Nisa

Shaum Ramadhan Perempuan

Shaum di bulan Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap Muslim, laki-laki dan perempuan.  Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

 

Pahala yang Allah berikan dari ibadah shaum ini pun sama bagi laki-laki maupun perempuan. Rasulullah saw. bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ الله ُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah SWT  berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Namun demikian, secara fitrah penciptaannya, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan.  Perempuan mengalami haid, hamil, melahirkan dan menyusui anaknya.  Kondisi ini membuat Allah memberikan hukum-hukum yang berbeda bagi perempuan dalam hal-hal yang terkait dengan fitrah penciptaannya.  Perbedaan ini sama sekali bukan untuk mengutamakan satu sama lain dalam hal kewajiban dan pahala, melainkan untuk menjadikan laki-laki dan perempuan sama-sama bisa menjalankan peran masing-masing secara sempurna.

Inilah beberapa hukum terkait Ramadhan yang khusus berlaku bagi perempuan:

 

  1. Shaum Perempuan Haid dan Nifas.

Dalam kitabnya, Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq menjelaskan, bahwa para fukaha sepakat wajibnya berbuka bagi perempuan yang haid dan nifas, dan haram bagi mereka berpuasa.  Jika berpuasa, puasanya tidak sah dan batal, sampai ia yakin telah suci dari haid dan nifasnya.

Seorang perempuan yang sesaat sebelum maghrib mendapat haid, puasanya batal.  Sebaliknya, seorang perempuan yang mendapati sesaat sebelum subuh ia telah bersih dari haid maka ia wajib berniat dan berpuasa di hari itu, sekalipun mandi besar baru bisa ia lakukan setelah masuk waktu subuh.

Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, dalam kitabnya, Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur’an dan Hadits (2010), menegaskan tidak wajibnya puasa bagi perempuan yang sedang haid atau nifas tidak berarti Allah mengangkat kewajiban shaum dari mereka, melainkan hanya mengundurkan waktu pelaksanaannya saat mereka telah suci dari haid dan nifas.  Inilah yang kita sebut sebagai puasa qadha.

Aisyah Ummul Mukminin ra., ketika menjawab pertanyaan wajibnya qadha puasa, namun tidak qadha shalat, mengatakan:

كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَا ء الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاة

Kami pernah mengalami hal itu. Lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).

 

  1. Shaum bagi Ibu Hamil dan Menyusui.

Semua ulama sepakat bahwa ibu hamil dan menyusui diberi keringanan dalam ibadah shaum mereka. Jika mereka sehat dengan kehamilannya, serta tidak ada madarat bagi anak yang dikandung atau ia susui jika mereka berpuasa, maka mereka tetap menjalankan kewajiban tersebut.  Namun, jika kondisi kehamilannya atau anak yang ia susuinya tidak memungkinkan ia berpuasa, maka boleh bagi dirinya berbuka.  Inilah salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada manusia, mengangkat kewajiban beribadah kepada-Nya demi kesehatan dan pertumbuhan optimal dari bayi.

Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ الله وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَا ةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

Sungguh Allah meringankan separuh shalat dan shaum dari musafir, juga shaum dari wanita hamil dan menyusui (HR an-Nasa’i dan Ahmad).

 

Yang berbeda pendapat di kalangan para ulama adalah konsekuensi dari berbukanya mereka. Apakah mereka harus qadha’ pada hari lain atau cukup membayar fidyah atau keduanya.  Jumhur ulama lebih cenderung pada qadha’. Ini adalah pendapat dari Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Ahmad.  Mereka menyamakan hamil dan menyusui dengan kondisi sakit yang diatur dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 185). Hanya saja, Imam Syafii dan Imam Ahmad menambahkan kewajiban fidyah selain  qadha’ bila ibu sehat, namun hanya khawatir dengan anak yang dikandung atau ia susui.

Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah menjelaskan, bahwa pendapat yang paling kuat untuk ibu hamil dan menyusui adalah boleh berbuka bila ada kekhawatiran baik untuk dirinya atau anaknya, dan mereka wajib meng-qadha’ pada hari lain.  Pendapat ini didasarkan pada hadis dari Anas bin Malik di atas, yang menyebutkan musafir, wanita hamil dan menyusui diberi keringanan.  Posisi mereka adalah sama, yakni wajib meng-qadha’ dan tidak perlu membayar fidyah.

