Siyasah Dakwah

Khilafah: Pengendali dan Perisai Informasi

Hari ini adalah era keberlimpahan informasi. Digitalisasi media dan informasi sebagai bagian dari globalisasi kapitalisme telah mempengaruhi tatanan geopolitik dunia, termasuk Dunia Islam. Keberadaan industri media saat ini di era informasi memiliki pengaruh yang begitu kuat pada mental dan pikiran manusia di seluruh dunia, bahkan telah melampaui pengaruh tentara dan senjata dalam pergolakan pikiran dan budaya di tanah kaum Muslim.

Demikian strategisnya media, memanipulasi media disamakan dengan efek kerusakan yang timbul akibat meracuni suplai air bersih di suatu wilayah. “Manipulating the media is akin to poisoning a nation’s water supply – it affects all of our lives in unimaginable ways.” (Lance Morcan).

Kekuatan media dan informasi yang luar biasa ini telah menimbulkan ancaman bagi semua ideologi, budaya dan peradaban, termasuk Islam. Dapat dibayangkan bagaimana jika kekuatan kebijakan media yang mengikuti perkembangan teknologi terkini berada di bawah naungan Negara Khilafah Rasyidah. Bayangkan seberapa efektif dan berpengaruhnya hal itu ketika itu berasal dari Akidah Islam dan keagungan syariah Islam yang bersumber dari Tuhan semesta alam. Tentu Islam akan mengatur strategi informasi menjadi kebijakan media yang kuat, efektif dan disiplin. Kekuatannya berasal dari kekuatan ideologi yang menjadi landasannya dan kekuatan negara yang menganutnya. Ini terutama karena media merupakan salah satu institusi dan pilar Negara Khilafah.

 

Media di Bawah Kapitalisme

Realitas perkembangan media terkini dapat dibagi menjadi dua gelombang tren. Pada pertengahan menjelang akhir pada abad ke 20, tradisi jurnalisme berkembang dengan pola-pola kapitalistik yang dikenal dengan sebutan ‘konglomerasi media’. Para elit kuasa media yang menguasai banyak kantor berita, saluran TV dan grup-grup media telah beroperasi dan menanamkan investasinya lintas benua. Tren pertama ini berkontribusi dalam membanjiri masyarakat dengan nilai-nilai Barat yang rusak dan rendah. Nilai-nilai ini termasuk materialisme, mendorong pelanggaran terhadap perintah Allah SWT dengan membangun hubungan terlarang antara laki-laki dan perempuan serta merendahkan kehormatan perempuan. Semua atas nama kebebasan.

Di dalam percaturan opini publik, Adian Husaini1 mengungkap bahwa masalah pokoknya adalah masyarakat menerima fakta dari pers kapitalistik bukan sebagaimana adanya. Namun,  apa yang mereka anggap sebagai fakta ternyata bermuatan nilai-nilai Barat. Alhasil jaringan konglomerasi media sangat efektif menjadi alat penjajahan pemikiran ala Barat.

Gelombang tren berikutnya terjadi pada abad 21. Dikenal dengan tren digitalisasi seiring dengan munculnya revolusi industry 4.0, teknologi big data dan artificial intelligence yang mengubah peta percaturan media. Tren kedua ini pada awalnya sempat mengancam eksistensi jaringan lama media massa (yang sudah eksis sejak tren pertama) akibat hadirnya new media, yakni sosial media dan mesin pencari Google. Tradisi jurnalisme terkalahkan dengan adagium digital bahwa “setiap orang adalah sumber sekaligus wartawan bagi dirinya sendiri”. Jika demikian lantas apa arti profesi jurnalis?2 Ironisnya meski sempat menjadi oposisi media konvensional, keberadaan media baru ini juga dibentuk oleh pola-pola kapitalistik untuk melakukan manipulasi opini. Perbedaannya adalah kekuatan teknologi yang dimanfaatkan oleh para kapitalis dengan algoritma yang mampu menyetel pikiran, perasaan dan perilaku pengguna internet dan sosial media, termasuk melakukan pengintaian digital secara massal.

