Ibrah

Al-Quran dan Lailatul Qadar

Allah SWT berfirman (yang artinya): Sungguh Kami menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar. Apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih dari daripada seribu bulan (TQS al-Qadar [97]: 1-3).

Ayat di atas setidaknya mengandung dua hal: Pertama, tentang turunnya al-Quran pada Lailatul Qadar. Kedua, tentang keistimewaan Lailatul Qadar. Suatu malam yang dinyatakan oleh Allah SWT sendiri lebih baik dari seribu bulan.

Turunnya al-Quran pada malam yang juga amat istimewa, Lailatul Qadar, tentu menunjukan bahwa al-Quran adalah kitab yang amat istimewa. Apalagi al-Quran berfungsi sebagai petunjuk (hud[an]) bagi manusia dalam mengarungi kehidupan di alam dunia ini (QS al-Baqarah [2]: 185). Tanpa petunjuk al-Quran manusia bakal tersesat di dunia. Saat tersesat di dunia, mereka tak mungkin dapat meraih surga. Pastinya, mereka bakal menjadi penghuni neraka. Bahkan tanpa petunjuk al-Quran, seorang Muslim tak mungkin berusaha meraih keutamaan puasa Ramadhan, juga mengharapkan keutamaan Lailatul Qadar. Karena itu al-Quran yang turun pada Lailatil Qadar sesungguhnya lebih istimewa dibandingkan dengan Lailatul Qadar sendiri. Karena itu pula, peristiwa turunnya al-Quran—apalagi pada Lailatul Qadar—sesungguhnya  adalah peristiwa mahadahsyat.

Berkaitan dengan dahsyatnya al-Quran ini, Allah SWT berfirman (yang artinya): Andai Kami menurunkan al-Quran pada suatu gunung, pasti kamu (Muhammad) menyaksikan gunung itu tunduk dan terpecah-belah karena takut kepada Allah. Perumpamaan-perumpamaan demikian Kami buat agar mereka mau berpikir (TQS al-Hasyr [59]: 21).

Menurut Imam ath-Thabari ayat ini bermakna: “Andai Kami menurunkan al-Quran pada suatu gunung, sementara gunung itu berupa bebatuan, pasti kamu, wahai Muhammad, menyaksikan gunung itu tunduk, terhina dan terpecah-belah karena besarnya rasa takutnya kepada Allah. Padahal gunung (yang berupa bebatuan, pen.) itu amat keras. Itu karena gunung itu khawatir tidak sanggup/mampu menunaikan hak Allah yang telah Dia wajibkan atas dirinya, yakni dengan mengagungkan al-Quran.” (Ath-Thabari, Jâmi al-Bayân fî Tawîl al-Qurân, 23/300).

Menurut Imam al-Alusi, ayat ini adalah tamsil sekaligus gambaran tentang ketinggian al-Quran dan kekuatan pengaruh nasihat dan peringatannya. Tujuan ayat ini adalah untuk mencela manusia yang keras hati, sedikit rasa takutnya kepada Allah saat al-Quran dibacakan, serta sedikit sekali merenungkan berbagai ancamannya. Padahal andai al-Quran itu diturunkan ke atas sebuah gunung yang keras dan gunung itu memiliki akal, pasti gunung itu pun akan merasa takut kepada Allah SWT dan terpecah-belah (Al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, 20/442).

*****

Terkait keutamaan Lailatul Qadar,  Allah SWT berfirman (yang artinya): Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan (TQS al-Qadar [97]: 3), Mujahid menyatakan, “Upaya menghidupkan malam tersebut dan beramal di dalamnya adalah lebih baik daripada menghidupkan seribu bulan.” Artinya, pahala menghidupkan Lailatul Qadar adalah lebih baik dari pahala ibadah selama kira-kira 83 tahun 3 bulan (Ibnu al-Jauzi, At-Tadzkirah fi al-Wa’zh, 1/218).

