada di bawah pemerintahan nasional. Pemerintah Bangsamoro akan memiliki kendali mutlak terhadap ekonominya, termasuk sistem peradilan dan parlementernya sendiri, tetapi pemerintah Bangsamoro tetap harus mematuhi ketentuan Konstitusi Filipina (www.businessmirror.com.ph).
Melalui ratifikasi UU organik Bangsamoro ini, rezim Duterte tampak mengakomodasi sedikit aspirasi Moro Muslim, tetapi pada kenyataannya mereka akan merebut jauh lebih banyak kehormatan dan kedaulatan Islam di Filipina Selatan. Para penjajah ini akan memangsa kekayaan tanah Muslim dan mengeksploitasi ketidakmampuan penguasa Moro Muslim dengan membuat mereka sebagai penguasa boneka sehingga hegemoni mereka tetap kuat bahkan lebih dalam. Undang-undang otonomi ini, pada kenyataannya, tidak akan pernah menciptakan kemerdekaan hakiki bagi minoritas Muslim Moro. Termasuk bagi wanita Muslim dan anak-anak Moro yang telah ditindas selama beberapa dekade dan lebih dari 120.000 jiwa Moro Muslim telah tertumpah selama hampir 50 tahun. Undang-undang ini hanyalah jebakan untuk menjinakkan umat Islam agar menjadi lebih moderat dan pragmatis. Semua upaya yang dilakukan oleh Duterte dan lembaga internasional sesungguhnya bermuara pada satu tujuan, yaitu bahwa Islam tidak boleh tegak di Filipina selatan.
Belajar dari Aceh
Situasi di Moro memiliki kemiripan dengan Aceh. Tepatnya ketika Pemerintah Indonesia berupaya berkompromi atas keberadaan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Atas nama stabilitas wilayah, Pemerintah Indonesia memberi mereka keleluasaan menjalankan pemerintahannya sendiri, baik secara politik, hukum, maupun ekonomi. Malapetaka di Aceh dimulai sejak pemerintahan Orde Baru. Pada 1988, pemerintahan Soeharto menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) karena beroperasinya kelompok GAM yang dianggap separatis. Dengan status ini, pihak militer memegang kendali penuh atas provinsi paling barat di Indonesia itu. Titik terang konflik GAM-Indonesia datang pada Agustus 2005, beberapa bulan setelah tsunami menyapu Bumi Serambi Makkah itu. Kedua belah pihak menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia. Perjanjian tersebut, seperti ditulis Asma T. Uddin dalam “Religious Freedom Implications of Sharia Implementation in Aceh, Indonesia” (2010, PDF), menghasilkan kesepakatan bahwa Aceh berhak atas otonomi daerah yang luas. GAM juga boleh mendirikan partai politik lokal. (Tirto.id, Agustus 2018).
Salah satu wujud implementasi otonomi daerah di Aceh adalah pemberlakuan hukum syariah. Regulasi tersebut wajib diikuti setiap masyarakat Aceh, baik Muslim atau non-Muslim. Beberapa hal yang tegas diatur dalam hukum syariah ialah mengenakan busana yang islami, dilarang berzina, mabuk-mabukan, hingga berjudi. Padahal justru di titik inilah bahaya lokalisasi dan parsialisasi penerapan syariah. Setidaknya ada tiga bentuk bahaya saat syariah Islam diterapkan dalam koridor lokal yang subordinatif terhadap hukum sekular. Pertama: Bahaya citra buruk syariah Islam. Penerapan perda syariah lokal justru jadi bulan-bulanan media sekular untuk menjelekkan syariah Islam yang dianggap melanggar HAM. Inilah yang terjadi Aceh selama bertahun-tahun pasca diberikan otonomi. Sekelumit contoh saja, Oktober dan November 2014, Komnas Perempuan merilis laporan sebanyak 365 peraturan daerah yang dia nilai mendiskriminasi perempuan. Salah satunya adalah Qanun Jinayat di Nanggroe Aceh Darussalam yang dianggap melanggar hak asasi perempuan. Media asing seperti CNN bahkan melakukan liputan khusus memberitakan bagaimana Qanun Jinayat dan perda-perda islami di seluruh Indonesia telah melumpuhkan hak perempuan.