Kedua gelombang tren media kapitalistik ini sama-sama merusak dan berbahaya. Keduanya juga sangat efektif menancapkan pengaruh penjajahan Kapitalisme ke negeri-negeri Muslim. Semua ini bermuara pada lemahnya peran negara di tanah kaum Muslim. Korporasi media dan platform digital asing diberi karpet merah beroperasi di negeri Muslim. Mereka bebas dan leluasa bergerak menjadikan umat Islam sebagai target dan pangsa pasar kapitalis.

 

Negara sebagai Perisai Informasi

Negara Islam tidak dapat membiarkan perusahaan media swasta (apalagi asing) bebas membentuk opini publik di tengah-tengah masyarakat Muslim untuk kepentingan ideologi asing. Informasi merupakan hal yang penting untuk dakwah Islam dan Negara. Dengan demikian media terhubung secara langsung dengan Khalifah sebagai lembaga yang independen. Sama seperti lembaga negara Khilafah lainnya, seperti peradilan atau Majelis Umat. Negara Khilafah akan secara aktif mendukung media dalam memainkan perannya untuk membantu mengelola urusan warganya dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh umat manusia.

Dalam perspektif politik media Islam, negara berperan sentral sebagai:

  • Junnah/perisai yang akan melindungi ideologi dan ajaran Islam dari bahan olokan dan hinaan,
  • Filter informasi dari yang informasi yang tidak penting, sampah bahkan merusak,
  • Corong informasi Islam bagi dunia dalam negeri maupun luar negeri. Ini karena Negara Khilafah akan memposisikan media massanya untuk melayani ideologi Islam.

 

Dalil akan sentralnya peran Negara dipandu langsung dari al-Quran. Allah SWT berfirman:

وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ ٨٣

Jika sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) jika mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentu orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri) (QS an-Nisa’ [4]: 83).

 

Syariah Islam mengharuskan Negara agar mengadopsi strategi informasi yang spesifik dalam memaparkan Islam dengan pemaparan yang kuat dan membekas. Hal ini diharapkan akan mampu menggerakkan akal manusia agar mangarahkan pandangannya pada Islam serta mempelajari dan memikirkan muatan-muatan Islam. Strategi informasi ini di dalam Daulah Khilafah dijalankan fungsinya oleh Instansi Penerangan. Dalam Pasal 103 Draft Konstitusi Khilafah yang disusun oleh Hizbut Tahrir disebutkan:

“Instansi penerangan adalah direktorat yang menangani penetapan dan pelaksanaan politik penerangan Daulah demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Di dalam negeri untuk membangun masyarakat islami yang kuat dan kokoh, menghilangkan keburukannya, dan menonjolkan kebaikannya. Di luar negeri untuk memaparkan Islam dalam kondisi damai dan perang dengan pemaparan yang menjelaskan keagungan Islam dan keadilannya, kekuatan pasukannya; juga menjelaskan kerusakan sistem buatan manusia dan kezalimannya serta kelemahan pasukannya.”

 

Media massa (wasâ’il al-i’lâm) bagi Negara Khilafah dan kepentingan dakwah Islam mempunyai fungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam (khidmat al-mabda’ al-islâmi) baik di dalam maupun di luar negeri. Hizbut Tahrir telah mengadopsi dalam bukunya, Rancangan Undang-Undang Dasar Khilafah, bahwa pada saat pembentukan negara:

“Sebuah undang-undang yang diterbitkan  akan menunjukkan pedoman umum kebijakan informasi Negara, sesuai dengan aturan Ilahi. Negara akan mengikuti kebijakan tersebut untuk melayani kepentingan Islam dan Muslim; juga untuk membangun masyarakat Islam yang kohesif dan kuat, yang berpegang pada jubah Allah, dan dari mana dan di mana kebaikan bersinar. Tidak akan ada tempat di dalamnya untuk pikiran-pikiran yang jahat dan bejat. Juga tidak akan ada tempat untuk budaya-budaya yang salah dan sesat. Ini akan menjadikan masyarakat Islam menolak kejahatannya dan memancarkan kebaikannya, dan merayakan pujian kepada Allah, Rabb semesta alam.”

 

Peran Negara sebagai filter informasi juga ditunjukkan oleh dalil dari as-Sunnah, melalui hadis penuturan Ibn Abbas ra. mengenai Pembebasan Makkah yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam Al-Mustadrak. Di dalam hadis itu dinyatakan: Sungguh, tidak ada kabar sama sekali bagi orang-orang Qurays. Karena itu tidak ada kabar kepada mereka tentang Rasulullah saw., dan mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh beliau.

