Hiwar

Ustadz Dwi Condro Triono, Ph.D: Krisis Ekonomi Global Bersifat Siklik

Pengantar Redaksi:

Benarkah dunia saat ini dalam ancaman krisis global yang parah? Apa tanda-tanda/indikatornya? Mengapa krisis dunia terus berulang? Bahkan semakin cepat pengulangannya? Apa akar penyebabnya? Bagaimana pula seharusnya peran negara dan umat menurut Islam dalam menghasdapi krisis ekonomi global? Itulah di antara sejumlah pertanyaan yang disampaikan oleh Redaksi kepada Ustadz Dwi Condro Triono, Ph.D. Berikut ini jawaban dan penjelasan beliau.

 

Benarkah dunia saat ini dalam ancaman krisis global yang parah?

Ya, betul. Dunia saat ini sedang menghadapi ancaman krisis ekonomi global yang parah.  Mengapa? Saat dunia baru saja merangkak-rangkak untuk bisa terbebas dari malapetaka pandemi Covid-19, ia langsung diterpa dengan imbas perang besar antara Ukraina melawan Rusia. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh memperparah situasi ekonomi secara global.

Menurut laporan Bank Dunia, tentang Prospek Ekonomi Global, prediksinya diproyeksikan akan terus melambat menjadi 2,9% pada tahun 2022. Angka itu lebih rendah dari proyeksi Januari sebesar 4,1%. Jika dibandingkan dengan tahun 2021, ternyata jauh melambat. Tahun 2021 lalu ekonomi global bertumbuh 5,7%.

Inflasi yang tinggi juga menjadi alasan di balik terkikisnya pertumbuhan ekonomi global. Menurut Bank dunia, tingkat inflasi harga konsumen pada bulan April berada di 7,8% yoy, tertinggi sejak 2008. Rata-rata inflasi di negara berkembang mencapai 9,4% yoy, tertinggi sejak 2008. Negara maju inflasinya sebesar 6,9% yoy, tertinggi sejak 1982.

 

Apa tanda-tanda/indikatornya?

Indikatornya adalah terjadinya stagflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi dunia yang mengalami pelambatan, diiringi dengan inflasi yang tinggi. Penyebab dari tingginya inflasi adalah tingginya harga komoditas. Harga komoditas energi naik tinggi karena pasokan langka akibat pandemi dan diperparah oleh konflik Rusia dan Ukraina. Begitu juga dengan komoditas bahan pangan yang saat ini harganya makin tidak terjangkau. Akibatnya, aksi proteksionisme pangan bermunculan di berbagai negara. Inilah yang semakin membuat masalah rantai pasokan pangan ini makin kusut dan rumit.

Selain itu, krisis kargo juga membuat harga pengiriman barang-barang semakin mahal. Gangguan di pelabuhan utama Asia, juga penguncian di kota-kota utama di Cina seperti Beijing dan Shanghai selama dua bulan, semakin membuat pengiriman barang-barang menjadi tersendat dan macet. Peperangan Rusia-Ukraina juga turut andil dalam memperbesar kemacetan logistik dari yang sudah ada sebelumnya. Rusia dan Ukraina adalah pemasok komoditas energi dan pangan besar dunia. Karena itu ketika pasokan dari kedua negara ini mengalami gangguan, dampaknya akan langsung bisa dirasakan oleh negara-negara di seluruh dunia ini.

 

Menurut rilis Bloomberg, ada sekian negara yang terancam resesi global. Bagaimana dengan Indonesia saat ini?

Kondisi Indonesia sebenarnya tidak berbeda dengan kondisi ekonomi dunia. Akibat dari meningkatnya inflasi skala global, telah menyebabkan reaksi yang lebih cepat dalam pengetatan kebijakan moneter di seluruh dunia. Contohnya, Bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserves/The Fed) secara agresif telah meninggalkan era suku bunga rendah. Bulan lalu, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% – 1%. Kemudian diperkirakan pada bulan ini, kenaikan suku bunga akan konstan di 50 basis poin.

Kenaikan suku bunga ini jelas akan memicu apresiasi dolar AS terhadap mata uang negara berkembang yang lebih besar, termasuk Indonesia tentunya. Hal ini membuat pembayaran utang dengan dolar jauh lebih besar nilainya. Kondisi inilah yang mengakibatkan beban utang Luar Negeri Indonesia akan semakin berat.

