Hiwar

Budi Mulyana, S.I.P, M.Si.: Tak Ada Problem Relasi Sipil-Militer Dalam Islam

Pengantar:

Pengesahan RUU TNI baru-baru ini telah menuai kontroversi di masyarakat. Banyak komponen masyarakat menolak—bahkan melalui sejumlah aksi demonstrasi yang cukup massif—pengesahan RUU TNI tersebut.

Mengapa UU TNI banyak ditolak? Apa alasannya? Betulkah UU TNI akan mengembalikan dwifungsi TNI yang pernah menimbulkan trauma bagi masyarakat, sebagaimana pada masa Orde Baru? Ataukah ini hanya semacam kekhawatiran tak berdasar?

Lepas dari kontroversi tersebut, bagaimana sebetulnya Islam memposisikan militer di dalam Negara Islam? Bagaimana pula relasi sipil-militer dalam pandangan Islam?

Itulah di antara pertanyaan yang diajukan kepada pengamat politik Islam, Ustadz Budi ­Mulyana, S.I.P., M.Si. Berikut wawancara lengkapnya dengan Redaksi.

 

Saat ini sedang ramai kontroversial UU TNI. Bagaimana menurut pandangan Ustadz?

Ramainya kontroversi revisi UU TNI menurut saya karena beberapa sebab. Pertama, lemahnya literasi. Ada anggapan ini adalah undang-undang baru, padahal hanya revisi. Ada pula anggapan bahwa ini revisi menyeluruh, padahal hanya revisi 3 pasal saja; terkait penambahan operasi militer selain perang, penambahan prajurit aktif di instansi sipil, dan penambahan batas usia pensiun. Akibat lemahnya literasi ini, muncullah penolakan yang sifatnya gebyah-uyah.

Kedua, revisi UU TNI ini berbarengan dengan naiknya Prabowo sebagai presiden yang memiliki latar belakang purnawirawan TNI. Apalagi di awal pemerintahannya, dia mengesankan pemerintahan yang militeristik, misal dengan adanya pembekalan berupa retret bagi para menteri dan kepala daerah di Akmil Magelang dengan menggunakan seragam ala militer dan kegiatan yang bernuansa militer. Akibatnya, muncul kesan kuat akan munculnya kembali pemerintahan yang militeristik.

Dari beberapa indikasi tersebut, muncullah kekhawatiran bahwa revisi UU TNI ini adalah bagian dari pemerintahan Prabowo untuk memperkuat otoritarianisme militer yang berujung pada ancaman otoritas negara yang mengedepankan supremasi sipil.

Namun, dalam pandangan saya, hal ini masih perlu dilihat praktiknya, karena masih terkesan seremonial dan romantisme militer. Apalagi kalau nanti kita posisikan bagaimana semestinya menempatkan militer dalam kehidupan bernegara.

 

Bagaimana dengan adanya perluasan peran militer dalam operasi non-perang, seperti ancaman siber, penyalahgunaan narkoba, dll yang dikhawatirkan akan berpotensi tumbang-tindih dengan fungsi lembaga sipil?

Sebenarnya, kalau jelas definisi dan pembagian cakupan kewenangan masing-masing, potensi tumpang-tindih akan bisa dihindari. Jika ada hal-hal yang bisa ditangani bersama, tinggal diatur fungsi komunikasi dan koordinasinya, serta siapa yang diberi kewenangan untuk memutuskan dalam hal kondisi-kondisi yang sifatnya lintas kelembagaan.

Untuk ancaman siber, dengan perkembangan teknologinya dan realitas yang menjadi ancaman pertahanan dan keamanan negara, sudah tepat jika penanganannya melibatkan militer profesional. Ini juga yang dilakukan oleh negara-negara maju saat ini. Namun, untuk penyalahgunaan narkoba, sebenarnya tinggal optimalisasi fungsi kepolisian, tidak mesti melibatkan militer secara langsung.

 

Kritik utama dari masyarakat sipil terkait UU TNI adalah kekhawatiran militer bisa menjadi alat kekuasaan. Masuk akalkah?

Kekhawatiran tersebut tentu ada alasannya. Trauma masa Orde Baru, ketika militer dengan dwifungsinya, menjadi alat kekuasaan rezim. Akibatnya, dengan revisi UU TNI ini, ada kekhawatiran akan memperluas peran dari TNI dan menambah durasi masa jabatan untuk pangkat-pangkat tertentu.

 

Tadi dikatakan ada trauma atas dwi fungsi militer masa Orde Baru. Apakah ini relevan?

Istilah dwifungsi TNI adalah istilah yang sarat dengan nuansa politis. Apalagi terkait dengan trauma masa Orde Baru, yang menimbulkan kesan pemerintahan yang militeristik, yang digunakan untuk kepentingan penguasa yang sedang memerintah. Apalagi presiden saat ini adalah Prabowo yang tidak lain pada masa Orde Baru adalah menantu dari Presiden Soeharto.