 

Jenis Informasi dan Peran Media Swasta

Media adalah alat/sarana untuk menyediakan berita, informasi, pengetahuan dan tsaqaafah yang membantu mereka untuk membentuk opini publik yang benar tentang suatu kejadian atau masalah melalui berbagai cara (cetak, audio, visual dan elektronik) untuk mempengaruhi mentalitas atau naluri orang biasa. Jadi, kebijakan media dalam Islam adalah menghubungkan urusan media dengan prinsip hukum syariah dan mengurusnya atas landasan syariah. Artinya, Islam menentukan sifat informasi, nilai (tsaqaafah) dan pengetahuan yang dipublikasikan media kepada masyarakat. Juga menentukan maksud dan tujuan pemberitaan, penyiaran, pemblokiran dan sindiran mereka, sesuai dengan waktu dan media yang tepat.

Dalam konteks itulah secara strategis, informasi dikelompokkan menjadi dua grup besar, yakni informasi yang berkaitan dengan Negara dan informasi yang tidak berhubungan langsung dengan Negara. Pengaturan Islam dan pengarahan negara pun berbeda untuk kedua jenis informasi ini.

Atas dasar ini Lembaga Penerangan wajib meliputi dua jawatan utama. Pertama: Jawatan yang bertugas mengurusi informasi yang berkaitan dengan negara, seperti masalah-masalah kemiliteran, industri militer, hubungan internasional dan sebagainya. Tugas jawatan ini adalah mengontrol secara langsung informasi-informasi semisal ini. Informasi-informasi jenis ini tidak boleh dimuat di media resmi negara ataupun media swasta kecuali setelah diajukan kepada Lembaga Penerangan (dan mendapat persetujuan).

Kedua: Jawatan yang dikhususkan mengurusi informasi-informasi jenis yang lain—yang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan Daulah, juga bukan informasi yang menuntut pendapat Khalifah secara langsung dalam masalah tersebut—misalnya informasi keseharian, program-program atau acara-acara politik, pemikiran dan sains, serta informasi tentang peristiwa-peristiwa dunia. Kontrol jawatan ini terhadap informasi-informasi tersebut dilakukan secara tidak langsung. Media resmi Negara atau media swasta tidak memerlukan izin untuk menyebarkan informasi tersebut.

Selain keberadaan jawatan Instansi Penerangan, tetap dibutuhkan pula masyarakat yang memiliki kemampuan literasi media yang memadai. Literasi media pada individu dan masyarakat juga harus dibarengi peran Negara, dengan menyaring informasi rusak yang membahayakan nilai dan ideologi Negara, jangan diserahkan begitu saja ke individu-individu audiens yang menonton berita. Perpaduan literate citizen/netizen dengan fungsi Negara yang penuh akan membentuk peradaban yang bersih dan luhur.

Partisipasi masyarakat dalam literasi media ditunjukkan dengan keberadaan media swasta yang diberi ruang untuk tumbuh subur dalam masyarakat Islam. Selama mematuhi rambu-rambu syariah maka keberadaan media swasta adalah bagian penting dalam penerapan syariah Islam yang sehat, yakni kontrol sosial melalui dakwah dan amar makruf nahi mungkar.

Dalam kitab Masyrû’ Qânûn Wasâ’il al-I’lâm fî Dawlah al-Khilâfah (RUU Media Massa dalam Negara Khilafah), Syaikh Ziyad Ghazzal menguraikan lebih detail soal pengaturan media massa dalam Negara Khilafah. Salah satunya adalah mengenai hak publik. Menurut Ghazzal, setiap individu rakyat berhak untuk menyampaikan sesuatu kepada publik melalui berbagai plaform media. Hak ini diakui syariah berdasarkan dalil-dalil yang mewajibkan atau mensunnahkan untuk menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang-terangan. Banyak dalil dikemukan oleh Syaikh Ghazzal, misalnya tindakan Ibnu Abbas yang secara terang-terangan mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Diceritakan oleh Ikrimah bahwa Ali bin Abi Thalib telah membakar orang-orang zindiq yang murtad sebagai hukuman atas mereka. Dalil-dalil itu menunjukkan adanya hak umat untuk menyampaikan sesuatu kepada publik secara terbuka lewat media massa.