Kedua: Bahaya korupsi. Inkompetensi penguasa Muslim lokal juga akhirnya menjerat mereka akibat foya-foya elit penguasa local. Dana otonomi khusus malah hanya dinikmati oleh elit Aceh. Kita tahu sang Gubernur baru saja ditangkap KPK beberapa waktu lalu. Dalam laporan organisasi nirlaba antikorupsi setempat bernama GeRAK (Gerakan Anti Korupsi Aceh), melalui hasil pengawasan 2015, tercatat 20 dugaan korupsi pada masa pemerintahan para elit GAM itu. Total kerugian negara mencapai Rp 885 miliar.
Ketiga: Sulit mencapai cita-cita kesejahteraan rakyat meski otonomi sudah di tangan. Baru saja BPS merilis data bahwa Aceh menduduki peringkat pertama angka kemiskinan se-Sumatera. Persentase penduduk miskin Aceh pada periode Maret 2018 mencapai 893 ribu orang atau 15,97 persen. Meningkat 0,05 poin persen dibandingkan sebelumnya. Perhitungan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, penduduk miskin di daerah itu bertambah 10 ribu orang dibandingkan Bulan September 2017 yang hanya 829 orang atau 15,92 persen. Bahkan secara nasional Aceh berada di urutan ke-5 provinsi termiskin di Indonesia.
Syariah Islam di Aceh sengaja didesain parsial agar tidak mengganggu proses liberalisasi ekonomi dan masuknya investasi asing di Aceh. Syariah Islam sengaja dibiarkan untuk diterapkan oleh rezim lokal yang inkompeten yang kerap menjadi bulan-bulanan media asing yang tidak menyukai Islam. Syariah di Aceh juga minim proses edukasi dan sosialisasi terhadap masyarakat. Akibatnya, mereka tidak bisa mengoreksi penguasanya tentang bagaimana penerapan yang ideal. Syariah Islam juga dikerdilkan hanya dalam aspek pidana yang miskin visi politik. Hal ini menimbulkan komplikasi ketidakadilan dalam masyarakat. Ironis!
Ketiga bahaya ini hakikatnya adalah buah dari praktik penerapan otonomi syariah parsial. Akibatnya, komplikasi dan dilema yang sesungguhnya justru bersumber pada subordinasi aturan syariah oleh hukum-hukum secular-kapitalis-liberal yang terus memacu kemiskinan dan kesenjangan ekonomi pada masyarakat Muslim Aceh.
Pelajaran Penting
Umat Islam harus belajar dari “perangkap” otonomi ini. Pemberian otonomi akan terus dimonitor bukan hanya oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh gerakan anti syariah Islam. Problem inkompetensi penguasa Muslim lokal menambah rumit dan ruwetnya persoalan.
Setidaknya ada dua strategi Barat yang bisa kita baca di sini. Pertama: Strategi lokalisasi. Strategi ini terjadi jika perjuangan umat terlampau kuat atau telah melahirkan konflik berkepanjangan seperti di Aceh dan Mindanao. Pada strategi kedua ini, Barat ingin memastikan bahwa penerapan Islam tidak hanya bersifat lokal dan parsial, tetapi juga tunduk pada ideologi sekular dan nilai-nilai HAM dan demokrasi. Hukum apa pun yang ditawarkan oleh rezim kufar sekular pada kenyataannya tidak akan mengizinkan umat Islam untuk menempatkan al-Quran sebagai konstitusi tertinggi. Mereka hanya diberi kewenangan lebih dalam kebijakan ekonomi dan sedikit otoritas hukum syariah. Makalah berjudul “Pemerintahan di Bawah Syariah” (2013), sebuah lembaga think tank CFR (Council on Foreign Relations) – yang berbasis di Washington, AS – memetakan bahwa hukum syariah dapat dimasukkan dalam “negara Islam modern” dalam tiga cara: (1) melalui konstitusi nasional; (2) hukum nasional; (3) undang-undang subnasional. Dari ketiga pilihan tersebut, sangat jelas bahwa hukum syariah tetap menjadi bawahan (subordinat) di bawah konstitusi sekular dan tatanan sistem Negara-bangsa yang berlaku saat ini.
