Kebersamaan yang Membahagiakan
Sebenarnya bukan hal aneh dan baru bagi umat Islam hidup bersama dengan yang lain. Mula umat ini membangun kebersamaan hidup di masa kepemimpinan Baginda Rasulullah saw. telah terbiasa bertemu dengan pemeluk ajaran lain. Dengan pengaturan Islam, jaminan untuk hidup produktif dan membahagiakan itu adalah keniscayaan.
Secara prinsip, pemeluk agama lain dipandang sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang sama-sama menerima taklif risalah Islam. Namun, pada pelaksanaannya, mereka tidak akan dipaksa untuk shalat, haji, zakat, jihad dan pelaksanaan hukum syariah lain yang mensyaratkan adanya iman dan Islam. Mereka dibiarkan melakukan ibadahnya, makan, minum, berpakaian, menikah dan bercerai menggunakan agama mereka. Hanya dalam kaitannya sebagai warga negara, dalam aturan kehidupan umum yang tidak diatur oleh agama mereka, mereka terikat dengan hukum-hukum pengaturan umum dalam Islam. Semisal hukum-hukum muamalah (hubungan transaksional ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain), hukum sanksi, hukum politik.
Karena itulah kita menyaksikan bagaimana hak-hak individu mereka dalam keyakinan, ibadah dan harta mendapat jaminan yang sama. Jaminan itu ditunjukkan oleh sabda Rasulullah saw. terhadap kafir dzimmi yang hidup dalam naungan Islam. “Siapa saja yang menyakiti dzimmi maka aku berperkara dengan dia. Siapa saja yang berperkara dengan aku maka aku akan memperkarakan dia pada Hari Kiamat.” (hadis hasan).
Karena itu saat seorang Muslim membunuh kafir dzimmi, muslim itu dihukum dengan bunuh pula. Saat seorang Yahudi berperkara dengan Imam Ali ra. soal kepemilikan baju perang, dengan bukti yang ada, Khalifah Umar bin Khattab ra. memenangkan kasusnya. Begitulah, jika terjadi pelanggaran hak individu mereka, Islam telah menjaganya. Namun, ketika mereka melanggar aturan kehidupan umum, semisal mencuri, berzina, transaksi riba, membunuh Muslim, akan diterapkan atas mereka hukum potong tangan, rajam, qishâsh dan lain-lain. Semua ini adalah bentuk perawatan Islam atas kehidupan bersama yang menenangkan. Bukan soal kebencian atas dasar agama, melainkan keharmonian dan keselamatan hidup manusia.
Fakta sejarah yang tidak terbantahkan menunjukkan bahwa orang kafir dzimmi lebih memilih hidup diatur syariah Islam ketimbang diatur pemimpin bangsanya. Will Durant, dalam The Story of Civilization, menggambar-kan bagaimana keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayyah. Will Durant menuturkan, orang-orang yang Yahudi yang ditindas oleh Romawi membantu kaum Muslim yang datang untuk membebaskan Spanyol. Mereka pun hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M.
T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan:
Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania serta negara Unitaris (kesatuan), yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut, juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatic. Kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… Kaum Cossack. yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.
Kebersamaan yang Membahayakan
Hidup bersama dalam keberagaman di tengah dominasi ideologi kapitalis sekular adalah fatamorgana. Barat penganut kapitalis sekular mengidap penyakit akut islamophobia. Ketidakwarasan menjadi pemandu tindakan mereka. Segala yang menunjukkan identitas Islam akan mereka perangi.
Lihatlah, bagaimana di Denmark, pemimpin partai sayap kanan Denmark Starm Kurs, Rasmus Paludan, membakar salinan al-Quran, Jumat (22/3) sebagai bentuk protesnya atas sejumlah Muslim yang menunaikan shalat Jumat di depan gedung parlemen negara tersebut. Sejumlah Muslim di Denmark menggelar aksi solidaritas untuk para korban di Christchurch, namun kelompok sayap kanan ekstrem Denmark mendatangi lokasi tempat para Muslim menunaikan shalat sambil membawa bendera Israel.
