
Dampak Trump 2.0: Indonesia di Persimpangan Ekonomi Dunia
Kembalinya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada Januari 2025 telah menciptakan gelombang ketidakpastian di panggung ekonomi global. Dengan mengusung kembali slogan “Make America Great Again” (MAGA), Trump menerapkan berbagai kebijakan ekonomi yang berfokus pada kepentingan domestik AS. Di antara kebijakannya adalah penerapan kembali kebijakan proteksionisme yang ditandai dengan kebijakan tarif tinggi, pemotongan pajak, pengusiran tenaga kerja ilegal dan efisiensi anggaran. Kebijakan ini tidak hanya mempengaruhi perekonomian AS, tetapi juga memiliki efek domino terhadap ekonomi dunia, termasuk Indonesia, negara berkembang yang bergantung pada perdagangan internasional.
Salah satu pilar utama kebijakan ekonomi Trump adalah proteksionisme yang bertujuan melindungi industri dalam negeri AS yang merosot cukup tajam dalam persaingan global. Selama kampanye Pemilu 2024, Trump berjanji akan menerapkan tarif sebesar 10-20% untuk semua barang impor yang masuk ke AS. Cina bahkan diancam dengan dengan tarif lebih yang lebih ekstrem hingga 60%, bahkan hingga 200% untuk barang tertentu seperti kendaraan yang diproduksi di luar negeri oleh perusahaan AS. Kebijakan ini merupakan kelanjutan pendekatan yang ia terapkan pada masa jabatan pertamanya (2017-2021), yang menyebabkan perang dagang AS-Cina.
Kebijakan tarif tersebut dirancang untuk mengurangi defisit perdagangan AS, mendorong produksi domestik dan menciptakan lapangan kerja dalam negeri. Meski demikian, langkah tersebut juga memicu reaksi berantai di pasar global. Negara-negara mitra dagang utama AS, seperti Cina, Uni Eropa, Kanada dan Meksiko, telah mulai melakukan kebijakan tarif balasan. Ketegangan perdagangan ini berpotensi mengulang dampak kebijakan pemerintah Trump periode pertama yang mengganggu rantai pasok global, meningkatkan biaya produksi dan memicu inflasi di berbagai belahan dunia.
Secara tersirat kebijakan Trump tersebut merupakan strategi yang digunakan sebagai alat tawar-menawar untuk mendapatkan keuntungan bagi AS. Karena itu, hasilnya akan bergantung pada respon negara lain, terutama dari blok perdagangan utama seperti Cina dan Uni Eropa, yang kemungkinan akan melakukan pembalasan yang terarah sambil berupaya bernegosiasi.
Di bidang anggaran, pemerintahan Trump telah mencanangkan program pemangkasan dengan membentuk Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang dipimpin oleh Elon Musk. Target ambisius mereka adalah memangkas hingga $2 triliun dari total anggaran federal sebesar $6,8 triliun.
Namun, efisiensi ini menghadapi tantangan. Pasalnya, lebih dari 80% pengeluaran federal terdiri dari program wajib atau secara politik sulit dipangkas, seperti Jaminan Sosial, Medicare, pertahanan, bunga utang, dan transfer ke negara bagian. Praktis hanya sekitar $1,1 triliun pengeluaran diskresioner yang dapat menjadi target pemangkasan.
Kebijakan efisiensi Trump juga tampak pada kebijakannya yang mengurangi keterlibatan AS pada lembaga-lembaga internasional. Trump memulai penarikan AS dari WHO pada masa jabatan keduanya sejak Januari 2025. Dia menganggap WHO tidak efektif dalam menangani krisis kesehatan global, seperti pandemi. Dia pun menilai organisasi ini terlalu didominasi oleh pengaruh negara tertentu, khususnya Cina, yang dianggap merugikan kepentingan AS. Selain itu, Trump telah menarik AS dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) dan menghentikan pendanaan untuk Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) yang dia anggap cenderung berpihak ke Palestina ketimbang Israel, selain tidak efisien. Ia juga telah menghentikan kontribusi keuangan untuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), serta membubarkan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), yang secara signifikan memangkas bantuan luar negeri dari negara itu.
Berbagai kebijakan itu antara lain untuk memangkas defisit yang menjadi sebab pembengkakan utang Pemerintah AS, yang saat ini melebihi $34 triliun. Pada tahun fiskal 2025, Kantor Anggaran Kongres memproyeksikan total utang sebesar $36,4 triliun dengan pembayaran bunga bersih sekitar $952 miliar. Biaya yang meningkat ini—mencapai sekitar 3,2% dari PDB—diperkirakan akan melampaui anggaran utama lainnya seperti Medicare ($944 miliar) dan pertahanan ($870 miliar). Keadaan tersebut telah membatasi fleksibilitas ekonomi AS dan membebani generasi mendatang.