Keutamaan Lailatul Qadar juga dinyatakan oleh Rasulullah saw., “Siapa saja yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Begitu istimewanya Lailatul Qadar, Imam Syafii bahkan berpendapat, “Siapa saja yang meninggalkan shalat pada Lailatul Qadar, ia wajib menggantinya dengan shalat selama seribu bulan. Hal ini di-qiyas-kan pada keutamaan Lailatul Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.” (Muhammad ‘Uwaidhah, Fashl al-Khithâb fi az-Zuhd wa ar-Raqâ’iq wa al-Adab, 1/1007).

Karena begitu besarnya keutamaan Lailatul Qadar, Rasulullah saw. mendorong setiap Muslim untuk sungguh-sungguh meraih keutamaan malam tersebut. Beliau bersabda, “Carilah oleh kalian keutamaan Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil di sepuluh terakhir Ramadhan.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Begitu besar keutamaan Lailatul Qadar juga ditunjukkan oleh fakta bahwa Allah SWT merahasiakan keberadaannya. Mengapa? Tidak lain, sebagaimana dinyatakan oleh Imam an-Nasafi, agar kaum Muslim bersungguh-sungguh mencari keutamaan malam tersebut di seluruh malam-malam Ramadhan (Abdurrahman ash-Shafudi, Najhah al-Majâlis wa Muntakhab an-Nafâ’is, 1/162).

Hal senada ditegaskan oleh Imam al-Ghazali. Kata beliau, “Boleh jadi maksud Allah merahasiakan keberadaan Lailatul Qadar adalah untuk meningkatkan kesungguhan manusia dalam mencarinya.” (Al-Ghazali, Ihya’ Ulûm ad-Dîn, 3/121).

*****

Namun demikian, sebetulnya ada keutamaan amal yang setara bahkan melebihi keutamaan Lailatul Qadar. Ini pun sudah selayaknya bisa diraih oleh setiap Muslim. Apa itu? Jawabannya ada dalam sabda Rasulullah saw., “Berjaga-jaga satu jam di medan perang fi SabililLah adalah lebih baik daripadaa menghidupkan Lailatul Qadar di samping Hajar Aswad.” (HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).

Bayangkan. Menghidupkan Lailatul Qadar adalah keutamaan. Apalagi dilakukan di tempat yang utama. Di Tanah Suci. Tentu jauh lebih utama. Namun ternyata, berdasarkan hadis di atas, keutamaan tersebut bisa dikalahkan oleh jihad (perang) fi sabililLah meski sekadar berjaga-jaga satu jam saja.

Hadis di atas dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw., “Maukah kalian, aku beritahu tentang suatu malam yang lebih utama dari Lailatul Qadar? Yaitu (malamnya) seorang penjaga yang berjaga-jaga di suatu wilayah yang menakutkan (di medang perang fi SabililLah) dan dia amat berharap tidak kembali kepada keluarganya (berharap mati syahid, pen.).” (HR al-Hakim).

Masalahnya, bagaimana kita dapat meraih keutamaan jihad/mati syahid, sementara kita saat ini tidak dalam wilayah perang dan berada dalan kondisi damai? Masih bisakah kita meraih keutamaan jihad dan mati syahid? Tentu saja bisa. Bagaimana caranya? Tidak lain dengan melibatkan diri di medan dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Terutama yang ditujukan kepada para penguasa zalim. Sebab Rasulullah saw. pernah bersabda, “Pemimpin para syuhada (di Hari Kiamat nanti) adalah Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Rasulullah saw. yang syahid di medang Perang Uhud, pen.) dan seorang laki-laki yang berdiri tegak di hadapan seorang penguasa zalim, dia menasihati penguasa tersebut, lalu penguasa itu membunuh dirinya.” (HR ath-Thabarani dan al-Hakim).

Rasulullah saw. pun bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa zalim.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Alhasil, sebagaimana kita sangat berharap meraih keutamaan Lailatul Qadar—yang lebih baik dari seribu bulan—sudah selayaknya kita pun berupaya meraih amal yang jauh lebih utama dari itu. Tidak lain adalah dakwah dan amar makruf nahi mungkar. Karena kemungkaran terbesar saat ini dilakukan oleh penguasa—sebab tidak menerapkan syariah Islam—maka ke sanalah amar makruf nahi mungkar lebih layak ditujukan.

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh! [Arief B. Iskandar]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 + twenty =

Check Also
Close
Back to top button