Soal Jawab

Qadha’ Bisa Ditolak Dengan Doa?

Soal:

Bagaimana mendudukan hadis, “La Yuraddu al-Qadha’u illa bi ad-Du’a” (Tidak ada yang bisa mengubah Qadha’ kecuali doa)? Di sisi lain, Qadha’ dan Qadar itu sudah ditetapkan oleh Allah di Lauhul Mahfuzh. Lalu bagaimana doa bisa mengubah Qadha’? Bukankah ini artinya menolak ilmu Allah?

 

Jawab:

Jawaban ini saya kutip dari jawaban al-‘Alim al-Jalil Syaikh ‘Atha Abu ar-Rasytah.

Pertama: Memang benar ada banyak dalil, baik dari al-Quran dan as-Sunnah, yang terkait dengan kedudukan doa di dalam Islam. Misalnya firman Allah SWT:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسۡتَكۡبِرُونَ عَنۡ عِبَادَتِي سَيَدۡخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ٦٠

Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sungguh orang-orang yang menyombong-kan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina-dina.” (QS Ghafir [40]: 60).

 

Al-Hakim telah mengeluarkan riwayat dalam Al-Mustadrak, dari Abu Hurairah ra., berkata: Rasulullah saw. bersabda:

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى الله مِنْ الدُّعَاء

Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah dari doa (HR al-Hakim).

 

Imam Ahmad telah mengeluarkan riwayat di dalam Musnad-nya dari Abu Said, bahwa Nabi saw. bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ ، وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا. قَالُوا: إذا نكثر. قال: الله أكثر.

“Tidaklah seorang Muslim berdoa dengan doa yang di dalamnya tidak ada dosa dan pemutusan hubungan kekerabatan kecuali Allah memberi dia satu dari tiga hal: disegerakan untuk dia (pengabulan) doanya; disimpan untuk dia di akhirat; atau dialihkan dia dari keburukan semisalnya.” Mereka berkata, “Kalau begitu kami memperbanyak doa.” Nabi saw. bersabda, “Allah lebih banyak lagi membalas.” (HR Ahmad).

 

Kedua: Jika terdapat dalil qath’i tentang topik tertentu yang kebetulan terdapat dalil zhanni yang sahih dalam topik yang sama, namun memiliki hukum yang berbeda, maka harus dilakukan kompromi terhadap kedua dalil yang “seolah” bertentangan tersebut. Dalam kaidah ushul dinyatakan i’mal ad-dalilayn awla min ihmal ahadihima (menggunakan dua dalil lebih baik daripada mengabaikan salah satu di antara keduanya).

Namun, jika tidak bisa dikompromikan, dalil qath’i yang harus dimenangkan, dan dalil zhanni yang sahih itu harus ditolak secara dirayah [makna]. Namun, jika dalil zhanni-nya dha’if, maka dalil zhanni ini ditolak karena ke-dha’if-annya.

Ketiga: Seluruh dalil tentang Qadha’ atau Qadar memiliki makna, bahwa perkara tersebut telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah di Lawh al-Mahfuzh. Artinya, perkara tersebut pasti akan terjadi. Allah SWT berfirman:

وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ قَدَرٗا مَّقۡدُورًا ٣٨

Ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku (QS al-Ahzab [33]: 38).

 

Makna “qadar[an]” di sini adalah perkara yang telah berlangsung penetapannya sejak zaman ‘azali.  Makna “maqdûr[an]” adalah pasti terjadi. Jadi “qadr[an] maqdûr[an]” artinya keputusan yang pasti terjadi.

وَمَا يَعۡزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثۡقَالِ ذَرَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَآءِ وَلَآ أَصۡغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡبَرَ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٍ ٦١

Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (tercatat) dalam kitab yang nyata (Lawh al-Mahfuzh) (QS Yunus [10]: 61).

عَٰلِمِ ٱلۡغَيۡبِۖ لَا يَعۡزُبُ عَنۡهُ مِثۡقَالُ ذَرَّةٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَآ أَصۡغَرُ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡبَرُ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ ٣

Tidak ada tersembunyi dari Allah sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi, tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lawh al-Mahfuzh) (QS Saba’ [34]: 3).

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ ٢٢

Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lawh al-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sungguh yang demikian adalah mudah bagi Allah (QS al-Hadid [57]: 22).