Pelarangan pemakaian burka di Prancis. Diskriminasi terhadap pelaksaan ibadah dan pendirian tempat ibadah umat Muslim. Pemeriksaan ekstra ketat imigrasi transportasi darat, laut dan udara terhadap mereka yang beragama Islam atau mereka yang berasal dari negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Pembunuhan hampir lima puluh orang Muslim di Christchurch, Selandia Baru. Semua itu jelas-jelas menunjukkan penyakit parah itu. Karena itu bagaimana mungkin hidup bersama diwujudkan ditengah kebencian mereka terhadap Islam dan umatnya?
Adnin Armas, pendiri INSIST, mengatakan, di Indonesia gejala penyakit ini pun telah menjangkit. Indikasinya, orang-orang yang ingin berkontribusi dan mencintai agama ini bisa dituduh konservatif, fundamentalis, radikal, anti kemajuan, anti Barat, anti NKRI, dan fitnah-fitnah serupa.
Propaganda hidup damai, persatuan dalam keberagamaan yang dipandu oleh ideologi Barat sesungguhnya mengancam kehidupan umat manusia. Pasalnya, makna damai yang diintrodusir Barat kepada dunia adalah tidak boleh ada yang mengganggu kepentingannya. Satu-satunya lawan hakiki adalah Islam. Mereka tahu bahwa ideologi Islam dan syariahnya akan menggeser hegemoninya, menghilangkan segala kesukaan liarnya dan merenggut kemerdekaannya. Karena itu tanpa dasar mereka telah lebih dulu membuat pre-judice bahwa Islam intoleran, radikal, eksklusif, tirani mayoritas, dan sebagainya.
Dominasi mereka atas dunia memaksa para pemimpin untuk mengikuti kehendak mereka. Tak heran jika pemimpin Muslim justru menyuarakan agenda mereka dan membebek pada arahan mereka. Mereka mengamini kesepakatan forum-forum dialog interfaith, pengarusan moderasi Islam atau program deradikalisasi’ memfasilitasi partai yang menolak perda syariah, poligami, wisata halal dengan alasan menjaga keaneragaman Bali dan menolak ‘arabisasi. Dengan lancangnya mereka pun menyatakan bahwa sumber potensial pecahnya bangsa adalah isu agama.
Sungguh kebersamaan yang dibangun dengan berbagai kesepakatan seperti di atas, dalam rangka mencari titik temu antaragama, adalah tipudaya belaka. Hal demikian justru membahayakan kehidupan kemanusiaan, mendiskreditkan Allah, Rasulullah saw., syariah Islam dan umat Islam. Mereka begitu melecehkan syariah Allah yang sudah dibuktikan sejarah telah mendamaikan dan mensejahterakan dunia, termasuk di dalamnya hamba-hamba-Nya yang telah memilih untuk tidak mengimaninya, Syariah telah menjamin hak-hak dasar mereka. Mereka membunuhi Muslimin di berbagai negara, mengintimidasi Muslimah, menghinakan para pengemban risalah Allah SWT.
Khilafah Penjaga Hakiki Peradaban Manusia
Mengembalikan kehidupan manusia yang beradab, sejahtera dan damai sesungguhnya adalah dengan mengembalikan berlakunya syariah Allah SWT dalam naungan Khilafah. Ini bukan soal pemaksaan kehendak satu agama, melainkan tanggung jawab sebuah ideologi shahih dalam menata peradaban manusia. Fakta hari ini, peradaban yang sekian lama dibentuk oleh ideologi kapitalis sekular telah menyebabkan konflik, kesempitan hidup dan kesengsaraan.
Syariah Islam yang akan ditegakkan Khilafah adalah penjamin kehormatan seluruh manusia, Muslim maupun kafir dzimmi. Khilafah adalah penjaga hak-hak dasar hidup mereka, penjaga kerukunan dan penjamin kesejahteraan. Dengan hukum politiknya Khilafah mencegah tindakan abuse of power pemimpin dan menjamin pemenuhan kepentingan bangsa. Dengan hukum ekonominya Khilafah menjamin pemerataan kebutuhan primer serta mendukung pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier. Dengan hukum sosialnya Khilafah mencegah rusaknya moral generasi, tersebarnya penyakit menjijikan akibat penyimpangan seksualitas. Khilafah pun menjamin kesetaraan manusia, kerukunan dalam keberagamannya. [Ratu Erma R.]