Maka dari itu, naiknya Prabowo menjadi presiden, juga dengan menunjukkan awal pemerintahannya dengan seremonial yang militeristik, apalagi dilanjutkan dengan upaya revisi UU TNI, memunculkan kekhawatiran tersebut di tengah masyarakat, terutama yang concern dengan isu sipil militer.

 

Bagaimana dengan adanya kekhawatiran masyarakat akan munculnya pola pikir militeristik dalam menjalankan pemerintahan, sementara dalam pengurusan rakyat oleh negara harusnya yang digunakan adalah perspektif ri’âyah, sebagai politisi dan negarawan?

Betul. Militer memiliki pola pikir yang khas, yang berbeda dengan masyarakat sipil pada umumnya. Dengan senjata yang ada di tangannya, mereka terbiasa membangun logika kuat-lemah. Kepemilikan senjata menjadi mereka kuat. Mereka juga mengkondisikan situasi ancaman untuk meningkatkan kewaspadaan, terutama ancaman yang bisa mengarah pada situasi konflik yang meluas yang bisa menimbulkan perang, dan menjadi tanggung jawab mereka untuk menghadapi situasi tersebut. Sistem komando, kepangkatan berjenjang serta tuntutan kedisiplinan dan ketaatan mutlak menjadi harga mati yang harus dijunjung tinggi. Ini memang dibutuhkan dalam situasi kritis yang senantiasa dihadapi militer.

Namun, tentu berbeda dengan menghadapi masyarakat sipil. Pola pikir militeristik cocok dalam kehidupan militer dan situasi perang atau darurat. Namun, dalam kondisi damai, tentunya melayani masyarakat tidak bisa dengan pola pikir militeristik karena akan menciptakan situasi yang penuh dengan ancaman, logika power dan ketaatan ala militer yang malah tidak sesuai bagi masyarakat sipil.

 

Bagaimana dengan mereka yang berpendapat bahwa UU TNI bisa memunculkan pengendalian negara dengan kekuatan militer, yang bisa berujung menjadi negara militeristik?

UU TNI justru bertujuan untuk mengendalikan TNI berdasarkan konstitusi dan persetujuan otoritas sipil. Maka dari itu, pengendalian negara dengan UU TNI sebenarnya kekhawatiran yang berlebihan. Sebabnya, jika TNI mau maka dengan power yang dimiliki, militer akan menciptakan situasi darurat militer, mengabaikan perundangan serta mengatur dan mengendalikan masyarakat dengan kekuatan senjata. Lalu akan tercipta situasi masyarakat yang dibangun dengan pola pikir militeristik/junta militer.

 

Dalam Islam, bagaimana sebenarnya relasi sipil dengan militer?

Problem relasi sipil-militer adalah buah dari penerapan sistem demokrasi ala Barat yang mendikotomikan sipil dengan militer sebagai sesuatu hal yang seolah harus diposisikan secara vis a vis (saling berhadapan).

Ciri masyarakat demokratis yang mengharuskan kedaulatan ada di tangan rakyat diwujudkan dengan pengagungan terhadap supremasi sipil (rakyat). Rakyatlah sang pemangku kepentingan dan memiliki kontrol yang penuh terhadap negara (civilian control). Adapun militer diposisikan sebagai subordinasi dari sipil. Keberadaan militer diatur kompetensinya oleh sipil dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis.

Ini berbeda dengan pandangan Islam. Islam memiliki sistem pemerintahan yang khas, yang berbeda dengan sistem pemerintahan yang lainnya. Demikian juga dalam mendudukkan relasi sipil dan militer. Maka dari itu semestinya dalam Islam tidak akan muncul problem hubungan sipil dengan militer.

Dalam Islam, prinsip awalnya adalah adanya kewajiban jihad bagi umat Islam, yang merupakan fardhu kifayah (kewajiban komunal). Karena itu setiap laki-laki Muslim harus memiliki kemampuan dasar kemiliteran. Sewaktu-waktu mereka siap diterjunkan dalam kancah peperangan. Negara akan mengatur pola pendidikannya secara umum, pembagian kemampuan dasarnya, penempatan dalam situasi perang, bahkan kemampuan teknis dalam penanganan alutsista tertentu. Bisa jadi akan ada semacam wajib militer dalam masa tertentu untuk memberikan pendidikan, pelatihan dan pengaturan kemiliteran bagi setiap warga negara.

Dengan demikian tidak ada dikotomi sipil-militer dalam pandangan Islam sebagaimana yang ada dalam konsepsi negara yang menganut nilai-nilai demokrasi.