Trump juga berupaya mengamankan sumber daya strategis, meningkatkan kontrol atas jalur perdagangan global dan menekan negara-negara mitra untuk memberikan keuntungan lebih besar bagi AS. Beberapa di antaranya adalah usulan akuisisi Greenland (Denmark) yang kaya sumber daya mineral, tekanan tarif terhadap Kanada dan Meksiko, hingga tuntutan peningkatan kontribusi pertahanan NATO.
Selain itu, Trump juga berambisi mengurangi ketergantungan pada komoditas mineral kritis seperti litium, nikel dan kobalt yang vital untuk teknologi canggih, energi terbarukan dan kendaraan listrik. Karena itu Trump mendesak Presiden Ukraina, Zelensky, untuk memberikan akses kepada AS untuk menguasai mineral kritis di negara tersebut sebagai syarat dukungan untuk menyelesaikan konflik dengan Rusia.
Langkah itu sejalan dengan Laporan Komite Terpilih Pemerintah AS pada Desember 2023 yang menyoroti kelemahan posisi AS dalam hal mineral tanah jarang dan mineral kritis karena ketergantungan pada Cina. Menurut laporan itu, kegagalan mengatasi masalah ini dapat menyebabkan “produksi pertahanan AS akan terhenti dan memutus rantai manufaktur teknologi canggih lainnya.” Karena itu laporan itu menegaskan perlunya diversifikasi sumber pasokan untuk menjaga keamanan nasional dan daya saing teknologi1.
Implikasi
Dampak kebijakan Trump tersebut terhadap ekonomi dunia cukup signifikan. Pertama: Rantai pasok barang secara global berpotensi terganggu. AS sebagai salah satu pasar terbesar di dunia, kebijakan protektif Trump dapat mengubah dinamika perdagangan internasional. Ketika tarif diterapkan, negara-negara eksportir seperti Cina menghadapi penurunan permintaan dari AS, memaksa perusahaan multinasional mencari alternatif lokasi produksi. Hal ini menjadi peluang bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, meskipun juga berarti potensi harga yang lebih mahal bagi konsumen global akibat meningkatnya biaya pengadaan bahan baku yang bersumber dari Cina.
Kedua: Volatilitas atau ketidakstabilan pasar keuangan berpotensi meningkat akibat ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan Trump. Dalam kondisi itu, dolar AS akan cenderung menguat karena investor mencari aset aman di tengah gejolak global, sementara mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, mengalami tekanan. Selain itu, kebijakan pemotongan pajak besar-besaran yang diusulkan Trump dapat memperlebar defisit fiskal AS. Penarikan utang besar-besaran akan mendorong kenaikan suku bunga obligasi AS sehingga menarik aliran modal kembali ke AS dari negara-negara berkembang.
Ketiga: Ketidakstabilan pasar keuangan ditambah dengan balasan negara-negara mitra AS berpotensi menimbulkan resesi alias penurunan pertumbuhan ekonomi global. Organisasi Perdagangan Dunia telah memperingatkan bahwa eskalasi konflik perdagangan dapat memangkas pertumbuhan PDB global hingga lebih dari 0,25% dan AS mencapai 0,75%2. Negara-negara yang bergantung pada ekspor, seperti Jerman, Korea Selatan dan Jepang akan merasakan dampak signifikan. Ini pada gilirannya dapat memengaruhi permintaan komoditas dari negara-negara produsen seperti Indonesia.
Keempat: Potensi pergeseran kekuatan ekonomi akibat kebijakan isolasionis Trump. Pengurangan keterlibatan AS dalam forum multilateral dapat memperkuat pengaruh negara-negara lain, termasuk memperkuat berbagai aliansi ekonomi alternatif seperti kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan), yang kini juga melibatkan Indonesia sebagai anggota. Kebijakan Trump tersebut juga berpotensi mengurangi soft power AS. Ini akan mendorong sekutu tradisional seperti negara-negara Eropa mencari mitra lain. Hal ini pun membuka celah bagi negara-negara pesaing seperti meningkatnya pengaruh Cina dan Rusia untuk mengisi kekosongan pengaruh AS.
Cina, misalnya, dapat memperluas dominasinya di organisasi seperti WTO atau meningkatkan inisiatif seperti Belt and Road. Rusia berpeluang memperkuat aliansi di kawasan Eurasia untuk menandingi NATO yang berpotensi melemah setelah dukungan dari AS menyusut.
Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tidak luput dari dampak kebijakan Trump. Dengan struktur ekonomi yang terbuka dan ketergantungan pada ekspor komoditas serta perdagangan dengan mitra utama seperti AS dan Cina, Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang. Kebijakan proteksionisme Trump, misalnya, dapat menekan ekspor Indonesia. Ekspor Indonesia ke AS senilai $27,8 miliar pada 2023 meliputi tekstil (17% dari total), elektronik, alas kaki dan karet yang menyumbang surplus $14,3 miliar. Jika Indonesia ikut terkena dampak kenaikan tarif maka biaya barang-barang ini di pasar AS akan ikut naik sehingga mengurangi daya saing harga dibandingkan produsen domestik atau yang bebas tarif.
