Nisa

Mengatasi Beban Ekonomi Keluarga yang Makin Berat


Seorang ibu rumah tangga di Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) meninggal dunia setelah mengantri gas LPG 3 kilogram pada Senin 3 Februari 2025 (Tempo, 4/2/2025).

Bu Yonih diduga kelelahan setelah berjualan. Setelah itu ia masih harus mengantri gas di pangkalan. Rupanya kelelahan dan kepanasan telah membuat ia terkena heat stroke dan akhirnya meninggal dunia.

Almarhumah Bu Yonih bukan satu-satunya korban. Di berbagai kota antrian mengular untuk mendapatkan gas subsidi 3kg telah terjadi. Ini adalah akibat dari aturan Kementerian ESDM tentang mekanisme distribusi baru. Walau kemudian aturan itu diralat karena mendapat protes dan tekanan dari masyarakat, kisruh akibat kebijakan tersebut telah terlanjur terjadi di tengah-tengah masyarakat

Sebelumnya, awal tahun 2025, Pemerintah juga telah mengumumkan akan menaikkan PPN menjadi 12% yang berarti naik 1 poin atau naik sebesar 9% dari beban PPN sebelumnya, yaitu 11%. Kenaikan tersebut merupakan realisasi dari rencana kenaikan berkala setelah April 2022 yang lalu PPN naik satu poin dari 10% menjadi 11 % yang berarti naik 10% dari beban PPN sebelumnya (Pajak.go.id). Kenaikan ini merupakan amanat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Memang, Pemerintah kemudian membatalkan keputusan tersebut akibat gelombang protes dan keberatan dari masyarakat. Namun, karena pembatalan diumumkan mendadak hanya beberapa jam sebelum pemberlakuan kenaikan, industri belum sempat beradaptasi dan meralat harga barang dan jasa di masyarakat. Akibatnya, harga barang dan jasa sudah terlanjur naik. Padahal tanpa-gonjang ganjing isu kenaikan PPN, Indonesia sudah mengalami penurunan daya beli yang ditunjukkan dengan deflasi berturut-turut selama 5 bulan sejak Mei hingga Oktober 2024.

 

Gelombang PHK Menerjang

Setelah pada awal tahun dipukul bertubi-tubi dengan kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, berikutnya badai PHK menerjang PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang resmi tutup per 1 Maret 2025 dan merumahkan 10.665 karyawannya. Jatuhnya Sritex bukan yang pertama. Kinerja industri manufaktur Indonesia terus menurun dalam lima tahun terakhir. Indonesia masih tertinggal dari Vietnam, Thailand dan Malaysia (Kompas, 27/2/2025).

Daftar Pabrik yang tutup di era pemerintahan Prabowo terus bertambah. PT Sanken akan tutup per Juni 2025. PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI), perusahaan smelter asal China yang beroperasi di Morowali, Sulawesi Tengah, juga terancam tutup. Pasalnya, produksi mereka mengalami pemangkasan drastis, bahkan terancam berhenti sepenuhnya setelah perusahaan diketahui menunda pembayaran kepada pemasok energi lokal dan kesulitan memperoleh bijih nikel.

Berikutnya, PT Yamaha Music dikabarkan bakal menutup dua pabriknya di Indonesia. Diperkirakan sebanyak 1.100 karyawan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). (MSN.com 2/3/2025).

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI), Elly Rosita, menyebut sejak UU Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020, belum ada pembukaan pabrik baru yang bisa menyerap ribuan tenaga kerja, yang terjadi justru gelombang PHK yang terus menerjang.

Tren negatif ini sebenarnya telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Merujuk data Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), sepanjang Januari hingga Desember 2024 terdapat 77.965 orang tenaga kerja yang ter-PHK. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan PHK karyawan tahun 2023 yang menyasar 64.855 unit. Belum termasuk korban PHK PT Sritex. Pabrik-pabrik berikutnya juga berencana tutup di tahun ini. (Kontan, 9/2/2025).

 

Dampak PHK Bagi Keluarga

PHK yang dialami anggota keluarga tidak hanya bermakna kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar keluarga seperti makanan, pakaian, biaya tempat tinggal bahkan kehilangan kemampuan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan. Dalam skala besar, gelombang PHK dapat memicu peningkatan angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Menurunnya daya beli terhadap barang dan jasa menyebabkan konsumsi rumah tangga semakin rendah. Akibatnya, usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) yang bergantung pada konsumsi lokal juga terancam tutup. Dalam kondisi demikian, efek domino PHK semakin meluas, menciptakan kemiskinan baru sebagai lingkaran setan yang sulit diputus.

Belum lagi dampak lanjutan dari PHK massal adalah keputusasaan yang menyebar di masyarakat. Ini bisa memicu ketegangan sosial. Masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil akan melakukan protes. Mereka menginisiasi demonstrasi sebagai ekspresi kekecewaan dan ketidakpercayaan pada kebijakan pemerintah.

Bukan hanya dampak ekonomi dan sosial, PHK massal telah menyebabkan fragmentasi di masyarakat sehingga mudah saling serang. Konflik horisontal mudah terjadi.

