
Kekalahan Politik Suriah
Pada bulan Mei lalu, tepatnya 14 Mei 2025, Donald Trump bertemu dengan presiden transisi Ahmed Al-Syaraa di Riyadh sebelum menuju Qatar pada hari kedua kunjungannya ke Timur Tengah. Ahmad al-Syaraa—sosok yang pernah dicap sebagai teroris oleh AS—berdiri mengenakan setelan jas di samping Trump dan MBS. Dia menerima pujian dari Trump sebagai “pria muda yang menarik”. Dia “Pria tangguh. Masa lalu yang kuat. Masa lalu yang sangat kuat. Pejuang.”
Surat kabar Inggris, The Times, mengungkapkan rincian situasi Ahmad al-Syaraa dalam pertemuannya dengan Trump: Syaraa bahkan telah mengemukakan kemungkinan Trump Tower di Damaskus, ibukota Suriah. Ini sebagai bagian dari upayanya untuk merayu presiden AS, melalui perantara yang diyakini mencakup tokoh-tokoh terkemuka di Arab Saudi dan Turki”.
The Times juga melaporkan bahkan al-Syaraa mungkin menawarkan untuk memulai pembicaraan untuk bergabung dengan Perjanjian Abraham (untuk menormalisasi hubungan dengan entitas Zionis). Demikian menurut apa yang dipelajari surat kabar Inggris tersebut dari sumber-sumber dari pihak keamanan.
Berbicara kepada Al-Jazeera, Omar Rahman, seorang peneliti di Middle East Council on Global Affairs, mengatakan bahwa hubungan AS dengan Arab Saudi, Qatar dan UEA—semua negara yang telah mendorong pencabutan sanksi dan dukungan bagi pemerintahan baru Suriah—telah menjadi bagian integral dari keputusan Trump. “Ini bukan sesuatu yang terlalu sulit dilakukan Trump,” kata Rahman. “Dia tidak perlu mendapatkan izin dari siapa pun. Dia bahkan tidak memerlukan persetujuan dari Kongres.”
Layaknya pebisnis, Trump memutus kesepakatan yang ditulis dengan pengkhianatan: $142 miliar untuk persenjataan ke Arab Saudi, paket ekonomi senilai $1,2 triliun dengan Qatar, dan jet Boeing yang dihadiahkan Qatar, mungkin sebagai upeti kepada sang majikan untuk menggantikan Air Force One.
Sebagai balasannya? Sanksi AS terhadap Suriah dicabut. Hal ini menjadikan al-Syaraa klien terbaru dan menjadikan kekayaan Suriah sebagai target terbaru. Lalu tidak sampai 10 hari dari pertemuan itu, AS secara resmi mencabut sanksi ekonomi menyeluruh terhadap Suriah. Hal ini menandai perubahan besar dalam kebijakan luar negeri Negeri Paman Sam menyusul berakhirnya kekuasaan Bashar al-Assad.
Pencabutan Sanksi: Orkestratif dan Tidak Gratis
Tidak ada makan siang gratis. Prinsip ini sudah menjadi watak AS selaku kampiun Kapitalisme. Selain mencabut sanksi, Presiden Donald Trump juga mendesak Suriah untuk memenuhi lima tuntutan, seperti yang dipaparkan Juru Bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt.
“Pertama, menandatangani Perjanjian Abraham dengan Israel. Kedua, mengusir semua teroris asing dari Suriah. Ketiga, mendeportasi teroris Palestina. Keempat, membantu Amerika Serikat mencegah kebangkitan kembali ISIS. Kelima, mengambil-alih tanggung jawab atas penjara gerilayawan ISIS di timur laut Suriah.”