Berbagai kebijakan Trump yang mengenakan tarif tinggi berpotensi menggerek inflasi di Amerika Serikat dan secara global. Peningkatan biaya impor akibat tarif tersebut akan mendorong kenaikan harga barang-barang konsumsi di pasar domestik AS, menciptakan tekanan inflasi yang signifikan. Dalam menghadapi tren inflasi yang meningkat, Federal Reserve kemungkinan akan merespon dengan menunda penurunan suku bunga yang telah diantisipasi, atau bahkan kembali menaikkan suku bunga acuan perbankan di negara tersebut.
Seperti pola yang telah berlangsung sebelumnya, suku bunga tinggi di AS akan menarik dana-dana investasi global masuk ke pasar Amerika Serikat. Investor akan tertarik pada imbal hasil yang lebih tinggi dari instrumen keuangan AS sehingga meningkatkan arus modal masuk yang substansial. Konsekuensinya, nilai tukar negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan terdepresiasi secara signifikan. Dengan demikian, nilai tukar rupiah yang sudah berada di kisaran Rp 16.500 per USD akan semakin sulit untuk diperkuat kembali ke level yang lebih rendah.
Melemahnya rupiah tersebut akan memberikan dampak negatif terhadap stabilitas harga dalam negeri. Biaya impor Indonesia, khususnya untuk kebutuhan strategis seperti minyak dan bahan baku industri, akan meningkat secara proporsional dengan depresiasi nilai tukar. Hal ini pada akhirnya akan mendorong inflasi domestik. Menghadapi tekanan inflasi dan depresiasi rupiah yang berlanjut, BI hampir dapat dipastikan akan merespon dengan menaikkan suku bunga acuan, yang akan berdampak pada peningkatan biaya pinjaman bagi pelaku usaha dan masyarakat. Kenaikan biaya modal ini berpotensi memperlambat aktivitas investasi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sektor energi dan komoditas Indonesia juga berpotensi terpengaruh dengan kebijakan Trump. Agenda pro-bahan bakar fosil Trump bisa meningkatkan ekspor batubara Indonesia. Namun, pencabutan subsidi kendaraan listrik dan kebijakan iklim di AS dapat mengurangi permintaan industri nikel Indonesia yang memasok 40% permintaan global (2024). Penurunan penjualan mobil listrik AS bisa menekan harga nikel yang tahun 2024 telah mengalami penurunan sebesar 30% akibat over produksi nikel dari Indonesia dan penurunan penjualan global.
Adopsi Islam sebagai Ideologi
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dengan berbagai potensinya perlu berbenah agar mampu menjadi negara kuat dan mampu menghadapi berbagai dinamika ekonomi global termasuk perubahan kebijakan ekonomi negara-negara besar seperti AS. Indonesia harus merombak tatanan ekonomi kapitalisme yang rentan mengalami goncangan. Salah satunya adalah meninggalkan sistem Kapitalisme secara total. Bentuknya antara lain, menghapus sektor keuangan Kapitalisme baik perbankan, pasar modal dan pasar uang yang berbasis ribawi dan spekulasi dan mengadopsi sistem keuangan dan bisnis berbasis syariah seperti syirkah mudhârabah dan optimalisasi peran Baitul Mal dalam pembiayaan bisnis.
Indonesia juga perlu merombak sistem moneter yang diadopsi saat ini yang mengandalkan sistem mata uang kertas (fiat currency) dengan beralih menggunakan standar emas dan perak. Indonesia juga harus mengelola sumber daya alamnya yang strategis seperti migas, batubara dan nikel, yang langsung dikelola oleh negara sehingga pendapatan negara menjadi lebih optimal dan tidak lagi diserahkan kepada investor swasta apalagi asing.
Sebagai negara Muslim terbesar, Indonesia perlu melakukan aliansi dengan negara-negara Muslim lainnya untuk menjadi kekuatan ekonomi baru di bawah satu payung politik Negara Khilafah Islam. Negara-negara Muslim memiliki berbagai sumber daya potensial baik SDM yang sangat besar, sumber daya alam yang dibutuhkan ekonomi dunia, serta posisi geografis yang strategis bagi jalur perdagangan dan investasi. Dengan kepemimpinan ideologi Islam yang kuat, Indonesia berpeluang besar menjadi kekuatan politik dan ekonomi global bersaing dan bahkan mengungguli negara-negara kapitalisme saat ini, termasuk AS.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muis].
Catatan kaki:
- S. House of Representatives Select Committee on the Strategic Competition Between the United States and the Chinese Communist Party, Critical Minerals and Materials: U.S. Supply Chain Vulnerabilities and Solutions (Washington, DC: U.S. Government Printing Office, December 2023)
- Organisation for Economic Co-operation and Development, OECD Economic Outlook, Interim Report March 2025: Steering through Uncertainty (Paris: OECD Publishing, 2025), 17.