
Syiar Idul Fitri Menghapus Tradisi Jahiliyah
+++++
Ramadhan telah berlalu. Takbir bersahut-sahutan. Menggema ke ufuk langit. Menjadi syiar di antara syiar-syiar ketaatan kepada Allah SWT. Syiar penuh pengagungan dan puji-pujian kepada-Nya. Menjadi momentum syiar di antara syiar-syiar Islam dan persatuan kaum Muslim. Merealisasikan perintah-Nya untuk bertakbir mengagungkan Diri-Nya atas petunjuk Islam. Demikian sebagaimana firman-Nya:
Hendaklah kalian mencukupkan bilangan (puasa)-nya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang telah Dia berikan kepada kalian agar kalian bersyukur (QS al-Baqarah [2]: 185).
Karena itu sikap seorang Muslim yang mengagungkan syiar Islam pada momentum Idul Fitri adalah bagian dari ketakwaan itu sendiri. Demikian sebagaimana firman-Nya:
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (QS al-Hajj [22]: 32).
Artinya, yang demikian adalah sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah. Syaikh Nawawi al-Bantani asy-Syafi’i (w. 1316 H) dalam Syarh Sullam at-Tawfîq (hlm. 103) menjelaskan bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar-syiar Allah, yakni syiar-syiar Dîn-Nya. Inilah hari saat kaum Muslim selayaknya berbahagia karena rahmat Allah berupa tegaknya Dîn-Nya:
Katakanlah, “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus [10]: 58).
Artinya, tegaknya amal-amal shalih yang diamalkan selama Ramadhan dan demikian selanjutnya menunjukkan hakikat kita sebagai hamba Allah tanpa batas waktu dan tempat dalam menjalankan syariah-Nya. Alangkah indah lantunan Dawâwîn asy-Syi’r al-‘Arabî:
Masa bagimu seluruhnya Ramadhan/wahai sosok yang shaum dan shalat malam.
Syaikh Nawawi al-Bantani pun mengingatkan salah satu dari sepuluh amal Ramadhan dalam kitabnya, Nihâyat az-Zayn fî Irsyâd al-Mubtadi’în, yakni konsisten menjalankan amal-amal shalih pada Bulan Ramadhan dan melanjutkan amal-amal tersebut pada bulan-bulan berikutnya. Ini membuktikan seorang Muslim adalah hamba Rabbani, bukan hamba ‘ramadhani’.
Pertanyaannya: Apakah kaum Muslim hari ini telah menegakkan syariah Islam secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupan?
Syiar Penghapus Tradisi Jahiliyah
Dulu kala syiar Idul Fitri disyariatkan untuk menggantikan syiar-syiar jahiliyah sebelum Islam tiba di Yatsrib, dari Anas r.a.:
Rasulullah saw. tiba di Madinah (Yatsrib). Saat itu penduduk Madinah memiliki dua hari (raya) yang di dalamnya mereka bersenang-senang, Nabi saw. bertanya, “Apa dua hari (raya) ini?” Mereka menjawab, “Kami dulu bersenang-senang di dalamnya pada masa jahiliyah.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan hal yang lebih baik daripada keduanya, yakni Idul Adha dan Idul Fitri.” (HR Abu Dawud dan al-Hakim).
Imam al-Munawi (w. 1031 H) dalam Syarh-nya menyebut dua hari raya tersebut adalah Hari Nawruz dan Mahrajan. Mengurai hadis ini, Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) dalam Fath al-Bari (II/442) menuturkan: “Dari hadis ini digali hukum tentang keharusan membenci sikap turut bergembira atas hari-hari raya kaum musyrik (baca: kaum lafir) dan sikap menyerupai mereka. Bahkan Syaikh Abu Hafsh al-Kabir al-Nasafi dari golongan Hanafiyah menyatakan: ‘Siapa saja yang memberikan hadiah sebuah telur kepada seorang musyrik pada hari rayanya, sebagai bentuk pengagungan atas hari raya tersebut, sungguh ia telah kufur kepada Allah.”
Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) dalam Syarh Sunan Abi Dawud (IV/477) menuturkan: “Dulu kaum jahiliyah bersenang-senang selama dua hari dalam setahun. Mereka melakukan berbagai perkara yang tidak Allah ridhai. Ketika Islam hadir, Allah mengganti dua hari tersebut dengan dua hari yang menggema di dalamnya syiar takbir, tahmid dan tauhid; dengan syiar yang terang-benderang dan menggema hingga membuat dongkol kaum musyrik.”
Rasulullah saw. bahkan dalam hadis yang mulia ini mengajarkan paradigma Islam, bahwa Islam hadir untuk mengatur manusia, meskipun harus dengan cara mengganti tradisi berhari raya mereka yang mendarah daging secara turun-temurun dengan Hari Raya Islam. Ini menegaskan bahwa tradisi kehidupan manusia wajib sejalan dengan syariah Ilahi, yakni syariat Allah Yang telah menciptakan manusia.
Syiar Pemersatu Dunia Islam
Tak selayaknya tatkala Idul Fitri tiba, syariah ukhuwah dan kewajiban bersatu diabaikan, diganti dengan tradisi jahiliyah berpecah-belah dalam berhari raya. Apalagi jika itu merupakan konsekuensi dari keterpecahbelahan negeri-negeri kaum Muslim dalam sekat-sekat nation states yang menjadi warisan imperialis penggagas Perjanjian Sykes Picot yang batil. Kemana syiar Idul Fitri yang merupakan ajaran Rasulullah saw., yang justru disyariatkan pertama kali untuk menghapuskan tradisi jahiliyah?
Ketika Islam memimpin di Yatsrib (Madinah), Islam bukan hanya menghapuskan tradisi jahiliyah dalam berhari raya. Islam pun menghapuskan permusuhan yang diwarisi dari generasi ke generasi antara suku Aus dan Khazraj hingga dikenal Hari Bu’ats. Menurut Al-Hafiz al-Baghawi: “Hari Bu’ats adalah hari yang masyhur. Ketika itu terjadi pembantaian besar-besaran Suku Aus atas Suku Khazraj. Perang ini berlangsung selama seratus dua puluh tahun hingga Islam datang.”
Ketika mereka masuk Islam, Islam mempersaudarakan mereka dalam ukhuwah Islamiyah. Islam bahkan menyatukan syiar mereka dalam berhari raya: Idul Fitri.
Karena itu momentum Idul Fitri sudah seharusnya menjadi momentum persatuan Dunia Islam, menjauhi perpecahan. Hal ini bisa dimulai dengan kesatuan umat ini dalam mengakhiri Bulan Ramadhan dan mengawali 1 Syawal sebagaimana pesan Rasulullah saw. yang bersabda:
Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah (ber-Idul Fitri) karena melihat hilal. Jika jika ia terhalang dari pandangan kalian, sempurnakanlah hitungan Bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR Muttafaq ‘alayh, lafal al-Bukhari).
Kalimat afthirû adalah perintah mengawali Idul Fitri (hilal 1 Syawal) dengan rukyat hilal, yang berlaku umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Penyatuan awal akhir Ramadhan ini bukan hal yang mustahil ketika umat berada di bawah naungan kepemimpinan Khalifah yang satu untuk seluruh kaum Muslim sedunia. Al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitab Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim menukilkan maqalah al-Imam al-Maziri (w. 1141 M) ketika menjelaskan Shahih Muslim tentang rukyat hilal:
Jika telah pasti adanya keputusan tentang hilal dari sosok Khalifah, wajib bagi seluruh negeri-negeri kembali pada keputusannya (Khalifah).
Al-Maziri pun merinci: “Perbedaan antara rukyat hilal Khalifah dan selainnya, yakni saat seluruh negeri-negeri berada di bawah naungan pemerintahannya (Khalifah) sebagai satu negeri.”
Insya Allah, kelak kaum Muslim akan hidup dalam naungan satu kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, dan satu syiar dalam berhari raya: Idul Fitri dan Idul Adha.
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]