Nafsiyah

Khawf dan Raja’

Perjalanan dakwah itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Dipenuhi rintangan menghadang. Tiada tempat kembali kecuali kepada Allah, sebaik-baik Penolong. Keyakinan ini akan membuahkan sifat khawf (takut) dan raja’ (pengharapan) hingga tak pernah berputus asa dari rahmat-Nya.

Sifat raja’ teralisasi dengan berbaik sangka (husn az-zhann) kepada Allah yang dibuktikan dengan amal shalih demi meraih keridhaan, rahmat, ampunan dan pertolongan dari-Nya. Adapun sifat khawf menjadikan seorang Mukmin mawas diri dalam beramal. Dalam Al-Zuhd (I/215) Imam Ahmad meriwayatkan atsar dari al-Hasan r.a.:

الرَّجَاءُ وَالْخَوْفُ مَطِيَّتَا الْمُؤْمِنِ

Raja’ dan khawf adalah dua tunggangan orang Mukmin.

 

Kedua sifat ini telah diwajibkan Allah SWT (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 218; QS al-A’raf [7]: 56; QS al-Isra’ [17]: 57; dan lainnya). Sebaliknya, Allah SWT mengharamkan sikap berputus asa dari rahmat-Nya (Lihat: QS az-Zumar [39]: 53-54).

 

Teguh Berdakwah: Bukti Raja’ & Khawf Kepada Allah SWT

Sifat raja’ dan khawf kepada Allah SWT wajib dibuktikan dengan amal shalih yang bisa menjemput turunnya pertolongan-Nya (nashruLlâh). Di antaranya atas terbitnya kembali fajar kebangkitan kaum Muslim, dengan melanjutkan kembali kehidupan Islam, dengan tegaknya Tâj al-Furûdh, Al-Khilâfah, bi nashriLlâh. Allah SWT berfirman:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡ‍ٔٗاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ  ٥٥

Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan apa pun dengan Aku. Siapa saja yang kufur sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (QS an-Nur [24]: 55).

 

Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT berjanji dengan janji pasti (wa’adaLlâh), diungkapkan dengan kata kerja lampau (al-fi’il al-mâdhi’) yang berfaidah menunjukkan kepastian apa yang diinformasikan. Kata ini merupakan kiasan (majâz) dari kalimat sumpah Allah yang disamarkan (al-yamîn al-mudhmar) karena hakikat maknanya: Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, demi Allah, Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi (dan seterusnya). Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam ats-Tsa’labi (w. 427 H) dalam Al-Kasyf (VII/114).

Allah SWT bersumpah akan menganugerahkan kepada orang yang beriman dan beramal shalih tiga hal agung: (1) Menjadikan mereka berkuasa (khalifah) di bumi; (2) Meneguhkan kedudukan mereka dalam agama ini; (3) Menukar rasa takut menjadi aman sentosa.

Seluruhnya Allah SWT ungkapkan dengan penegasan-penegasan, yakni lâm tawkîd dan nûn tawkîd ats-tsaqîlah. Imam Dhiya’uddin bin al-Atsir (w. 637 H) menjelaskan: Sesungguhnya huruf-huruf lâm tersebut berfungsi menegaskan (terwujudnya) perkara (yang diinformasikan) dan peneguhannya dalam jiwa orang-orang yang beriman, bahwa hal tersebut akan terwujud, bukan hal yang mustahil. (Al-Mitsl as-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa asy-Syâ’ir, II/193).

Berputus asa tak layak hinggap dalam jiwa orang beriman karena janji-janji Allah pasti Dia tepati (Lihat: QS ar-Rum [30]: 60). Ungkapan  “layastakhlifannahum”, bahwa Allah akan menganugerahkan orang-orang beriman dan beramal shalih kekuasaan di bumi, yakni mewarisi bumi baik bangsa Arab maupun ’Ajam. Dia menjadikan mereka sebagai penguasa dan pengaturnya sekaligus penduduknya. Ini sebagaimana diuraikan ats-Tsa’labi (VII/114) dan al-Hafizh al-Thabari (XIX/208). Ditegaskan oleh Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H):

فَيَجْعَلَهُمُ الْخُلَفَاءَ وَالْغَالِبِينَ وَالْمَالِكِينَ

Lalu Allah menjadikan mereka sebagai para khalifah (al-khulafâ’), para penakluk (al-ghâlibîn) dan para penguasanya (al-mâlikîn) (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 24/412).