 

Keempat: Dengan mengkaji dan mendalami dalil-dalil tentang Qadha’ atau Qadar, tampak bahwa apa yang sudah ditetapkan Allah itu pasti akan terjadi. Jadi, apa yang ada di dunia ini pasti telah ditetapkan oleh Allah di Lawh al-Mahfuzh. Apa yang Allah tetapkan pasti akan terjadi dan tidak ada ruang untuk menghindar.

Kelima: Lantas bagaimana dengan hadis, “La yaruddu al-Qadha’ illa ad-du’a” (Tidak ada yang bisa mengubah Qadha’ kecuali doa)? Atau hadis, “La yaruddu al-Qadaru illa ad-du’a” (Tidak ada yang bisa menolak Qadar [takdir] kecuali doa)? Padahal, keduanya tampak seperti kontradiksi?

Dengan usaha keras mengkompromikan kedua dalil yang tampak kontradiksi di atas, dan ternyata tidak bisa dikompromikan, maka jawabannya adalah sebagai berikut:

Hadis “La yaruddu al-Qadaru illal ad-Du’a” (Tidak ada yang bisa mengubah Qadar [takdir] kecuali doa) harus ditolak secara dirayah (makna). Alasannya, ini bertentangan dengan fakta bahwa apa yang telah ditetapkan atau diputuskan di Lawh al-Mahfuzh itu pasti terjadi. Tidak ada ruang untuk dihindari, apalagi diubah. Artinya, Qadar di sini tidak bisa dihapus dari Lawh al-Mahfuzh.

Karena itu, yang lebih tepat adalah dengan membawa makna hakiki Qadar dalam hadis “La yaruddu al-Qadaru illal ad-du’a” (Tidak ada yang bisa mengubah Qadar [takdir] kecuali doa) ke makna majazi. Maksudnya, sekalipun yang disebut adalah Qadar, atau Qadha’, maksud yang sebenarnya adalah dampak dari Qadar, atau Qadha’. Bukan mengubah Qadar, atau Qadha’-nya itu sendiri. Jadi, yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah dampak dari Qadar atau Qadha’, bukan Qadar, atau Qadha’-nya itu sendiri. Ini sebagaimana yang kita katakan, “Anbatat al-ardhu mathar[an] (Bumi menumbuhkan hujan).” Kita menyebutkan sebab “mathar[an]”. Padahal yang kita maksud adalah musabab (akibat), yakni hasilnya (tumbuhan).

Ketika Qadar, atau Qadha’, itu menimpa orang Mukmin (misalnya sakit, kehilangan seorang anak, harta benda, mengalami musibah tertentu, dan sebagainya), maka doa bisa menolak dampak dari hal-hal ini. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis al-Hasan bin Ali ra., yang berkata, “Rasulullah saw. mengajarkanku kalimat-kalimat yang aku ucapkan di dalam doa Qunut shalat witir:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ … وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ

Ya Allah, tunjukilah aku pada orang yang Engkau beri petunjuk…dan jagalah aku dari keburukan apa yang Engkau tetapkan.

 

Jika seorang Mukmin berdoa kepada Allah, dan memperbanyak doa agar Allah menghalangi keburukan (dampak) Qadha’, maka Allah akan meringankan dia dari dampak Qadha’ tersebut, dan Allah akan membantu dia sehingga kuat dan sabar menanggung cobaan tersebut. Hidupnya akan menjadi baik meskipun terjadi Qadha’ tersebut menimpa dirinya. Jadi, Allah meringankan dampak Qadha’ atas dirinya dan meringankan kejadiannya, seolah-olah doanya (secara majazi) telah menolak Qadha’ tersebut, bahwa Allah membantu dirinya untuk sabar menanggung cobaan atas dirinya.

Lihatlah, betapa banyak orang yang tertusuk duri yang kecil saja, kemudian dia menjadi down, lemah, mengeluh dan berputus asa. Sebaliknya, betapa banyak orang yang ditimpa musibah yang berat, tetapi lisannya senantiasa basah zikir mengingat Allah, berdoa kepada-Nya agar menjaga diirnya dari keburukan musibah dan dampaknya. Lalu dia bersabar dan keadaannya pun tetap lurus. Seolah-olah doanya telah menolak musibah itu secara majazi.

Begitulah hadis itu bisa dipahami, bahwa Qadar pasti terjadi, tetapi doa seorang Mukmin dengan benar dan ikhlas bisa menolak dampak Qadar itu terhadap dirinya, yakni meringankan dan membantu dirinya bersabar menanggung musibah serta meringankan beban musibah itu. Setelah itu kehidupannya menjadi lebih baik, seolah-olah musibah itu tidak terjadi. Begitulah yang di-rajih-kan oleh al-‘Alim Syaikh ‘Atha’ bin Khalil.