Trump sendiri menyatakan bahwa Suriah telah sepakat untuk mengakui Israel jika negara itu “sudah tertata kembali.” Ini selaras dengan laporan The Times dan Kantor Berita Reuteurs. Keduanya mengabarkan Suriah telah berusaha meyakinkan AS bahwa mereka bukanlah ancaman, tetapi mitra potensial. Dikabarkan pula bahwa mereka terlibat dalam pembicaraan tidak langsung dengan Israel untuk meredakan ketegangan dengan sekutu Timur Tengah AS tersebut. Padahal Israel telah mengebom Suriah dan menduduki wilayahnya.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan pencabutan sanksi ini diharapkan menjadi langkah awal bagi Suriah menuju masa depan yang lebih stabil dan sejahtera. “Suriah harus terus bergerak ke arah perdamaian dan kestabilan. Keputusan hari ini semoga menjadi awal dari jalan yang lebih cerah,” ujarnya.
Departemen Keuangan AS menjelaskan bahwa pencabutan sanksi berlaku untuk pemerintahan baru Suriah. Syaratnya, negara tersebut tak menjadi tempat berlindung bagi kelompok teroris. Suriah juga harus menjamin perlindungan bagi minoritas agama dan etnis di wilayahnya. Jelas terlihat, syarat mematikan ini dibungkus dengan kata-kata menipu seperti: “Suriah yang inklusif, tidak diskriminatif, menghormati minoritas dan tidak memberikan ruang pada teroris”. Namun, yang dimaksud dengan semua itu adalah Islam dengan sistem syariahnya.
Pada saat yang sama, aroma bisnis kotor juga menyengat. Departemen Luar Negeri AS menerbitkan pengecualian khusus (waiver) yang memungkinkan negara-negara mitra dan sekutu untuk berpartisipasi dalam proses rekonstruksi Suriah. Ibarat lahan basah yang menggiurkan, Suriah menjadi lahan yang akan diperebutkan oleh banyak kekuatan kapitalis. Kebijakan ini memberikan lampu hijau bagi perusahaan asing untuk kembali berbisnis di sana atas nama ‘proyek infrastruktur dasar’. Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan bahwa pengecualian tersebut akan mendukung pemulihan infrastruktur dasar di Suriah seperti penyediaan listrik, energi, air dan sanitasi.
Program Pembangunan PBB (UNDP) memperkirakan ekonomi Suriah kehilangan sekitar 800 miliar dolar AS selama perang. Laporan dari Middle East Council on Global Affairs menyebut bahwa dana sebesar 400–600 miliar dolar AS dibutuhkan untuk rekonstruksi. Beberapa pihak memperkirakan angka itu mendekati 1 triliun dolar AS. Nilai ini sangat besar bagi “investasi bisnis” para penguasa komprador. Meski belum jelas apakah AS dan Uni Eropa akan mengumumkan rencana investasi, Dana Moneter Internasional (IMF) telah menyatakan kesiapan untuk membantu rekonstruksi Suriah. PBB dan Bank Dunia juga diperkirakan akan memimpin penggalangan dana untuk perumahan, layanan kesehatan, pendidikan dan utilitas. Ini belum mencakup izin untuk investasi baru, penyediaan layanan keuangan serta transaksi yang berkaitan dengan produk minyak dan gas Suriah.
Kemenangan atau Kekalahan Politik?
Untuk menjawab apakah ini kemenangan atau kekalahan politik, tentu harus dilihat dulu apakah ini bagian dari agenda umat Islam atau bukan. Meski sempat disambut gempita oleh Damaskus karena harapan akan kesejahteraan rakyat Syam saat sanksi ekonomi dicabut, apakah pemulihan ekonomi betul tanpa risiko? Apakah umat di Syam diposisikan sebagai subyek yang bisa menentukan nasib dan aspirasinya sendiri atau hanya sekadar objek kepentingan dan agenda asing?