 

Penafsiran senada ditegaskan oleh al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H). Menariknya, beliau menukil ayat yang agung ini (QS an-Nur [24]: 55) sebagai salah satu dalil Khalifah ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2]: 30 (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264).

Pendalilan para ulama mu’tabar ini, memperjelas bentuk kekuasaan yang Allah anugerahkan pada umat ini. Allah mengumpamakan kekuasaan yang bakal diraih oleh umat ini dengan kekuasaan kaum sebelumnya. Ini adalah tasybîh (penyerupaan) yang menguatkan keyakinan. Al-Hafizh ath-Thabari (XIX/208) menafsirkan, yakni Bani Israil. Qatadah ra. merinci, yakni sebagaimana Nabi Dawud a.s., Nabi Sulaiman a.s. serta para nabi yang memiliki kekuasaan, yakni kekuasaan riil politis. Ini sebagaimana hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ

Bani Israil dulu diurus oleh para nabi. Setiap seorang nabi wafat, dia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi setelah aku dan akan ada para khalifah yang banyak (HR al-Bukhari dan  Muslim).

 

Hadis ini diperkuat oleh khabar tentang bakal kembalinya era kekuasaan kaum Muslim yang membentang dari Timur hingga Barat. Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ الله زَوَى لِيَ الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَاربها، وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا، وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ: الْأَحْمَرَ وَالْأَبْيَض

Sungguh Allah SWT telah mengumpulkan dan menyerahkan bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sungguh kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku dari bumi itu dan aku dianugerahi dua pembendaharaan yakni merah (emas) dan putih (perak) (HR Muslim dan Ahmad).

 

Kata zuwiya merupakan kata kerja pasif yang berkonotasi jumi’a yakni dikumpulkan, oleh siapa? Oleh Allah untuk Rasulullah saw. dan umatnya. Ini menguatkan keyakinan bahwa Kekhilafahan bagi umat ini hakikatnya merupakan nashruLlâh (pertolongan Allah).

Menegaskan bisyârah ini hadis dari Hudzaifah ra. yang berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda:

ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّة

Selanjutnya  akan kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR Ahmad dan al-Bazzar).

 

Seorang mukmin sudah seharusnya optimis akan terbitnya fajar kebangkitan kaum Muslim ini.

 

Amal Shalih Penjemput Pertolongan Allah

Aspek yang wajib dievaluasi adalah: Sudah sejauh mana seorang pejuang melakukan amal shalih berupa dakwah meniti metode dakwah Rasul-Nya, dengan dilandasi oleh keimanan pada-Nya?

Al-Hafizh ath-Thabari (w. 310 H) (XIX/208) menjelaskan frasa ’amilû al-shâlihât, yakni orang-orang yang menaati Allah dan Rasul-Nya, dalam hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dan larang. Hal ini menegaskan mereka yang beramal shalih, yakni mereka yang menegakkan syariah Islam. Alasannya, karena kata al-shâlihât dalam ayat ini diungkapkan dengan alif lâm ta’rîf yang berkonotasi khusus atau spesifik, yakni syariah Islam, yang dilandasi oleh keimanan yakni akidah Islam. Syaikh ’Atha bin Khalil (Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, hlm. 87) menegaskan bahwa kata ash-shâlihât mencakup amal-amal shalih yang sejalan dengan tuntunan syariah Islam.

Salah satu bentuk syariah tersebut adalah kewajiban ittibâ’ pada metode dakwah yang digariskan oleh Rasulullah saw. sehingga menjadi amal yang memang shalih (sesuai) dengan tuntutan-Nya. Sebaliknya, perbuatan yang menyalahi metode dakwah Rasulullah saw. hakikatnya tidak menggambarkan sifat husn azh-zhann kepada Allah SWT, wal ’iyâdzu biLlâh. [Irfan Abu Naveed; (Dosen, Penulis Buku Konsep Baku Khilafah Islamiyyah)]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 + eight =

Back to top button