Ukhuwah dan Khilafah
Sesama kaum Mukmin telah Allah SWT tetapkan sebagai saudara. Islam telah menghilangkan berbagai sekat perbedaan; suku bangsa, ras, warna kulit dan status sosial. Allah SWT berfirman (yang artinya): Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) di antara kedua saudara kalian itu (TQS Hujurat [49]: 10).
Bahkan kuat atau lemahnya persaudaraan dengan sesama Mukmin menentukan kualitas keimanan seseorang. Baginda Nabi saw. bersabda (yang artinya), “Belum sempurna iman seseorang sampai ia mencintai bagi saudaranya apa saja yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR Muslim).
Karena itu kecintaan hakiki kepada sesama Muslim tercermin dari sikap yang senantiasa menginginkan saudaranya mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia menginginkan kebaikan untuk dirinya. Juga tidak rela saudaranya tertimpa keburukan, sebagaimana ia pun tak menghendaki keburukan itu menimpa dirinya. Inilah hubungan laksana satu tubuh sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. (yang artinya), “Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh terjaga (tak bisa tidur) dan merasakan demam.” (HR Muslim).
Nabi saw. pun telah bersabda (yang artinya), “Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Janganlah ia menzalimi dan menyerahkan saudaranya (kepada musuh).” (HR al-Bukhari).
Membiarkan sesama Muslim tertindas bukan hanya merusak amal dan menyebabkan dosa, tetapi juga akan mengundang ancaman Allah SWT berupa datangnya bencana besar. Allah SWT berfirman (yang artinya): Orang-orang kafir itu, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (kaum Muslim) tidak melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar (TQS al-Anfal [8]: 73).
Imam ath-Thabari menjelaskan kalimat ‘tidak melaksanakan apa yang telah Allah perintahkan itu’ bermakna tidak memberikan pertolongan. Padahal Allah SWT telah memerintah kita untuk menolong kaum Mukmin yang meminta pertolongan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam urusan (pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan (TQS al-Anfal [8]: 72).
Sayang, saat ini ukhuwah islamiyyah di tengah-tengah kaum Muslim seolah makin pudar. Salah satu faktor yang menyebabkan lunturnya ukhuwah islamiyyah dari dada umat, khususnya para penguasanya, adalah munculnya sikap ta’ashub/‘ashabiyyah (fanatisme kelompok, kesukuan/kebangsaan atau nasionalisme) yang menggeser spirit ukhuwah islamiyyah.
Hal ini bertolak belakang dengan ajaran Islam. Rasulullah saw. sudah mengingatkan kaum Muslim agar menjauhi sikap ‘ashabiyyah (yang artinya), “Tidak termasuk golongan kami orang yang menyerukan ‘ashabiyah. Tidak termasuk golong kami orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyah. Tidak termasuk golongan kami orang yang mati di atas dasar ‘ashabiyah.” (HR Abu Dawud).
*****
Umat Islam adalah ummmah wâhidah (umat yang satu). Umat ini memiliki akidah dan syariah yang sama. Umat ini satu sama lain ditetapkan oleh Allah SWT sebagai ikhwah (saudara). Umat Islam digambarkan Rasulullah saw.: ka al-jasad al-wâhid (laksana satu tubuh). Ukhuwah yang demikian kuat itu hanya akan dapat diwujudkan secara nyata ketika ada yang menyatukan umat dalam satu negara. Itulah Khilafah.
Sebaliknya, ketiadaan Khilafah, seperti saat ini, menyebabkan umat Islam tercerai-berai dalam banyak negara. Karena faktor nasionalisme, masing-masing negara sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Tak peduli dengan nasib saudaranya yang lain. Lihatlah penderitaan kaum Muslim akibat ditindas oleh kaum kafir di Palestina, Irak, Suriah, Myanmar, India dan tentu Xinjiang. Tidak ada satu pun penguasa negeri Islam yang mengirimkan pasukan untuk membela saudara-saudaranya itu.
Berbeda dengan saat ada Khilafah. Sebabnya, kata Rasulullah saw. (yang artinya), “Imam (Khalifah) itu laksana perisai; kaum Muslim diperangi (oleh kaum kafir) di belakang dia dan dilindungi oleh dirinya.” (HR Muslim).
Apa yang disabdakan Rasulullah saw. di atas dibuktikan dalam sejarah. Antara lain oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang sukses menaklukkan Kota Amuriyah, kota terpenting bagi imperium Romawi saat itu, selain Konstantinopel.
Al-Qalqasyandi dalam kitabnya, Ma’âtsir al-Inâfah, menjelaskan salah satu sebab penaklukan kota itu pada tanggal 17 Ramadhan 223 H. Diceritakan bahwa penguasa Amuriyah, salah seorang raja Romawi, telah menawan wanita mulia keturunan Fathimah ra. Wanita itu disiksa dan dinistakan hingga berteriak dan menjerit meminta pertolongan.
Menurut Ibn Khalikan dalam Wafyah al-A’yan, juga Ibn al-Atsir dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh, saat berita penawanan wanita mulia itu sampai ke telinga Khalifah Al-Mu’tashim Billah, saat itu sang Khalifah sedang berada di atas tempat tidurnya. Ia segera bangkit dari tempat tidurnya seraya berkata, “Aku segera memenuhi panggilanmu!” Tidak berpikir lama, Khalifah Al-Mu’tashim Billah segera mengerahkan sekaligus memimpin sendiri puluhan ribu pasukan kaum Muslim menuju Kota Amuriyah.
Terjadilah peperangan sengit. Kota Amuriyah pun berhasil ditaklukkan. Pasukan Romawi bisa dilumpuhkan. Sekitar 30 ribu tentaranya terbunuh. Sebanyak 30 ribu lainnya ditawan oleh pasukan kaum Muslim. Sang Khalifah pun berhasil membebaskan wanita mulia tersebut. Semoga Allah SWT merahmati Al-Mu’tashim Billah.
Semoga saja umat Islam di seluruh dunia segera bisa mewujudkan ukhuwah yang hakiki. Semoga mereka segera memiliki Khilafah, juga pemimpin pemberani yang mengayomi—seperti Khalifah Al-Mu’tashim Billah—yang akan menaklukkan Amerika, Eropa, Rusia dan Cina; menyatukan berbagai negeri Islam; menjaga kehormatan kaum Muslim; dan menolong kaum tertindas.
Insya Allah, masa yang mulia itu akan segera tiba karena memang telah di-nubuwwah-kan oleh Rasulullah saw. (yang artinya), “Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian.” (HR Ahmad). [Arief B. Iskandar]