Ibrah

Puasa Istimewa


Ramadhan tinggal menghitung hari. Ramadhan segera menghampiri. Sampainya kita pada bulan Ramadhan tentu sangat istimewa. Sebabnya, seperti yang pernah dikhutbahkan oleh Rasulullah saw., pada bulan itu Allah SWT akan menaungi kaum Muslim dengan segala keagungan dan keberkahan. Pahala amalan sunnah pada bulan tersebut setara dengan pahala amalan fardhu pada bulan lain. Seluruh amal kebajikan juga dilipatgandakan pahalanya. Bahkan di dalamnya terdapat satu malam, yakni lailatul-qadar. Malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Rasulullah saw. bersabda, “Telah datang kepada kalian Ramadhan. Bulan penuh berkah. Pada bulan tersebut Allah mendatangi kalian; kemudian menurunkan rahmat, menghapus kesalahan-kesalahan dan mengabulkan doa. Allah juga melihat amal kalian dan membangga-banggakannya di hadapan para malaikat-Nya. Karena itu perlihatkanlah kebaikan kalian kepada Allah pada bulan itu. Orang yang celaka adalah orang yang diharamkan dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla pada bulan tersebut.” (HR ath-Thabarani).

Karena itu sudah selayaknya kita bergembira menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan. Para Sahabat adalah generasi yang selalu bergembira menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Jangankan Ramadhan yang di dalamnya ibadah puasa diwajibkan, bahkan kewajiban yang lebih berat dari puasa, seperti jihad, juga selalu disambut gembira dan antusias saat diserukan kepada mereka.

Begitulah juga seharusnya kita, yang mendengar seruan untuk berpuasa pada bulan Ramadhan. Kita patut bergembira dan antusias untuk menjalankan kewajiban tersebut.

Tentu, dari Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, setiap Muslim merindukan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Kehidupan yang dinamis di bawah sebuah sistem yang sahih, yang bisa menenteramkan jiwa, memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Kehidupan yang dipimpin oleh orang-orang salih, berpandangan jauh ke depan dan visi keumatannya lebih menonjol daripada visi dan kepentingan nafsu pribadinya.

Semua itu landasannya adalah takwa. Takwalah yang menjadikan manusia meraih derajat paling mulia di sisi Allah SWT (yang artinya): Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa  (TQS al-Hujurat [49]: 13).

Takwa pula yang menjadi buah manis dari ibadah puasa selama Ramadhan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).

Tentu, Allah SWT tidak pernah menyelisihi janji dan firman-Nya. Jika umat ini mengerjakan ibadah puasa dengan benar (sesuai dengan tuntunan al-Quran dan as-Sunnah) dan ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah SWT,  niscaya hikmah itu akan dapat terwujud. Itulah takwa.

Puasa Ramadhan pada hakikatnya juga bisa menjadi sarana (wasilah) bagi pelakunya untuk menghapus dosa-dosanya.

Tentang ibadah puasa—khususnya puasa Ramadhan—sebagai penggugur dosa juga ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya, “Shalat lima waktu, Jumat ke Jumat dan Ramadhan ke Ramadhan adalah penggugur dosa (seseorang pada masa) di antara waktu tersebut sepanjang ia menjauhi dosa besar.” (HR Muslim).

Beliau pun bersabda, “Siapa saja yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan hanya mengharap pahala, dosa­-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR al-Bukhari).

Puasa Ramadhan sekaligus akan memberikan syafaat kepada pelakunya pada Hari Kiamat. Rasulullah saw. bersabda, “Puasa dan al-Quran akan memberikan syafaat untuk seorang hamba pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad dan al-Hakim).

Lebih dari itu, puasa yang benar-benar dijalankan secara ikhlas dan sesuai dengan  tuntunan syariah adalah perisai penghalang dari godaan hawa nafsu dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka. Rasul saw. bersabda, “Puasa (Ramadhan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka.” (HR Ahmad dan al-Baihaqi).

Allah SWT menjauhkan wajah orang yang berpuasa dari siksa api neraka. Nabi saw. bersabda, “Siapa saja yang berpuasa satu hari di jalan Allah, dijauhkan wajahnya dari api neraka sebanyak (jarak) tujuh puluh musim.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Nasa’i).

Karena itu siapapun tidak boleh memandang remeh ibadah puasa Ramadhan.

Yang juga tak boleh dipandang sepele adalah keistiqamahan kita pasca Ramadhan. Istiqamah dalam ketaatan, bagi banyak orang, tidaklah mudah. Betapa banyak Muslim yang selama Ramadhan berusaha shalat tepat waktu, khusyuk di dalamnya, bahkan selalu berjamaah di masjid. Betapa banyak mereka membaca, mengkaji dan mengamalkan al-Quran. Betapa banyak mereka berusaha menutup aurat dan berjilbab syar’i (bagi Muslimah), banyak melakukan shalat malam dan zikir, banyak bersedekah; dll. Semua itu mereka lakukan selama Ramadhan

Namun, selepas Ramadhan, kadar keimanannya seolah berkurang. Tingkat ketakwaannya seolah menurun. Ibadah shalatnya kembali bolong-bolong. Membaca al-Quran kembali jarang-jarang. Auratnya kembali terbuka. Demikian seterusnya.

Pertanyaannya: bagaimana agar hal demikian tidak terjadi? Terkait itu, Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah ra. pernah berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam suatu perkataan yang aku tak akan menanyakannya lagi kepada seorang pun kecuali kepada engkau.” Rasulullah saw. bersabda, “Katakanlah, ‘Aku telah beriman kepada Allah.’ Kemudian beristiqamahlah kamu.” (HR Muslim).

Di dalam Syarh-nya, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa dalam dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: Hendaklah kamu beristiqamah seperti yang diperintahkan kepadamu (TQS Hud [11]: 112).

Alhasil, meski Ramadhan nanti pasti berakhir, semoga kita bisa tetap istiqamah dalam keimanan dan ketakwaan.

Wa ma tawfiqi illa bilLah. [ABI]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × five =

Check Also
Close
Back to top button