Tentu ini harus dilihat dari peristiwa terbaru paling krusial di Suriah, yakni berakhirnya rezim Assad tahun lalu. Siapa yang diuntungkan dari penggulingan ini? Apakah terjadi secara alami atau merupakan orkestrasi? Adnan Khan dalam analisisnya mengungkap penggulingan Assad terkait dengan agenda AS dalam penataan kembali kawasan (reshaping the region). Saat Israel membunuh pemimpin Hizbullah Hassan Nasrullah pada tanggal 29 September 2024 dan seluruh pimpinan senior kelompok tersebut, AS bersekutu dengan Israel untuk secara strategis mengubah arsitektur keamanan Kawasan. Untuk itu situasi di Suriah perlu diubah karena jalur pasokan Hizbullah melewati negara tersebut.
Untuk menyelaraskan Suriah dengan tatanan regional yang baru, Iran perlu dikeluarkan dari Suriah. Oleh karena itu rezim di Damaskus digantikan oleh Ahmed al-Syaraa alias Abu Muhammad al-Julani. Kala itu masih menjadi Panglima Operasi Suriah/Pemimpin Hay’ah Tahrir al-Syam HTS. Sebelamnya ia telah diawasi ketat oleh AS sejak ia berada di penjara AS di Kamp Bucca pada tahun 2003.
Ahmad al-Syaraa dilaporkan sudah melakukan berbagai pertemuan rahasia sejak akhir 2024, termasuk dengan delegasi Turki, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa di kesempatan berbeda. Hizbut Tahrir menilai itu sebagai upaya Amerika Serikat mengontrol Suriah melalui Turki untuk mempertahankan sistem sekuler. Bahkan jauh sebelum ke publik, AS telah memutuskan bahwa Al-Julani (Ahmad al-Syaraa) adalah presiden Suriah berikutnya.
Karena itu tidak aneh, setelah menjabat dengan setelan jas, al-Syaraa, dengan pemerintahan Suriah yang baru, telah berupaya keras untuk menampilkan dirinya sebagai kekuatan moderat yang dapat diterima oleh masyarakat internasional, termasuk dengan menjauhkan diri dari kelompok-kelompok yang ditetapkan sebagai ”teroris”. Ia pun berjanji untuk bekerjasama dengan negara-negara lain dalam upaya “melawan terorisme” dan membuat pernyataan yang mendukung hak-hak minoritas. Hal terakhir ini penting mengingat pertempuran sektarian yang melibatkan pasukan pro-pemerintah dan kelompok-kelompok minoritas setelah jatuhnya al-Assad.
Pernyataan al-Syaraa ini bernada sama seperti negara-negara kolonial lainnya di kawasan ini, yang berusaha hidup berdampingan dengan tatanan regional dan internasional serta mencari perdamaian, bukan jihad untuk membebaskan negeri dan meninggikan agama Allah. Semuanya demi menyenangkan Amerika, Eropa dan para pengikutnya di kawasan. Dengan itu, mereka berharap akan tetap berada di kursi kekuasaan. Mereka tidak lagi peduli dengan murka Allah dan orang-orang yang beriman.
Alhasil, atas nama pemulihan ekonomi, penguasa komprador itu telah mendanai kehancuran umatnya sendiri. Ini jelas adalah kekalahan politik secara terang-benderang dan kemenangan bagi AS dan sekutunya. Kekayaan kita telah terkuras dan diubah menjadi senjata. Bom yang menghancurkan kota-kota kita dibeli dengan sumber daya kita sendiri. Para penguasa ini memungkinkan kehancuran kita. Mereka membelenggu tentara kita, menghalangi kemajuan kita dan menjarah kekayaan kita. Mereka tidak netral. Mereka terlibat sepenuhnya menjadi peserta yang bersedia dalam kematian dan kehancuran kita.