 

Jika demikian, lalu apa sebenarnya tugas utama militer dalam kacamata syariah Islam?

Tugas utama militer dalam kacamata syariah Islam adalah melakukan perang dan segala hal yang terkait dengan perang. Tugas utama militer adalah pertahanan dan keamanan negara dari ancaman luar negeri. Militer punya tugas untuk menjaga perbatasan negara dari ancaman negara lain. Tidak boleh dibiarkan satu jengkal pun dari negeri Muslim terlepas dan berada di bawah pendudukan musuh-musuh Islam.

Militer bertugas melakukan jihad fî sabilillah sebagai bagian dari tugas negara melakukan dakwah ke seluruh penjuru dunia.

Dalam konteks keamanan dalam negeri, tugas penjagaannya ditangani oleh polisi (syurtah) yang masuk ke dalam departemen amnud-dakhili (keamanan dalam negeri). Namun, jika dalam kondisi tertentu yang sifatnya insidental, polisi tidak mampu menjalankan tugasnya, maka bisa meminta bantuan kepada militer. Namun, sifatnya adalah hasbal-hajat (sesuai dengan kebutuhan), bukan sesuatu yang dipermanenkan

 

Dalam kondisi bagaimana militer bisa diperbantukan?

Karena komando militer berada langsung di bawah kepala negara (Khalifah), maka Khalifah berhak memerintahkan militer untuk melakukan tindakan-tindakan non-militer yang dibutuhkan oleh umat. Terutama dalam situasi yang membutuhkan pola pikir militeristik dalam situasi darurat. Misalnya dalam situasi bencana alam, kecelakaan massal (search and rescue), wabah penyakit dan yang semisal. Ketika terjadi bencana tsunami dan gempa, kecelakaan pesawat terbang yang jatuh ke laut, pandemi corona, sudah dimaklumi peran militer sangat dibutuhkan dan signifikan.

Untuk hal-hal tersebut, semestinya menjadi maklum dibutuhkan kecepatan, sistem komando, kedisiplinan ketat dan ketangguhan dalam penanganan, yang bagi militer mereka terbiasa berada dalam situasi tersebut. Tentu situasi ini sifatnya temporal, tidak berkelanjutan. Namun, akan senantiasa muncul situasi yang mungkin sama, sehingga peran militer harus disiapkan menangani hal tersebut sebagai tugas tambahan.

 

Posisi dan kedudukan militer dalam Islam di bawah apa? Bagaimana mekanismenya?

Militer berada di bawah Khalifah (kepala negara) secara langsung. Secara teknis, Khalifah bisa menunjuk Amirul Jihad sebagai pemimpin organisasi kemiliteran. Kepemimpinan kepala negara atas militer harus nyata, bukan simbolis dan seremonial. Dia yang berhak menyatakan perang, langsung memimpin peperangan dan menghentikan peperangan sesuai dengan tuntunan syariah.

Karena militer adalah kemampuan profesional, maka Amirul Jihad, sebagai pemimpin organisasi kemiliteran, akan memberikan pertimbangan-pertimbangan profesional sesuai dengan kafâ’ah yang dimiliki. Terkait dengan taktik perang, penggunaan alutsista, mobilisasi pasukan dan lainnya, tentu semua berada dalam ranah perwira-perwira militer, walau tentunya otoritas utama kembali kepada Khalifah.

 

Apa beda militer dengan hukkâm (penguasa)? Apakah militer harus dibedakan dengan hukkâm?

Walau muaranya ada pada Khalifah, yang merupakan penguasa (hukkâm) sekaligus pemimpin tertinggi militer. Namun, tentu pemberlakuannya harus sesuai dengan situasi yang dihadapi. Dalam situasi perang, berlaku hukum perang. Pola pikir dan prinsip-prinsip militeristik, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, berlaku dalam situasi ini.

Namun, ketika perang sudah berakhir, dan mulai berjalan sistem pengaturan masyarakat, maka para penguasa, yang awalnya bisa saja mereka adalah para jenderal militer yang memimpin perang, harus mengelola masyarakat dengan prinsip-prinsip ri’âyah (pelayanan) masyarakat. Bukan dengan pola pikir militeristik.

Maka dari itu, di sinilah Islam membekali para perwira militer tidak hanya mahir dalam berperang, namun juga siap menjadi para da’i dan hukkâm, yang akan melayani masyarakat dalam situasi yang sesuai.

 

Bagaimana peran strategis militer dalam Islam? Khususnya terkait dengan politik luar negeri?

Politik luar negeri Islam adalah dakwah. Ketika dakwah mengalami hambatan fisik, adanya penolakan sekaligus ancaman terhadap keberlangsungan dakwah, maka syariah memerintahkan diberlakukan jihad/perang untuk menghilangkan hambatan fisik tersebut. Di sinilah peran strategis militer dalam kaitannya dengan politik luar negeri.

