Perjuangan HTI di PTUN (Sebuah Catatan Hukum)
Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) telah diajukan Oleh Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melawan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Cq. Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum (Kemenkumham). Gugatan terdaftar dalam Register Perkara No. 211/G/2017/PTUN.JKT. Gugatan yang diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta ini telah memasuki tahap akhir. Proses jawab-jinawab, pengajuan bukti-bukti dan saksi-saksi, pengajuan leterangan para ahli, telah selesai. Pada tahap akhir, para pihak diminta mengajukan kesimpulan terhadap keseluruhan proses persidangan.
Objek Sengketa di PTUN adalah penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berupa Surat Keputusan Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia. SK tersebut diterbitkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Cq. Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum pada tanggal 19 Juli 2017.
Gugatan di PTUN Jakarta ini berfungsi untuk menguji keabsahan status Putusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dalam hal ini dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Cq. Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum. Sengketa Tata Usaha Negara ini substansinya mengadili perkara administrasi, khususnya untuk menilai sah tidaknya status pencabutan Badan Hukum Perkumpulan HTI. Jadi, bukan terkait status Pembubaran HTI, bukan pula terkait dengan status pelarangan HTI.
Dinamika Persidangan
Dalam memeriksa dan mengadili Perkara di PTUN, umumnya proses persidangan akan melihat status keabsahan suatu putusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) dari 3 (tiga) aspek. Pertama, aspek kewenangan. Pengadilan akan memeriksa apakah Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN memiliki wewenang untuk mengeluarkan KTUN, baik melalui kewenangan Atributif (melekat), delegatif (pendelegasian) dan kewenangan mandat (kuasa).
Kedua, aspek prosedur. Dalam aspek prosedur, pengadilan akan memeriksa perkara atas keputusan TUN yang dikeluarkan pejabat atau badan TUN untuk menilai apakah penerbitan KTUN telah memenuhi prosedur dan tata cara yang berlaku, baik berdasarkan peraturan perundangan atau berdasarkan peraturan internal Pejabat atau Badan TUN yang mengeluarkan KTUN.
Ketiga, aspek substansi. Dalam hal ini, Pengadilan akan memeriksa apakah KTUN telah dikeluarkan berdasarkan norma, kaidah dan asas yang benar. Dengan kata lain, pengadilan akan memeriksa apakah keputusan TUN yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat TUN telah memenuhi asas-asas umum Pemerintahan yang baik. Pengadilan akan memeriksa apakah KTUN yang dikeluarkan memenuhi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaran negara, asas kepentingan umum, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.
Sejak penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 2 Tahun 2017 (Perppu No. 2 tahun 2017) yang kemudian oleh DPR-RI disahkan menjadi UU No. 16 tahun 2017, Pejabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Cq. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum menjadi memiliki wewenang untuk mengeluarkan KTUN Tentang Pencabutan Status Badan Hukum Perkumpulan HTI. Perubahan ketentuan pasal 61 ayat (3) huruf b UU Ormas sebagamana diatur dalam UU No. 16 tahun 2017 memberikan wewenang kepada Menteri di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melakukan tindakan pencabutan Status Badan Hukum Ormas tanpa melalui Pengadilan.
Padahal menurut ketentuan UU Ormas sebelum diubah melalui Perppu Ormas, Pencabutan Status Badan Hukum Ormas hanya bisa dilakukan berdasarkan suatu Keputusan Hukum dari Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap (putusan kasasi). Pasal 68 ayat (2) menyebut dengan tegas pemberian sanksi dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Dalam ketentuan pasal 68 ayat (3) ditegaskan, pencabutan status badan hukum Ormas dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Pasca penerbitan Perppu Ormas, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia mendapatkan wewenang atributif untuk mencabut secara sepihak status pengesahan badan hukum Ormas (BHP HTI), tanpa proses pengadilan dengan dalih asas contrarius actus.
Betapapun hal ini ironis, faktanya Perppu Ormas telah memberikan otoritas (wewenang) pencabutan status badan Ormas secara sepihak kepada Pemerintah (Kemenkumham) tanpa melalui pengadilan. Dengan berbagai kontroversi dan banyaknya kritik atas hilangnya due proces of Law akibat penerbitan Perppu Ormas, faktanya Pemerintah menurut hukum berwenang secara sepihak mencabut status Badan Hukum HTI.
