Meninggalkan Dakwah dan Jihad Sebab Kebinasaan
إِذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَتَبَايَعُوا بِالْعَيْنَةِ وَاتَّبَعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكُوا الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَنْزَلَ اللهُ بِهِمْ بَلاَءً فَلَمْ يَرْفَعْهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُرَاجِعُوا دِينَهُمْ
Jika manusia telah bakhil dengan dinar dan dirham, saling berjual-beli dengan cara al-‘aynah, mengikuti ekor-ekor lembu dan meninggalkan jihad di jalan Allah, maka Allah pasti menurunkan kepada mereka bencana. Lalu Allah tidak mengangkat bencana itu hingga mereka merujuk kembali agama mereka (HR Ahmad, ath-Thabarani dan al-Baihaqi).
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini dari al-Aswad bin Amir dari Abu Bakar, dari al-A’masy, dari Atha’ bin Abiy Rabah, dari Ibnu Umar. Hadis ini disahihkan oleh Ibnu al-Qathan.
Imam Ahmad juga telah meriwatkan hadis ini dari Yahya bin Abdul Malik bin Abi Ghaiyyah, dari Abu Janab, dari Syahr bin Hawsyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi saw. yang bersabda:
لَئِنْ تَرَكْتُمُ الْجِهَادَ وَأَخَذْتُمْ بِأَذْنَابِ الْبَقَرِ وَتَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ لَيُلْزِمَنَّكُمُ الله مَذَلَّةً فِى رِقَابِكُمْ لاَتَنْفَكُّ عَنْكُمْ حَتَّى تَتُوبُوا إِلَى اللهِ وَتَرْجِعُوا عَلَى مَا كُنْتُمْ عَلَيْهِ
Jika kalian meninggalkan jihad, mengambil ekor lembu dan saling berjual-beli dengan cara al-‘aynah, niscaya Allah melekatkan kepada kalian kehinaan di tengkuk kalian. Kehinaan itu tidak dilepaskan dari kalian sampai kalian bertobat kepada Allah dan kalian kembali pada keadaan awal kalian.
Imam Abu Dawud di dalam Sunan-nya dan Imam al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra juga meriwayatkan hadis serupa dari jalur Haywah bin Syuraih, dari Ishaq bin Abdurrahman al-Khurasani, bahwa Nafi’ menceritakan kepada dia dari Ibnu Umar ra. yang berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَايَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Jika kalian berjual-beli dengan cara al-‘aynah, mengambil ekor lembu, rela dengan tanaman dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah pasti menimpakan pada kalian kehinaan yang tidak Dia cabut sampai kalian kembali pada agama kalian.
Hadis riwayat Abu Dawud ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dan Imam Ibnu al-Qayyim.
Terkait hadis pertama riwayat Ahmad dan riwayat Abu Dawud, Ibnu al-Qayyim di dalam Tahdzîb Sunan Abî Dâwud wa Idhâh Musykilâtihi mengatakan, “Dua sanad ini hasan, saling memperkuat satu sama lain. Perawi yang pertama (hadis Imam Ahmad) adalah para perawi terkenal. Hanya saja, ditakutkan al-A’masy tidak mendengar hadis itu dari Atha’ atau Atha’ tidak mendengarnya dari Ibnu Umar. Sanad kedua: menjelaskan bahwa hadis tersebut punya asal yang mahfuzh dari Ibnu Umar. Atha’ al-Khurasani adalah tsiqah masyhur. Haywah demikian juga. Adapun Ishaq Abu Abdurrahman adalah seorang syaikh. Meriwayatkan dari Ishaq para imam Mesir semisal Haywah, Yahya bin Ayyub dan selain mereka.”
Alhasil, riwayat di atas minimal hasan—sebagian menyatakan hadis ini sahih—sehingga bisa dijadikan hujjah.
Makna Hadis
Sabda Rasul saw., “Idzâ dhanna an-nâsu bi ad-dînâr wa ad-dirhâm,” yakni jika manusia telah bakhil terhadap dinar dan dirham (harta) dan tidak membelanjakan hartanya itu dalam kebaikan.
Lalu tabda Rasul saw., “wa tabâya’û bi al-‘aynah,”, Abu Thayyib di dalam ‘Awn al-Ma’bûd mengatakan: Al-Jauhari mengatakan, al-‘ayn adalah as-salaf (utang). Al-Fayruz al-Abadi mengatakan di dalam al-Qâmûs: wa ‘ayyana adalah mengambil dengan al-‘aynah, yakni as-salaf (utang) yakni memberikannya. Seorang pedagang menjual barangnya dengan harga sampai tempo tertentu, kemudian ia membeli barang itu dari pembelinya itu dengan harga lebih rendah.
Ash-Shan’ani al-Amir di dalam Subûl as-Salâm mengatakan, “Jual-beli al-‘aynah adalah menjual barang dengan harga tertentu sampai tempo tertentu, kemudian dia membelinya dari pembeli itu dengan harga lebih rendah agar harga yang lebih banyak itu tetap dalam tanggugannya. Disebut ‘aynah karena perolehan al-‘ayn, yakni uang di dalamnya dan karena kepada penjual hartanya itu kembali lagi kepadanya. Di dalam hadis ini (hadits Abu Dawud) ada dalil atas pengharaman jual-beli ini.”
Potret jual-beli al-‘aynah ini, misalnya, A menjual sesuatu kepada B seharga 1 juta kontan. Lalu dia membeli sesuatu itu dari B seharga 1,5 juga secara kredit dengan tempo tertentu. Dengan begitu, A mendapat uang 1 juta dari B, sementara barangnya kembali lagi ke A, atau bahkan tetap di A sejak awal- dan A harus membayar 1,5 juta ke B setelah tempo yang disepakati.
Meski redaksi hadis di atas adalah redaksi berita, maknanya adalah larangan karena disertai celaan. Qarînah berupa ditimpakan bencana atau kehinaan menunjukkan larangan itu bersifat tegas. Dengan demikian model jual-beli al-‘aynah itu haram.
Lalu sabda Rasul saw., “mengikuti atau mengambil ekor lembu—dalam riwayat Abu Dawud ada tambahan ridha dengan pertanian—dan meninggalkan jihad…,” maknanya adalah lebih mengutamakan mengejar dan mengumpulkan harta daripada jihad. Dalam bahasa ekonomi, ini bisa dimaknai lebih mengejar memperbanyak harta atau mengejar pertumbuhan.
Jihad adalah untuk meninggikan kalimat Allah dan mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Karena itu meninggalkan jihad di sini secara umum bisa juga dimaknai tidak lagi berpegang pada ketentuan agama atau meninggalkan dakwah.
Jika orang atau umat mencari harta dengan jalan haram dan menggunakan haylah (kilah/trik) untuk mengambil riba (harta secara haram) dan lebih sibuk mengumpulkan kekayaan melalui perdagangan, peternakan, pertanian dan lainnya, lalu mereka mengabaikan, menelantarkan bahkan meninggalkan dakwah dan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada mereka bencana dan kehinaan. Bencana dan kehinaan itu akan terus ditimpakan Allah sampai orang atau umat bertobat dan merujuk atau kembali pada ketentuan agama.
Hadis di atas juga mengisyaratkan bahwa mengejar perbanyakan harta atau pertumbuhan ekonomi bukanlah jalan kebangkitan untuk meraih kemenangan dan kemuliaan. Kemenangan dan kemuliaan hanya bisa diraih dengan kembali pada Islam dan menerapkan Islam di tengah-tengah kehidupan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]