Ironisnya masyarakat yang terdampak PHK dan sulit mencari pekerjaan formal mencoba masuk ke area Gig Workers atau kerja serabutan. Mereka harus berhadap-hadapan dengan masyarakat lain, padahal sama-sama hanya mengais kue ekonomi yang tidak seberapa.

Belum lagi potensi meningkatnya kriminalitas seperti pencurian, perampokan hingga pembunuhan. Ini terjadi akibat tekanan bertubi-tubi terhadap kondisi ekonomi cenderung membuat masyarakat gelap mata dan melakukan tindakan melawan hukum dan merugikan banyak pihak.

 

Politik Ekonomi Islam Menjaga Ketahanan Keluarga

Dalam kitab Politik Ekonomi Islam karangan Syaikh Abdurrahman al-Maliki (2001), disebutkan bahwa politik ekonomi Islam menjamin setiap anggota masyarakat bisa memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya mulai dari makanan, pakaian dan tempat tinggal; juga menjamin pemenuhan kebutuhan kolektif masyarakat seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan, yang seluruhnya disediakan negara secara gratis dan berkualitas.

Dalam rangka memastikan seluruh keluarga mampu hidup di atas standar hidup layak, Negara Islam akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para laki-laki dan kepala keluarga. Dengan itu tidak ada satu pun keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Baitul Mal akan digunakan secara maksimal sesuai ketentuan syariah. Di antaranya untuk menyediakan sistem pendidikan yang akan menjamin setiap anggota masyarakat memiliki skill dan pendidikan yang mumpuni sehingga dapat berkontribusi di tengah masyarakat. Demikian pula di sektor kesehatan. Negara hadir terdepan melakukan pelayanan mulai dari edukasi, mitigasi (tindakan preventif), pengobatan hingga mengelola dampak (tindakan kuratif) terhadap kebutuhan kesehatan masyarakat, tanpa memungut bayaran sedikit pun. Negara memastikan kualitas layanan, aksesibilitas dan jumlah layanan kesehatan yang mampu meng-cover semua kebutuhan masyarakat.

Dalam Negara Khilafah yang menjalankan syariah Islam, keluarga akan leluasa memenuhi kebutuhan dasarnya tanpa harus memikirkan pengeluaran pada bidang kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pasalnya, ketiganya merupakan kebutuhan masyarakat yang ditanggung oleh negara secara penuh. Kewajiban kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga menjadi ringan karena hanya memikirkan penyediaan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Jika kepala keluarga atau ahli warisnya tidak mampu, Negara akan turun tangan untuk menanggung mereka dalam santunan kepada fakir miskin.

Meski keuangan Negara sedang kosong, kewajiban untuk menanggung fakir miskin tidak boleh ditinggalkan. Hal ini akan menjadi jaminan dan perlindungan sosial bagi seluruh warga negara, bahwa mereka tetap bisa hidup layak dan berada di atas garis kemiskinan.

Dalam Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (2004) karangan Syaikh Abdul Qadim Zalum, Amir ke-2 Hizbut Tahrir, jika anggaran Negara sedang kosong bahkan minus, Pemerintah Khilafah telah mendapat panduan bagaimana melakukan prioritas anggaran. Negara Khilafah dapat terus membiayai berbagai penyelenggaraan negara dengan mengenakan pajak (dharîbah) kepada laki-laki Muslim yang kaya, dengan besaran yang telah ditargetkan. Ketika jumlah yang dibutuhkan telah terpenuhi, maka penarikan pajak dihentikan. Adapun pendanaan darurat yang harus diprioritaskan adalah: Pertama, pendanaan untuk jihad fî sabilillah dan keberlangsungan industri militer penopang jihad. Kedua, pembiayaan untuk fakir miskin sehingga tidak ada masyarakat yang kelaparan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Ketiga, belanja pegawai berupa gaji pegawai, hakim, guru, nakes dan orang-orang yang bekerja untuk kemaslahatan umat. Keempat, pembiayaan kemaslahatan masyarakat seperti pembangunan rumah sakit, jembatan, universitas, saluran air, jalan raya dan semua fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat. Kelima, terakhir pembiayaan untuk penanganan berbagai bencana alam, longsor dll.

Dalam sistem Islam, sumber-sumber ekonomi akan dikelola dan digunakan sebaik baiknya oleh negara untuk memberikan pelayanan dan pengurusan kepada masyarakat. Tidak akan terjadi masyarakat yang terlunta-lunta akibat kebijakan ekonomi yang berpihak kepada oligarki dan bukan kepada kepentingan dan maslahat masyarakat. Dengan itu tidak mungkin terjadi privatisasi pada layanan publik dan penguasaan sumber ekonomi milik umat oleh swasta.

Pembangunan berjalan. Kesejahteraan juga nyata dinikmati masyarakat. Semua ini bukan berpatokan pada ukuran pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, tetapi dengan memastikan setiap individu masyarakat tidak ada yang kelaparan, tidak ada yang telanjang serta tidak ada yang kepanasan dan kehujanan karena tidak punya tempat bernaung.

Keluarga-keluarga Muslim dan seluruh anggota masyarakat dapat dengan mudah mengakses layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan secara berkualitas dan gratis sebagai pemenuhan amanah kepemimpinan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Meti Astuti]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen + one =

Back to top button