Dengan demikian, setidaknya ada tiga peran strategis militer di dalam Islam. Ketiganya kental kaitannya dengan politik luar negeri Negara Islam. Pertama: Penjaga utama Negara dan perbatasan, karena militer wajib menjaga batas-batas territorial negara sebagai wujud dari kedaulatan territorial. Kedua: Menjadi ujung tombak futûhât (pembebasan) negeri-negeri yang belum ditaklukkan, sebagai wujud dari kewajiban dakwah, dan jihad dilakukan ketika ada halangan terhadap upaya dakwah tersebut. Ketiga: Membebaskan negeri-negeri Islam yang diduduki. Jika dalam situasi ada negeri Muslim yang diduduki pihak asing, seperti yang terjadi di Palestina, Xinjiang, Andalusia, Walachia, dan yang semisal, maka militer memiliki tugas untuk mengembalikan wilayah-wilayah tersebut ke pangkuan umat Islam

 

Bagaimana cara agar militer tidak dengan mudah dikendalikan oleh asing dan oligarki?

Militer adalah kekuatan strategis. Karena itu militer harus dijauhkan dari kepentingan asing dan oligarki yang akan merusak posisi militer dalam negara. Khusus untuk militer reguler, maka penting untuk memperhatikan hal-hal berikut:

Pertama, proses rekrutmen harus dilakukan seleksi yang sangat ketat. Tidak boleh ada penyusupan kepentingan asing dari awal. Pengaruh asing bisa menjadi faktor perusak institusi militer secara keseluruhan.

Kedua, tentara harus diberi gaji dan tunjangan yang cukup sehingga tidak ada pihak-pihak yang melakukan ‘ijon’ kepada militer, memberikan bantuan demi kepentingan. Bahkan dalam situasi perang, militer memiliki hak atas ghanîmah dan fai’.

Ketiga, militer harus diawasi dengan ketat ketika melakukan interaksi dengan pihak-pihak asing, misal ketika penugasan (misi operasi, pelatihan dan pendidikan), karena ini juga menjadi celah penyusupan kepentingan asing terhadap institusi militer.

 

Bagaimana seharusnya hubungan militer dengan umat Islam?

Umat dan militer adalah bagian yang tidak terpisahkan. Dalam Islam, dengan adanya kewajiban jihad bagi umat Islam, maka setiap Muslim harus memiliki kemampuan dasar kemiliteran. Umat sewaktu-waktu harus siap diterjunkan dalam kancah peperangan.

Dalam proses penegakan Daulah Islam, juga harus melalui proses thalabun-nushrah yang membutuhkan ahlul quwwah, yakni militer. Artinya, tegaknya Daulah Islam membutuhkan dukungan dari militer.

Namun demikian, bukan berarti Daulah Islam adalah pemerintahan militer. Ini karena implikasi dari pemerintahan militer ini jelas sangat berbahaya: kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk melayani masyarakat bisa berubah menjadi kekuatan militer. Taqiyuddin an-Nabhani menulis bahaya dari pemerintahan militer ini, “Kekuasaan tidak boleh berubah menjadi militer. Jika kekuasaan telah berubah menjadi militer, pelayanan urusan-urusan rakyat akan menjadi rusak. Dalam kondisi demikian, konsep-konsep dan standar-standar kekuasaan telah berubah menjadi konsep-konsep dan standar-standar otoritarianisme dan kediktatoran; bukan konsep dan standar pelayanan urusan rakyat. Begitu pula pemerintahannya; telah berubah menjadi pemerintahan militer yang hanya akan menyiratkan ketakutan, kediktatoran, otoritarianisme, dan pertumpahan darah.”

Tegak dan kuatnya Daulah Khilafah Islam sangat membutuhkan bantuan dari kalangan militer. Secara nyata, militer adalah kelompok yang sangat berkuasa di negeri-negeri Islam. Bersama Daulah Khilafah Islam, para prajurit Islam ini akan berjuang untuk menegakkan Islam. Mereka akan menjadi pahlawan kaum Muslim yang memiliki tugas penting, yakni menjaga keutuhan Daulah Khilafah Islam, serta menjaga Daulah Khilafah Islam dari serangan musuh-musuh Islam. Dengan begitu, mereka akan mendapat posisi yang tinggi dan mulia di sisi Allah SWT.

Namun, Daulah Khilafah bukanlah pemerintahan militer. Artinya, kekuasaan pemerintah tidak boleh menjadi kekuasaan militer. Dengan demikian kekuasaan tetap konsisten digunakan untuk melayani umat; bukan menjadi pemerintahan militer yang diktator serta menimbulkan ketakutan dan teror di tengah-tengah rakyat.

WalLâhu a’lam. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 + 6 =

Back to top button