Idealisme yang Tergelincir
Sudah banyak contoh idealisme yang tergelincir karena uang dan janji memikat pembangunan ekonomi kapitalistik. Contohlah Taliban. Beberapa tahun telah berlalu sejak Amerika meninggalkan Afganistan dan Taliban mengambil alih kekuasaan di negara itu. Pilihan yang diambil Taliban untuk menerima bantuan ekonomi kapitalistik telah semakin menjerumuskan Afganistan pada posisi yang memalukan dan kalah. Rakyatnya masih terbelenggu dengan kemiskinan, malnutrisi dan kebodohan. Yang paling parah, pada akhirnya Taliban hanya berkutat pada hukum-hukum penjajah dan tatanan dunia Taghut (lalim). Alih-alih mendeklarasikan kebangkitan Negara Islam (Khilafah Islam) dan membawa cahaya Islam ke seluruh dunia.
Ahmad al-Syaraa memang berpengalaman melawan AS, Perancis dan Rusia sekaligus dengan jihad. Namun, kini setelah memimpin secara politik, sikap perlawanan itu justru memudar. Sebaliknya, sikap pragmatis seperti Taliban justru ditunjukkan al-Syaraa dengan dalih menyelamatkan ekonomi 20 juta rakyat Suriah, yang seperempatnya hidup di tenda-tenda pengungsian selama sepuluh tahun.
Padahal yang lebih dibutuhkan oleh rakyat Suriah dan negeri-negeri Islam lainnya saat ini adalah perubahan yang menyeluruh dan mendasar (inqilaabiyyah), bukan sekadar pemulihan ekonomi dengan rezim yang berganti. Perubahan tersebut harus mencakup pemimpin dan sistem, yakni mengganti sistem sekuler yang selama ini menjadi jalan penjajahan negara-negara kafir di Suriah. Perubahan yang hakiki ini tentu harus didasarkan pada Aqidah Islam yang dianut oleh umat Islam di Suriah. Perubahan mendasar berdasarkan Islam ini membutuhkan Negara Khilafah sebagai institusi politik yang akan mempersatukan umat Islam, menerapkan seluruh syariah Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Sikap Seharusnya
Untuk itu, umat Islam di seluruh dunia, khususnya di Suriah, penting untuk mendengar dan mengikuti seruan Hizbut Tahrir terkait dengan perubahan di Suriah. Dalam nasyrah yang diterbitkan Hizbut Tahrir pada tanggal 21 Desember 2024 M/19 Jumada ats-Tsaniyah 1446 H, ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan, antara lain menyerukan umat Islam untuk menegakkan Khilafah di Suriah:
“Wahai kaum Muslim, umumnya dan warga Suriah khususnya. Sungguh satu-satunya sistem yang difardhukan oleh Allah SWT dan diterapkan oleh Rasul-Nya serta Khulafaur Rasyidin adalah pemerintahan berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan secara bersih dan murni; tidak terkena cacat; tidak dicampur dengan sistem lainnya; tidak mencampuradukkan kebaikan dengan keburukan; tidak menerapkan sebagian dari Islam dan sebagian dari sekularisme. Hanya pemerintahan dengan sistem Al-Khilâfah ar-Rasyiidah tanpa fragmentasi.”
Poin penting lainnya, Hizbut Tahrir menyerukan kepada umat Islam di Suriah untuk bersungguh-sungguh menolak intervensi negara-negara kafir penjajah dan menolak tawaran sekularisme mereka. Dalam selebaran tersebut disebutkan:
“Kerahkanlah segenap daya-upaya dalam menggagalkan solusi-solusi politik sekuler dan rusak yang diinginkan oleh kaum kafir penjajah dan agen-agen mereka. Jangan sia-siakan pengorbanan Anda dalam peristiwa-peristiwa itu sehingga menjadi jejak sekejap! Tolonglah Hizbut Tahrir yang berjuang untuk menegakkan kembali pemerintahan Islam, Al-Khilâfah ar-Râsyidah, sehingga untuk Anda ganjaran yang besar dan keberuntungan yang agung dengan izin Allah. Berikutnya Anda menjadi orang-orang yang berhak mendapat kabar gembira: Pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya).”
Allah SWT berfirman:
Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim sehingga kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (QS Hud [11]: 113).
WalLâhu a’lam. [Dr. Fika Komara]