 

Bagaimana krisis dunia bisa membuat “hancur” Sri Lanka? Apa faktor penyebabnya?

Penyebab utama Sri Langka “bangkrut” adalah karena sudah terjebak dalam debt trap (jebakan utang). Sri Lanka mengalami gagal bayar utang luar negeri yang nilainya lebih dari Rp 700 triliun. Angka DSR (Debt Service Ratio) Sri Langka sudah mencapai 40%. Cadangan devisanya turun menjadi sekitar US$1,6 miliar (sekitar Rp 22,8 triliun) pada akhir November 2021. Cadangan devisa sebesar itu hanya cukup untuk membayar impor selama beberapa minggu saja. Salah satu utang terbesarnya adalah utang ke Cina, yang semakin menumpuk hingga melampaui US$5 miliar (Rp71,7 triliun). Utang itu kebanyakan digunakan untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, yaitu untuk membangun jalan, bandara dan pelabuhan.

Kondisi itu telah memicu terjadinya inflasi yang tinggi (lebih dari 50%). Akibatnya, terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok yang meroket sangat tajam, dilakukan pemadaman listrik, kelangkaan bahan bakar, banyak rumah sakit kehabisan obat-obatan dan persedian penting kesehatan, masyarakat mengalami kesulitan mendapatkan bahan bakar kendaraan dan juga gas untuk memasak dan sekolah-sekolah pun ditutup karena tidak ada transportasi.

 

Akankah Indonesia berpotensi mengalami hal yang sama dengan Sri Lanka?

Secara makro ekonomi, memang ada kesamaan kondisi yang dialami Indonesia dengan Sri Langka. Terutama beban utang Indonesia yang sudah sangat tinggi (menembus 7000 triliun rupiah). Beban cicilan utang yang harus dibayar oleh APBN tahun 2022 ini, untuk cicilan utang pokoknya saja sudah sebesar 443 triliun, sedangkan cicilan bunga utangnya sebesar 405 triliun rupiah (totalnya 848 triliun rupiah). Besarnya cicilan utang itu membuat angka DSR Indonesia sudah hampir menyamai DSR Sri Langka, yaitu sebesar 40%.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah menembus 15.000 rupiah perdolar AS. Ini tertu menjadi tanda lampu merah bagi perekonomian Indonesia.

Namun demikian, pertanyaannya: mengapa Indonesia tidak mengalami krisis yang berat seperti Sri Langka? Ternyata, Indonesia masih diuntungkan dengan neraca perdagangan yang surplus, karena ditopang oleh komoditas yang harganya meningkat sangat tinggi, terutama batubara dan kelapa sawit. Indonesia mengalami net-exporter CPO sawit dan juga net-exporter  terbesar untuk batubara. Kondisi inilah yang sangat menolong ekonomi Indonesia dari terjadinya krisis besar.

 

Lalu apa penyebab krisis ekonomi dunia?

Sebenarnya, krisis ekonomi dunia itu akan senantiasa rutin terjadi secara berulang-ulang. Krisisnya bersifat siklik, sebagaimana yang mereka sebut dengan istilah gelombang konjunktur. Mengapa? Sebabnya, ekonomi dunia saat ini berjalan mengikuti alur tatanan ekonomi yang bercorak kapitalistik. Corak utama ekonomi ini adalah basis utama penggerak ekonominya sangat bertumpu pada sektor non riil, yaitu ekonomi yang digerakkan oleh utang, bunga, spekulasi (perjudian) dan uang kertas.

Ekonomi yang bertumpu pada utang, bunga, spekulasi dan uang kertas inilah yang akan membuat ekonomi dengan mudahnya tumbuh, berkembang dan bahkan terus menggelembung. Namun, isinya seperti balon udara yang kosong (economic bubble), yang sewaktu-waktu dapat meledak dan hancur berkeping-keping. Ledakan itulah yang kemudian disebut krisis ekonomi.

 

Mengapa krisis dunia terus berulang? Bahkan semakin cepat pengulangannya?

Jika dorongan utama pertumbuhan ekonomi dunia itu digerakkan oleh utang, bunga, spekulasi dan uang kertas maka lembaga-lembaga keuangan ribawi akan terus terpacu untuk menggelontorkan kreditnya, yang nilainya hampir tanpa batas. Mengapa? Karena uangnya adalah uang kertas. Mudah dan murah proses pencetakannya (fiat money). Keuntungan bunganya pun sudah bersifat pasti (fix rate).