Alasan bahwa ibu hamil dan menyusui kesulitan men-qadha’ tidaklah bisa diterima.  Bila tahun ini mereka hamil, tahun depan menyusui, tahun depannya hamil lagi dan seterusnya, tetap saja ada saatnya mereka berhenti dari masa hamil dan menyusui tersebut. Saat itulah mereka wajib meng-qadha’. Tinggal mereka meniatkan untuk meng-qadha’-nya ketika telah mampu.  Karena itu, perlu ada pencatatan yang teliti dari utang-utang puasa mereka di setiap tahunnya.

 

  1. Tatacara Qadha’ Puasa.

Meng-qadha’ puasa sah dilakukan secara berturut-turut atau berselang-seling.  Begitu pula sah dilakukan secara langsung setelah Idul Fitri. Sah juga bila diakhirkan hingga bulan Sya’ban tahun berikutnya sebelum Ramadan.

Bila sampai bulan Ramadan berikutnya ia belum sanggup meng-qadha’, jika memang ada alasan yang dibenarkan syariah seperti pada ibu hamil dan menyusui, maka ia wajib meng-qadha’ seluruh utang puasanya ketika telah ada kemampuan, tanpa perlu membayar fidyah atau kaffarah.

Alasan takut keburu meninggal sebelum sempat meng-qadha’ juga tidak perlu dikhawatirkan.  Toh kita tidak tahu kapan kita akan meninggal. Yang penting kita niatkan untuk meng-qadha’ puasa  begitu kita mampu.  Kalaupun memang ajal menjemput duluan, kewajiban qadha’ puasa ini bisa ditunaikan oleh ahli waris seperti suami, orangtua ataupun anak-anaknya. Ini sebagaimana hadis ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّه

Siapa saja yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Bila penundaan qadha’ dilakukan tanpa ada alasan, hal itu dipandang sebagai dosa karena melalaikan kewajiban. Ia tetap wajib meng-qadha’-nya sampai kapanpun sebelum ajal menjemputnya.

 

  1. Amalan Perempuan Haid dan Nifas pada Bulan Ramadhan.

Tidak dibolehkan perempuan untuk berpuasa saat haid dan nifas. Namun, tidak berarti perempuan dihalangi dari mendapatkan pahala bulan Ramadan.  Pahala puasa masih bisa ia dapatkan ketika ia telah selesai meng-qadha’.  Pahala tilawah al-Quran bisa ia dapat dengan mendengar dan menyimak bacaan al-Quran dari orang lain atau rekaman audio yang banyak beredar.  Yang tidak bisa ia dapat adalah pahala shalat karena ia memang dilarang untuk tiu.

Namun, keikhlasannya menerima ketentuan Allah SWT adalah pahala tersendiri.  Ia bisa menggantikan  waktu-waktu shalatnya dengan berzikir, berdoa dan membaca shalawat.  Ia juga bisa mengisi Ramadhan dengan amal-amal yang lebih besar. Menyediakan makanan berbuka bagi keluarganya, bagi tetangganya atau orang lain yang membutuhkan akan memberi dia pahala puasa berlipat ganda, sebanyak orang yang dia beri makanan berbuka.

Begitu pula ia bisa memperbanyak sedekah, memperbanyak belajar agama seperti menelaah tafsir, Hadis Nabi, memperdalam fikih dan tsaqafah-tsaqafah Islam lainnya.  Selama ia niatkan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, pahala akan dituliskan untuknya.  Amal-amal inilah yang juga bisa dia lakukan saat memburu Lailatul Qadar, sementara ia dalam keadaan haid atau nifas.

 

  1. Itikaf Perempuan

Dibolehkan perempuan melakukan itikaf di masjid dalam sepuluh hari terakhir Bulan Ramadan selama memenuhi syarat-syarat yakni: (1) suci dari haid dan nifas; (2) mendapat izin dari suami; (3) tempat itikaf perempuan terpisah dari tempat itikaf laki-laki; (4) tidak melalaikan atau meninggalkan kewajiban utamanya sebagai istri, ibu dan manajer rumah suaminya; (5) adanya jaminan keamanan dan terhindar dari fitnah.

Bila syarat-syarat ini tidak terpenuhi, misal perempuan yang masih memiliki bayi atau balita yang butuh pengasuhannya, atau masjid tidak memiliki kamar mandi yang terpisah dari laki-laki, atau laki-laki asing yang beritikaf terlalu banyak sehingga ruang perempuan tidak bisa terpisah sempurna, atau pandemi Covid-19 masih mengancam, dan sebagainya, perempuan tidak perlu melakukan itikaf di masjid.  Ia bisa mengoptimalkan amal ibadahnya di rumah sehingga masih bisa meraih kemuliaan Lailatul Qadar.

WalLahu a’lam. [Arini Retnaningsih]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + two =

Back to top button