Namun jika ditinjau dari aspek prosedur dan substansi, keputusan TUN yang dikeluarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Cq. Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum yang mencabut status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) Ormas HTI memiliki banyak cacat. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan Pemerintah terlihat jelas oleh siapa saja yang mengikuti dan mengamati dengan seksama jalannya proses persidangan yang dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang beralamat Jl. Dr. Sumarmo, Jakarta.
Secara prosedur, baik melalui rezim UU Ormas atau tunduk menggunakan rezim Perppu Ormas (UU No. 16 tahun 2017, sanksi pencabutan status badan hukum Ormas harus didahului melalui pemberian sanksi administratif sebelum sanksi akhir berupa pencabutan status badan hukum ormas diterbitkan. Pencabutan status Badan Hukum Ormas bersifat Ultimum Remidium.
Jika merujuk UU Ormas lama (UU No. 17 Tahun 2013), pencabutan status badan hukum Ormas harus didahului dengan tindakan administratif berupa pemanggilan mediasi, pemberian sanksi atau peringatan tertulis (SP1-SP3), pembekuan sementara dengan merujuk fatwa Mahkamah Agung, baru kemudian pengajuan permohonan pencabutan status badan hukum di pengadilan untuk kemudian melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap. Lalu menteri terkait menerbitkan Surat Pencabutan Status BHP HTI (lihat pasal 60 s/d 82 UU Ormas).
Adapun jika merujuk Perpu Ormas (UU No 16 Tahun 2017), dalam ketentuan Pasal 62 disebutkan :
- Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
- Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan Tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggara-kan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
- Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewena-ngannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Sepanjang proses persidangan, terlihat jelas secara prosedur betapa Pemerintah tidak taat asas dan prosedur dalam mengeluarkan Keputusan pencabutan status badan hukum HTI. Dalam persidangan yang memakan waktu berbulan-bulan lamanya, tidak ada satu agenda pun dari agenda persidangan yang digunakan Pihak Kemenkumham untuk menghadirkan bukti adanya pemberian sanksi administrasi sebagai upaya pendahuluan sebelum akhirnya menegeluarkan sanksi administrasi pencabutan status BHP HTI.
Secara prosedur, Pemerintah (Kemenkum-ham) melanggar dua hal. Pertama: Pemerintah tidak pernah memanggil HTI atau minimal memberi tahu kepada HTI apa kesalahan yang telah dilakukan oleh HTI.
Dalam pengaturan UU Ormas, status Pencabutan Badan Hukum Ormas dapat diambil Pemerintah apabila Ormas tidak melaksanakan Kewajiban atau Ormas melakukan Pelanggaran atas larangan. Sepanjang persidangan, Pemerintah tidak pernah mengungkapkan adanya proses pemberitahuan atau telah memanggil HTI untuk diberitahu apa kesalahannya.
Kedua: Pemerintah juga tidak pernah menunjukan bukti administrasi atas kesalahan yang dilakukan HTI. Pemerintah tidak pernah mengeluarkan satu pun peringatan tertulis, baik merujuk ketentuan Pasal 61 ayat (1) atau menunjukan bukti sanksi administrasi berupa penghentian kegiatan, sebagaimana diatur dalam pasal 62 ayat (2).
Pemerintah tidak pernah mengajak diskusi, mediasi, dialog atau memberi peringatan, memberitahu ketidakpatuhan atas peringatan. Lalu sekonyong-konyong Pemerintah mengeluarkan KTUN yang mencabut status badan hukum Ormas HTI pada tanggal 19 Juli 2017. Padahal UU Ormas yang baru juga mengamanatkan kepada Pemerintah untuk tetap menjalankan fungsinya sebagai pelindung, pengayom dan pembina Ormas. Dalam hal adanya kesalahan Ormas, Pemerintah diberi kewajiban menurut UU untuk memberitahu kesalahan, menasihati dan membina Ormas dan mengeluarkan sanksi administrasi jika tidak bisa dibina; bukan sekonyong-konyong langsung mencabut status badan hukum suatu Ormas tanpa pemberitahuan dan tanpa bukti sanksi administrasi.