Dorongan dari lembaga-lembaga keuangan ribawi inilah yang akan membuat banyak negara-negara berkembang itu seperti “dipaksa” untuk membuat proyek-proyek besar, khususnya di bidang infrastruktur, yang semuanya dibiayai dengan utang. Padahal proyek-proyek tersebut sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan oleh rakyat dan juga tidak menyentuh hajat kebutuhan hidup rakyat banyak. Fenomena ekonomi yang tumbuh dengan utang inilah, yang mereka sebut sebagai negara yang telah mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi.

Sebagaimana dalam teori gelombang konjunktur, setelah ekonomi negara itu tumbuh tinggi, cepat atau lambat negara tersebut mengalami kesulitan untuk membayar utang sekaligus bunganya yang terus membesar dan membesar, dengan skema bunga berbunga (bunga majemuk). Puncaknya, negara itu akhirnya akan terjebak dengan utang (debt trap) yang besar, kemudian akan mengalami gagal bayar. Selanjutnya, negara ini akan terjerumus dalam krisis ekonomi yang besar dan akan berakhir dengan kebangkrutan. Itulah yang disebut periode kejatuhan, sebagaimana yang dialami oleh di Sri Langka.

Jika negara tersebut ingin bangkit dan memulihkan ekonominya, maka negara ini akan disuntik dengan utang dan utang lagi sehingga dapat tumbuh kembali, mencapai puncak, kemudian akan jatuh lagi. Demikian seterusnya. Jika skala utangnya semakin besar, maka secara logika, periode kejatuhannya juga akan semakin cepat.

 

Apa dampak berulangnya krisis bagi dunia?

Secara sunnatullah, krisis ekonomi yang berulang-ulang akan selalu membawa korban. Biasanya korbannya adalah lapisan rakyat yang paling lemah, paling bawah, yang jumlahnya paling banyak.

Namun, di sisi lain, krisis itu juga akan membawa keuntungan yang besar pada pihak-pihak tertentu, yang jumlahnya hanya beberapa gelintir saja. Mereka itulah kaum kapitalis yang telah merancang tatanan ekonomi dunia akan terus berjalan seperti ini dan mereka akan terus menikmati keuntungannya secara berlipat-lipat.

 

Bagaimana ekonomi Islam menciptakan ekonomi tanpa Krisis?

Ekonomi Islam menghendaki ekonomi berjalan bertumpu pada sektor riil saja, yaitu sektor perdagangan, industri, pertanian dan investasi (syirkah). Islam secara tegas mengharamkan aktivitas perekonomian sektor non riil.

Pengembangan ekonomi di sektor riil akan menghasilkan pertumbuhan yang hakiki, bukan pertumbuhan ekonomi yang semu. Pertumbuhan ekonomi hakiki adalah tumbuhnya produksi barang dan jasa yang secara riil memang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan kebutuhan semu yang didorong oleh nafsu utang-piutang.

 

Bagaimana peran Negara dan rakyat dalam mengokohkan sistem ekonomi?

Dalam Islam, negara memiliki peran yang paling penting dalam menegakkan aturan-aturan ekonomi Islam, agar ditaati dan diikuti oleh seluruh lapisan rakyatnya. Rakyat dengan kesadaran keimanannya akan dengan penuh keikhlasan menjalankan aktivitas ekonomi sesuai aturan syariah yang telah diterapkan oleh negara.

Negara dan rakyat harus saling membantu, saling menjaga, mengontrol, mendukung, mengoreksi bagi terlaksanakannya aturan ekonomi agar dapat terus berjalan sesuai dengan koridor syariah Islam.

 

Apa peran masyarakat dalam upaya mengopinikan dan menegakkan ekonomi Islam?

Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dan strategis untuk senantiasa mendakwahkan, mensosialisasikan, mengopi-nikan ekonmi Islam, baik yang ditujukan kepada sesama anggota masyarakat, maupun kepada negara. Tentu agar muncul kesadaran umum di tengah masyarakat akan wajibnya penerapan syariah Islam, termasuk di dalamnya adalah ekonomi Islam, yang Insya Allah akan membawa rahmat bagi alam semesta. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × three =

Back to top button