Hukum Kepemilikan Pabrik Mengikuti Bahan Baku
Keberadaan industri dan pabrik di sebuah negara merupakan perkara yang sangat vital. Tidak saja bisa memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Keduanya juga menjadi pilar ketahanan dan kedaulatan sebuah negara. Bahkan revolusi industri acapkali dijadikan indikator dan tolok ukur kemajuan.
Keberadaan pabrik dan industri di dalam negara-negara yang mengadopsi sistem kapitalis di satu satu sisi telah mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain ia justru mengeliminiasi hasil-hasil pembangunan. Legalisasi pabrik minuman keras, jasa pelacuran, industri pornografi, tempat-tempat perjudian, dan industri-industri haram lainnya dalam banyak hal telah menimbulkan problem kemasyarakatan yang merusak hakikat pembangunan itu sendiri, bahkan memurukkan manusia ke lembah kerusakan. Industri dan pabrik raksasa milik swasta diberi keleluasaan untuk mengeksploitasi dan mengeruk kekayaan dan sumberdaya alam yang sejatinya adalah milik rakyat. Rakyat dan negara hanya mendapatkan dividen yang tak seberapa. Para pemilik modal semakin bertambah kaya dan terus menumpuk kekayaan. Sebaliknya, rakyat semakin tenggelam dalam kesengsaraan akibat penerapan sistem kapitalis. Jurang antara si kaya dan si miskin semakin menganga lebar.
Dengan alasan meningkatkan peran swasta dalam kegiatan ekonomi, individu diberi hak melakukan kegiatan ekonomi, tanpa ada batas. Negara, bahkan dilarang turut campur dalam kegiatan ekonomi. Lahirlah kebijakan privatisasi, yang berakibat pada penguasaan sektor-sektor ekonomi yang menjadi hajat hidup orang banyak, oleh segelintir orang. Full employment dan kompetisi pasar yang didengang-dengungkan ternyata kandas dalam utopia. Pabrik-pabrik dan industri-industri vital, yang seharusnya menjadi tumpuan kesejahteraan masyarakat, justru menjadi alat para pemilik modal untuk semakin menguasai sumberdaya alam, menjadikan negara miskin sebagai pasar, dan penyedia tenaga-tenaga murah.
Adapun di dalam Islam, keberadaan industri dan pabrik diatur berdasarkan hukum syariah. Semua hal yang berhubungan dengan industri dan pabrik, baik yang berhubungan dengan status kepemilikan maupun jenis produksi ditetapkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan apa yang ditunjuk oleh keduanya.
Telaah Kitab edisi kali ini membahas Pasal 138 Muqaddimah ad-Dustur, yakni tentang status kepemilikan tempat-tempat produksi (pabrik). Di dalam kitab ini dijelaskan bahwa kepemilikan pabrik dihukumi berdasarkan bahan baku yang ia gunakan untuk berproduksi.
Redaksi Pasal 138 berbunyi:
اَلْمَصْنَعُ مِنْ حَيْثُ هُوَ مِنَ اْلأَمْلاَكِ الْفَرْدِيَّة. إلاَّ أَنَّ الْمَصْنَعَ َ يَأْخُذُ حُكْمَ الْمَادَةِ الَّتِي يَصْنَعُهَا، فَإِنْ كَانَتْ الْمَادَةُ مِنَ اْلأَمْلاَكِ الْفَرْدِيَّةِ كَانَ الْمَصْنَعُ مِلْكاً فَرْدِياكَمَصَانِعِ النَّسِيْجِ، وَإِنْ كَانَتْ الْمَادَة مِنَ اْلأَمْلاَكِ الْعَامَةِ كَانَ الْمَصْنَعُ مِلْكاً عَاماً، كَمَصَانِعِ اسْتِخْرَاجِ الْحَدِيْد
Pabrik (tempat produksi), ditinjau dari sisi pabrik itu sendiri, termasuk dalam kepemilikan-kepemilikan individu. Hanya saja, pabrik dihukumi berdasarkan bahan baku yang ia gunakan untuk berproduksi. Jika bahan bakunya termasuk dalam kepemilikan-kepemilikan indidivu, maka pabrik itu menjadi milik individu, seperti pabrik tenun. Jika bahan bakunya termasuk dalam kepemilikan-kepemilikan umum, maka pabrik itu menjadi milik umum, seperti pabrik eksplorasi besi.