Adapun secara substansi, pencabutan status badan hukum Ormas tanpa pengadilan dan tanpa menunjukan kesalahan Ormas berikut bukti-buktinya menunjukkan pemerintahan yang diktator. Memang benar, dalih yang selalu disampaikan secara berulang-ulang yang dituduhkan Pemerintah kepada HTI adalah karena HTI dituding menganut, mengembangkan dan menyebarluaskan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila (Pasal 59 ayat 4 huruf c Perppu Ormas).
Persoalannya, secara substansi Pemerintah tidak mampu menunjukkan ajaran apa yang bertentangan dengan Pancasila? Jika kemudian ajaran yang dituduh adalah ide khilafah, padahal ide khilafah itu ajaran Islam, maka bukankah ini sama saja Pemerintah menuding ajaran Islam? Bukankah itu sama saja menuding seluruh kaum Muslim? Jahat sekali Pemerintah jika demikian.
Sampai saat terakhir hari sidang pun, tudingan substantif yang dialamatkan Pemerintah kepada HTI diambil dari peristiwa tahun 2013 dan kegiatan HTI yang lain sebelum terbitnya Perppu Ormas yang diundangkan 10 Juli 2017.
Pemerintah sepanjang persidangan tidak mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan HTI pada periode sejak Perppu diundangkan, yakni tanggal 10 Juli 2017 sampai dengan KTUN diterbitkan Pemerintah pada tanggal 19 Juli 2017. Dalam kurun waktu 9 (sembilan) hari ini, tidak ada satu pun kesalahan dan bukti administrasi atas kesalahan yang dihadirkan Pemerintah dalam proses persidangan.
Jika demikian faktanya, ini proses penegakan hukum murni atau sebuah operasi politik negara untuk mentarget Ormas? Jika niatnya mentarget Ormas HTI, maka diskusi hukum berbulan-bulan dan argumen menumpuk setinggi gunung tidak akan pernah ada nilainya. Proses persidangan yang berlangsung berbulan-bulan mudah saja untuk dikesampingkan.
Ekspektasi Putusan
Merujuk fakta objektif persidangan dimana pemerintah secara jelas terlihat mengabaikan aspek prosedur dan substansi dalam proses penerbitan Surat Keputusan Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, maka sulit bagi Majelis Hakim untuk menolak gugatan yang diajukan HTI.
Baik dalam pokok perkara maupun dalam penundaan, tidak ada alasan bagi Majelis Hakim untuk mengabulkan tuntutan (Petitum) HTI dan menyatakan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-00282.60.10.2014 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
Hanya saja, dinamika intervensi kekuasaan dalam ranah pengadilan di negeri ini jamak dan diketahui umum oleh publik. Karena itu penulis menghimbau kepada segenap anggota dan simpatisan HTI untuk siap dengan segala kemungkinan. Yang patut diyakini oleh segenap pengemban dakwah Islam, berhimpunnya umat dalam sebuah gerakan atau wadah organisai apapun bentuknya, untuk melaksanakan kegiatan amar makruf nahi munkar itu berasal dari perintah Allah SWT. Sepanjang Allah SWT tidak me-naskh (menghapus) hukum kewajiban berdakwah bersama jamaah, keputusan hukum apapun yang dikeluarkan penguasa zalim cukuplah untuk dikesampingkan.
Terakhir, tentu kita semua berharap pada majelis hakim dapat objektif menilai persoalan dan tidak dapat diintervensi oleh kekuatan apapun. Ditengah maraknya kebijkan zalim penguasa, umat Islam mendambakan keadilan yang dikeluarkan melalui putusaan pengadilan. Pada akhirnya, semua khalayak yang masih memiliki nalar dan nurani, pastilah akan objektif melihat persoalan dan mendukung perjuangan HTI untuk menegakkan Khilafah. [Ahmad Khozinudin, S.H.; Ketua Koalisi 1000 Advokat Bela Islam]