Keenam: Untuk menambah faidah, beliau mengutip apa yang beliau tulis dalam buku, At-Taisir fi Ushul at-Tafsir, sebagai berikut:

 

Makna pemenuhan doa, bukanlah perubahan dalam Qadar, atau perubahan tulisan di Lawh al-Mahfuzh, atau perubahan di dalam ilmu Allah. Pemenuhan itu tidak berarti bahwa Allah tidak mengetahui permintaan (doa) hamba-Nya dan pemenuhan Allahuntuk doa itu, dan berikutnya tidak tercatat di Lawh al-Mahfuzh. Namun, Allah mengetahui dan mencatatnya sejak ‘azali.

Sesungguhnya Qadar itu adalah ilmu Allah, yakni catatan di Lawh al-Mahfuzh dan semua yang ada/terjadi telah tertulis di dalamnya sejak ‘azali. Jadi, Allah mengetahui bahwa Fulan akan berdoa kepada-Nya. Jika Allah telah menetapkan pemenuhannya, maka ditulis bahwa Fulan akan meminta kepada-Nya begini, begitu, dan bahwa ini akan terjadi begini dan begitu. Jadi, doa itu bukanlah pembuatan baru yang tidak ada di ilmu Allah, atau tidak tertulis di Lawh al-Mahfuzh. Demikian juga pemenuhan itu. Namun, semuanya yang ada/terjadi telah dicatat di Lawh al-Mahfuzh. Jadi, Allah mengetahui yang gaib; mengetahui ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh hamba. Segala sesuatu telah ditulis lebih dulu sejak ‘azali. Jadi, doa dan pemenuhan doa, bukan di atas ilmu Allah, tetapi keduanya telah dicatat di Lawh al-Mahfuzh menurut ketentuannya sebagaimana akan terjadi. Jadi Allah Mahatahu yang gaib dan yang tampak.

لَا يَعۡزُبُ عَنۡهُ مِثۡقَالُ ذَرَّةٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ ٣

Tidak ada tersembunyi dari Allah sebesar zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi (QS Saba’ [34]: 3).

 

Beliau juga mengutip apa yang dinyatakan dalam Syarh as-Sunnah, karya Abu Muhammad al-Husain al-Baghawiy asy-Syafi’iy (w. 516 H):

 

Telah memberitahu kami Abdul Wahid bin Ahmad al-Malihi, dari Abdullah bin Abi al-Ja’di, dari Tsauban yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:

لا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلا الدُّعَاء

Tidak ada yang bisa menolak al-Qadar kecuali doa.

 

Saya katakan: Abu Hatim as-Sijistani menyebutkan, “Kontinunya seseorang berdoa membuat baik bagi dirinya al-qadha’ yang terjadi sehingga seolah-olah doa menolaknya.”

Kami juga mengutip apa yang dinyatakan di Mirqâtu al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, karya Abu al-Hasan Nuruddin al-Mula al-Harawi al-Qari (w. 1014 H):

 

Sabda Rasul saw:

لا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلا الدُّعَاء

Tidak ada yang menolak al-Qadha’ kecuai doa.

 

Qadha’ adalah perkara yang telah ditetapkan, atau yang dimaksudkan penolakan Qadha’, jika yang dimaksudkan adalah makna hakikinya, adalah memudahkannya dan mempermudah perkara tersebut sehingga seolah-olah tidak turun.

 

Dari sini bisa dipahami bahwa doa tidak bisa mengubah Qadha’ dan Qadar, tetapi bisa mengubah dampak dari keduanya. Hanya saja, ini terkait dengan Qadha’ dan Qadar yang tampak, dan sudah terjadi. Adapun apa yang gaib, dan belum terjadi, sama-sama masih tidak jelas bagi manusia. Termasuk, dampak dari Qadha’ dan Qadar berikutnya. Karena itu doa diperintahkan, sebagai bentuk husnuzhan [berharap] kepada Allah SWT.

Di sinilah kita memahami konteks nasihat Imam as-Syafii kepada muridnya, yang terkenal slow leaner, agar meminta ilmu kepada Allah. Setelah itu Rabi’ bin Sulaiman benar-benar menjadi trasmitter mazhab Syafii. Al-Buwaithi sendiri mengutip penjelasan gurunya melalui Rabi’ bin Sulaiman. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven + 20 =

Back to top button