Muhasabah

Oligharki

Kepemimpinan. Itulah kata yang saat ini mulai mengemuka kembali.  “Biasa, menjelang Pemilu,” ujar kawan saya Mas Nadzar.

Tak mengherankan sih, sebab jika tidak ada aral melintang pada 14 Februari 2024 pemilihan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.  Kurang lebih satu tahun tiga bulan perhelatan itu akan digelar.  Belum lagi, sembilan bulan setelah itu (27 November 2024) akan dilakukan pemilihan Gubernur di 33 Provinsi dan pemilihan Bupati/Wali Kota di 514 Kabupaten/Kota.  Semuanya tak dapat dilepaskan dari kepemimpinan.

Satu hal yang terus didengang-dengungkan adalah istilah politik identitas.  Namun, realitasnya, setiap kali istilah politik identitas itu dikatakan, tuduhannya langsung menuju umat Islam yang menyuarakan tegaknya Islam; atau menunjuk orang yang dianggap dekat dengan umat Islam.  Tak tanggung-tanggung dimunculkanlah istilah ‘Bapak Politik Identitas’.

Menarik pandangan Effendy Choirie dalam acara Indonesia Lawyers Club beberapa waktu lalu.  Politisi Nasdem itu mengatakan, “Kita semua beridentitas.  Lahirnya Pemilu Jakarta sebenarnya faktor utamanya bukan Anies, lho, tapi Ahok.  Orang Kristen, Cina, mengutip ayat al-Quran, menafsirkan ayat semaunya.  Ini dilupakan.  Ini menjadi penyebab.  Lalu, ada reaksi.  Reaksi yang berbau agama ini lalu di-framing seolah ini politik identitas dan dialamatkan kepada Anies.  Ini harus dihentikan.  Jadi, kalau mengangkat-angkat politik identitas mari kita cari ujung persoalannya.”

Beliau menambahkan, “Harus disadari, reaksi itu datang dari mayoritas rakyat.  Mayoritas rakyat Indonesia itu Muslim.  Kalau ada reaksi berbau-bau agama itu logis secara filosofis, secara sosiologis tidak bisa dihindarkan, secara yuridis boleh.”

Dengan nada menaik, beliau menyatakan, “Identitas-identitas!  Pukulannya pada siapa ini?  Kepada mayoritas.  Apa tidak sakit?  Karenanya, akhiri. Framing politik identitas seolah-olah itu negatif.”

Namun, tampaknya stigmatisasi dengan framing ‘politik identitas’ sulit berhenti.  “Itu cuma alat.  Bidikannya jelas, ajaran Islam,” ujar Mas Nadzar.

“Radikal, garis keras, fundamentalis, politik identitas, semuanya menuding perkara yang sama.  Apa itu?  Ajaran Islam di luar spiritual,” tambah Mas Nadzar.

“Kalau spiritual akan dibiarkan, namun jika sudah bersentuhan dengan sosial, politik, dan ekonomi yang beraroma Islam langsung dicap politik identitas dan temen-temennya tadi,” simpulnya.

Pak Abdullah Hehamahua menegaskan, “Itu apa yang diajarkan oleh Snouck Hurgronje.  Orang Belanda yang pura-pura masuk Islam.  Dia menasihati pemerintah Belanda untuk membiarkan Islam beraroma spiritual seperti shalat, namun memberangus ajaran Islam yang di luar itu.”

“Kalau begitu, tidak mengherankan ketika pekan lalu ada guru yang menasihati siswi SMA di Sumberlawang agar ia berjilbab, diancam dipecat oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo,” komentar Mas Nadzar lagi.

Kalau masalah kerudung atau jilbab saja disikapi seperti itu, dapat dibayangkan bagaimana sikap terhadap hukum Islam yang menyangkut ekonomi, sosial dan politik.   Setiap upaya penegakan Islam akan dicap negatif. Perjuangannya akan dijegal sejak awal.  Jika demikian, kemana arah Pemilu dan kepemimpinan pasca Pemilu tahun 2024?

Tiap orang tentu berhak memberikan pikirannya.  Salah satu realitas yang dapat dijadikan renungan adalah pada saat ini Indonesia tengah dikuasai oleh oligarki.  Berbagai media massa mengingormasikan bahwa bisnis batubara pada saat ini sangat luar biasa.  Pada tahun 2022 harga batubara acuan (HBA) dipatok US$ 150 perton.  Biaya produksi antara US$39 – US$45 per ton.  Dengan demikian keuntungannya berkisar antara US$105 – US$111 perton batubara.  Bila domestic market obligation (DMO) batubara pada tahun 2022 sama dengan tahun sebelumnya sebesar 137,5 juta ton maka keuntungan windfall profit sebanyak Rp125,5 Triliun – Rp 228,9 Triliun (untuk kurs 1$ = Rp15.000).  Jika windfall tax bagi Pemetintah 10%, pengusaha masih untung Rp194,85 Triliun – Rp 206,01 Triliun.  Fantastik!

Bagaimana dengan biaya untuk menjadi seorang presiden?  Menurut Forbes pada 20 November tahun lalu, perkiraan dana yang harus dirogoh oleh seorang calon presiden adalah US$600 juta atau kira-kira Rp 7 Triliun.  Dari mana asal-muasalnya?  Sederhana.  Asumsinya, seorang calon presiden minimal harus memperoleh 70 juta suara untuk terpilih. Jika biaya yang diperlukan satu orang pemilih Rp 100 ribu, maka total yang harus dikeluarkan pasangan calon Rp 7 triliun.

Sekarang kan beda?  Memang, tampaknya untuk Pemilu 2024 agak sedikit lain.  Berdasarkan hasil Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) Semester I Tahun 2022, tercatat ada 190.022.169 pemilih Pemilu. Andai untuk menang diperlukan 100 juta suara untuk terpilih, maka jika diperlukan perorang Rp100 ribu maka dibutuhkan dana untuk menang 10 Triliun.

Andai oligarki itu mengeluarkan uang sebesar Rp7 – Rp10 Triliun, it’s just a peanut.  Cuma receh!  Kecil banget.  Karena itu dapat dimengerti mengapa ada orang-orang yang mengatakan bahwa pemenang dari Pemilu nanti adalah oligarki.

“Tapi, para oligarki juga saling bersaing dan bertarung tuh.” kata Mas Rony pada saya.

Tiba-tiba saya teringat pada ucapan Bang Rocky al-Marokiy, “Para oligarki itu dapat saja suatu waktu bertarung.  Namun, setelah pertarungan usai akan saling menyatu kembali.  Tidak mungkin bertarung terus-terusan.  Itu karakter oligarki.”

Tentu, itu tidak akan terjadi ketika politik Islam yang didasarkan pada ketakutan akan balasan di akhirat, ketakwaan yang mewujud dalam ketaatan kepada syariah Islam, jiwa amanah dan adil dibiarkan bahkan diberi ruang.  Namun, tatkala ‘Islam politik’ (sebagaimana yang diistilahkan oleh para politisi) dipenggal, di-framing negatif, aktivitasnya dihalang-halangi, dan orang-orangnya dikriminalisasi, jangan harap perubahan terjadi.  Sebaliknya, orang Sunda bilang: “Oligarki deui … oligarki deui … (oligarki lagi … oligarki lagi …)”.

WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + 14 =

Check Also
Close
Back to top button