Di dalam pasal ini terkandung dua bagian pembahasan. Pertama: Hukum asal pabrik termasuk bagian dari kepemilikan indidivu. Kedua: Hukum pabrik mengikuti bahan baku yang ia gunakan untuk berproduksi.
Dalil untuk bagian pertama, yakni Nabi saw. pernah meminta dibuatkan cincin. Abdullah bin Umar ra. berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْطَنَعَ خَاتَمًا
Sesungguhnya Nabi saw. pernah meminta dibuatkan cincin (HR al-Bukhari).
Sahal bin Sa’d as-Sa’idi ra. juga berkata:
وَأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَصْنَعَ الْمِنْبَر
Sesungguhnya Nabi saw. meminta dibuatkan mimbar (HR al-Bukhari).
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa Nabi saw. pernah memesan barang dari tempat usaha (pabrik) yang statusnya adalah milik individu. Pada masa Nabi saw. masyarakat sudah terbiasa memesan barang-barang dari pabrik-pabrik. Beliau pun mendiamkan mereka.
Khabbab bin al-Arats ra. adalah seorang sahabat yang memiliki pabrik senjata. Pada masa jahiliah beliau memiliki pabrik pembuatan pedang dan terus berlanjut saat beliau masuk Islam. Di dalam Kitab Sirah Ibnu Hisyam dituturkan bahwa Al-‘Ash bin Wail as-Sahmi pernah membeli pedang dari Khabbab. Ketika Khubab mendatangi al-‘Ash untuk meminta pelunasan pembayaran, ia berkata kepada dirinya dengan berkelakar, “Di surga aku akan bayar lunas untukmu.”
Dalil di atas menunjukkan persetujuan Nabi saw. atas kepemilikan pabrik oleh individu-individu kaum Muslim. Dengan kata lain, hukum asal pabrik adalah milik individu.
Adapun dalil bagian kedua, yakni kaidah “al-mashna` ya’khudzu hukm ma yantiju” (pabrik mengambil hukum apa yang ia produksi). Kaidah ini di-istinbath dari Sunnah Nabi saw. Ibnu Umar ra. berkata:
لَعَنَ اللهُ شَارِبَ الْخَمْرِ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَها
Allah melaknat peminum khamer, pemerasnya, orang yang minta diperaskan (HR Abu Dawud).
Larangan memeras khamer pada dasarnya bukan larangan pada aktivitas memeras itu sendiri. Yang dilarang hanyalah memeras khamer. Adapun memeras dan meminta diperaskan, pada konteks asalnya, bukanlah perbuatan haram. Hanya saja, kedua aktivitas itu menjadi haram disebabkan karena keharaman khamer.
Atas dasar itu, pabrik dihukumi berdasarkan apa yang diproduksi. Jika suatu pabrik memproduksi barang haram maka usaha pabrik itu dihukumi haram. Ini dalil kaidah: al-mashna‘ ya’khudzu hukm ma yantiju’.
Hadis riwayat Imam Abu Dawud di atas bukan dalil yang menunjukkan pabrik termasuk kepemilikan umum. Ia hanyalah dalil yang menunjukkan bahwa pabrik dihukumi berdasarkan apa yang diproduksi.
Dengan bertumpu pada kaidah di atas, sebuah pabrik bisa ditetapkan status hukumnya berdasarkan apa yang diproduksi di dalamnya. Jika bahan baku yang diproduksi tidak termasuk kepemilikan umum, maka pabrik tersebut termasuk dalam kategori kepemilikan individu. Sebabnya, Rasulullah saw. mengakui keberadaan pabrik pedang, pabrik baju dan pabrik sepatu sebagai bagian dari kepemilikan individu.
Adapun jika sebuah pabrik didirikan untuk memproduksi bahan baku yang termasuk milik umum, seperti halnya pabrik eksplorasi minyak, besi, atau barang-barang tambang milik umum, maka pabrik tersebut menjadi milik umum, dan tidak termasuk kepemilikan individu. Begitu pula pabrik-pabrik yang mengeksplorasi tambang yang memiliki deposit yang sangat besar, maka ia menjadi milik umum, mengikuti bahan baku yang diproduksinya. Alasannya, pada saat Nabi saw melarang pabrik khamer, beliau menghukuminya mengikuti status bahan bakunya.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Gus Syams]