Kedua: strategi stigmatisasi. Prosesnya dikawal langsung oleh gerakan anti syariah secara sistematis dan terencana. Tidak hanya bersifat local, tetapi juga internasional. Seperti yang direkomendasikan Cheryl Benard, peneliti The Rand Corporation yang kerap menjadi rujukan politisi Barat. Dalam laporannya yang berjudul “Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies,” Cheryl menulis beberapa ide yang harus terus-menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam antara lain pelanggaran demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, minoritas, pakaian wanita dan kebolehan suami untuk memukul istri.
Inilah pelajaran penting yang harus diambil. Sungguh sistem Islam hanya bisa dinilai objektif jika diterapkan secara utuh dan holistik. Penerapan sebagian syariah Islam tidak akan bisa menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Penerapan syariah Islam haruslah diterapkan secara totalitas (menyeluruh) di bawah naungan negara Khilafah agar rahmat-Nya terasa pada seluruh umat manusia.
Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum Muslim seluruh dunia. Khilafah bukanlah negara-bangsa (nation state), melainkan negara dunia (global state). Kaum Muslim di seluruh dunia hanya memiliki satu negara. Karena itu penerapan syariah tidak boleh secara parsial, lokal dan bertahap seperti perda syariah di Aceh, Brunei, ataupun Arab Saudi.
Syariah Islam juga wajib berlaku sama bagi seluruh warga negara Muslim maupun non-Muslim, keluarga pejabat atau rakyat jelata. Pemerintahan (al-hukm) dalam Islam bersifat sentralisasi atau terpusat. Artinya, pelaksanaan kekuasaan atau penerapan hukum-hukum hanya berada di tangan orang yang telah diamanati oleh rakyat, yaitu Khalifah dan orang-orang yang mewakilinya.
Selain itu penerapan sebagian syariah Islam tidak akan bisa menyelesaikan masalah secara menyeluruh dan tujuan-tujuan penerapan syariah Islam tidak bisa direalisasikan secara utuh. Kegagalan akibat penerapan syariah secara parsial ini sangat mungkin menjadi sasaran empuk musuh-musuh Islam. Ia bisa memberikan amunisi tanpa henti bagi musuh-musuh umat untuk menunjuk jari pada ketidakmampuan Islam untuk memecahkan berbagai masalah. Mengambil sebagian hukum Islam dan meninggalkan sebagian hukum Islam yang adalah dosa besar. Allah SWT berfirman:
أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ٨٥
Apakah kalian mengimani sebagian Al-Kitab dan mengingkar sebagiannya yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat (QS al-Baqarah [2]: 85).
Fika Komara adalah aktivis, penulis dan ibu rumah tangga. Bekerja di Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir.
Catatan kaki:
[1] https://www.bloomberg.com/news/videos/2018-05-18/a-conversation-with-recep-tayyip-erdogan-full-show-video [2] https://www.economist.com/special-report/2016/02/06/erdoganomics [3] http://www.hurriyetdailynews.com/turkeys-imf-debt-to-be-paid-off-foreign-debt-stock-still-on-increase-46647 [4] http://www.bbc.co.uk/news/magazine-25548060 [5] https://www.bloomberg.com/news/articles/2017-06-22/why-erdogan-is-flooding-turkey-s-economy-with-credit [6] https://apnews.com/4ce148cd288c444988352a3f0adddfbb [7] http://foreignpolicy.com/2018/05/25/erdogan-is-a-mad-economist-and-turkey-is-his-laboratory/