Bahkan jika dilihat dari lensa yang lebih makro, eksisnya media swasta menjadi indikator literasi dan partisipasi umat yang terpancar dari kesadaran politik Islam dalam menegakkan syiar Islam di ruang publik. Namun, hak ini diatur dengan sejumlah kewajiban dan syarat tertentu. Salah satunya adalah pemilik media dan pemimpin redaksi ini haruslah warga negara Khilafah. Sebab, kewarganegaraan (tâbi’iyah) itulah yang melahirkan hak dan kewajiban sebagai warga negara, termasuk hak menerbitkan media massa (pasal 5 & 6).

Jika kemudian hak ini disalahgunakan untuk menyebarkan ide-ide batil atau melanggar syariah Islam, siapa yang bertanggung jawab? Syaikh Ghazzal menerangkan dalam Pasal 7, yang bertanggung jawab terhadap seluruh isi media adalah pemimpin redaksi dan wartawan atau penulis artikelnya secara langsung. Jadi, wartawan kedudukannya sama dengan warga negara lain. Tidak diistimewakan atau mempunyai privilege tertentu yang membuatnya berbeda dengan warga negara biasa (Pasal 9). Ini sangat berbeda dengan wartawan Barat, yang sering tidak mau bertanggung jawab dengan dalih “kebebasan pers” atau merasa kebal hukum karena media massa sudah dianggap pilar keempat dalam sistem demokrasi.

Kantor berita asing (seperti Reuter, AFP) atau perwakilan media asing (seperti perwakilan BBC) harus mendapat izin dari Departemen Dalam Negeri. Departemen ini juga yang berhak membekukan atau mencabut izin suatu kantor berita atau perwakilan media asing (Pasal 10). Produk cetak dari luar negeri yang masuk lewat jalur perdagangan seperti majalah atau koran, harus mendapat izin Qadhi Hisbah (Pasal 11).

Namun, andaikata pemimpin redaksi atau wartawan suatu media diadili dan dipenjara, tak berarti medianya otomatis dibekukan atau dihentikan. Sebabnya, media hanya dapat dibekukan atau dihentikan dalam satu keadaan, yaitu jika pemilik media bukan lagi warga negara Khilafah (Pasal 12).

Hukum-hukum syariah Islam harus dipatuhi dalam segala bentuknya, mulai dari berita dan berita terkini hingga dokumenter dan feature, serta media cetak dan elektronik. Juga akan dipastikan bahwa hukum-hukum Islam dipatuhi dan sistem sosialnya ditegakkan di dalam organisasi media selama publikasi informasi.

Namun, ini bukan berarti media swasta tidak bisa berkembang. Justru Khilafah akan mendukung dan membimbing media-media swasta selama ia didirikan oleh warga negara Daulah (bukan warga negara asing). Di dalam Rancangan Undang-Undang Dasar, Hizbut Tahrir mengadopsi, Pasal 104:

Media informasi yang dimiliki warga negara tidak memerlukan izin. Ia hanya memerlukan pemberitahuan dan dikirimkan ke Direktorat Penerangan. Direktorat diberitahu oleh media informasi yang didirikan. Pemilik dan pemimpin redaksi media itu bertanggung jawab terhadap semua isi informasi yang disebarkan. Ia akan dimintai tanggungjawab terhadap setiap bentuk penyimpangan syar’i seperti individu rakyat lainnya.

 

Bentuk dukungan finansial pun akan diberikan oleh Khilafah. Ini karena media swasta adalah sebuah bisnis yang sering memerlukan modal besar seperti mendirikan studio televisi/ radio dan mesin cetak. Khilafah akan membantu permodalan selama perusahaannya memenuhi syarat untuk fasilitas kredit dari perbendaharaan negara dalam bentuk pinjaman atau hibah tanpa bunga dari Baitul Mal.

 

WalLâhu a’lam. [Dr. Fika Komara]

 

Catatan Kaki:

1        Adian Husaini, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, Gema Insani Press, 2002

2        Agus Sudibyo, Jagat Digital: Penguasaan dan Pembebasan, Gramedia, 2019

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 1 =

Back to top button