Siyasah Dakwah

Refleksi dan Outlook Politik Nasional dan Global 2021: Indonesia Di Bawah Cengkeraman Oligarki

Bila rakyat Indonesia berharap 2021 menjadi tahun yang mencerahkan maka itu lari dari kenyataan. Sikap skeptis publik terhadap pemerintahan Jokowi makin menjadi-jadi. Bisa dibilang, berbagai kebijakan yang diambil jauh dari kata memuaskan kepentingan khalayak. Jauh dari janji-janji yang dikampanyekan saat Pilpres.

Warna menonjol dalam perjalanan politik Tanah Air pada tahun 2021: kian liberal, lumpuhnya pemberantasan korupsi, pro oligarki, otoriter dan tetap tidak bersahabat dengan Islam dan kaum muslimin. Indonesia juga masih terus dalam perebutan kepentingan dua negara besar; AS dan China.

 

Oligarki Kian Digdaya

Pekatnya warna oligarki dan kapitalis Indonesia yang paling monumental adalah saat pengesahaan UU Omnibus Law atau Cipta Lapangan Kerja di tahun 2020. Setelah itu beragam kebijakan Pemerintah makin menampakkan kebijakan yang dikendalikan dan diperuntukkan demi kepentingan segelintir orang. Terkuaknya bisnis sejumlah pejabat dalam tes PCR jadi salah satu getirnya nasib rakyat Indonesia. Para pejabat yang berkuasa begitu leluasa mengambil kebijakan lalu mengambil keuntungan di tengah pandemi.

Sejumlah pegiat antikorupsi menyebutkan bahwa keterlibatan nama pejabat dalam bisnis lebih buruk dibandingkan nepotisme era Soeharto. Pasalnya di era Orba tak ada bisnis yang langsung atas nama pejabat atau keluarga Cendana yang langsung terlibat di dalamnya.

Kemarahan dan sikap skeptis publik terhadap transparansi Pemerintah menyikapi bisnis pejabat ini makin bertambah dengan penyangkalan dari pejabat terkait. Belakangan Luhut, selain Erick Tohir, yang diduga terlibat, mengaku tidak tahu-menahu kalau perusahaannya terlibat dalam bisnis PCR. Belakangan (lagi) ia mengatakan tak mengambil keuntungan sedikitpun karena keuntungannya diberikan pada warga tidak mampu.

Publik sulit untuk percaya, karena menurut ICW bisnis PCR di kala pandemi diestimasikan mencapa 10 triliun rupiah. Kondisi ini membuat rakyat skeptis atas setiap kebijakan mitigasi pandemi dikarenakan sejumlah aktivitas warga seperti perjalanan via pesawat diharuskan melewati dulu tes PCR.

Perkasanya oligarki ditandai dengan diamnya Presiden Jokowi terhadap bisnis dua menterinya ini. Jokowi tidak memerintahkan audit terhadap bisnis dua orang menterinya, memberikan sanksi, apalagi berani memecatnya! Ini mengindikasikan tak ada niatan Jokowi membangun clean governance yang mestinya dimulai dari membentengi menteri-menterinya dari bisnis pribadi.

Sebagai perbandingan, di Jepang, ada sanksi keras bagi pejabat yang diketahui punya hubungan dengan pengusaha. Pada bulan Februari tahun 2021, sebelas pejabat Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang yang harus di-PHK, setelah mereka ketahuan ditraktir makan malam oleh Seigo Suga, putra sulung Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga, yang merupakan petinggi di satu perusahaan produksi film dan penyiaran satelit swasta Tohoku Shinsha yang bermarkas di Tokyo. Makan malam itu padahal hanya bernilai puluhan ribu yen perorang.

 

Senjakala Pemberantasan Korupsi

Jokowi mestinya mengakui kalau pemberantasan korupsi sudah masuk fase senjakala. Para pimpinan KPK seperti bersepakat menyingkirkan 57 pegawai yang dikatakan terpapar radikalisme. Lewat tes wawasan kebangsaan (TWK), para pegawai KPK—yang  notabene berprestasi dan berhasil menyeret sejumlah nama yang terlibat skandal korupsi, termasuk Harun Masiku yang menjadi mata rantai kasus suap yang melibatkan Hasto, Sekjen PDIP, dengan eks komisioner KPU, Wahyu Setiawan—disingkirkan.

Pemberhentian sejumlah penyidik dan pegawai ini seperti melanjutkan drama pelumpuhan KPK yang berawal dari revisi UU KPK. UU ini mengamputasi berbagai wewenang KPK seperti penyadapan, penuntutan, termasuk independensi. KPK kini diletakkan sebagai  cabang eksekutif dan para pegawainya dialihkan menjadi ASN.

Stagnasi pemberantasan korupsi juga terlihat dari ketidakseriusan aparat penegak hukum melacak aliran dana korupsi. Kasus korupsi dana bansos yang dilakukan mantan bendahara PDIP Juliari Batubara, terhenti hanya pada beberapa nama saja. Padahal skandal dana bansos masuk kategori megaskandal karena besarnya anggaran yang dikorup. Mantan penyidik KPK Novel Baswedan menyebut korupsi yang dilakukan mantan Mensos itu mencapai puluhan triliun rupiah.

Di internal KPK sejumlah pelanggaran kode etik yang melunturkan kepercayaan publik terus terjadi. Pada tahun 2020 pimpinan KPK Firli Bahuri melakukan sejumlah pelanggaran kode etik. Lili Pintauli Siregar, yang juga komisioner KPK, melakukan pelanggaran dengan berkomunikasi dengan Wali Kota nonaktif Tanjungbalai M Syahrial terkait penyelidikan kasus dugaan jual-beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai, Sumatera Utara. Sama seperti Firli, sanksi yang diberikan pada Lili juga amat ringan, hanya pemotongan gaji pokok sebesar 40%  selama 12 bulan, alias hanya 1,8 juta rupiah. Artinya, ia masih bisa menikmati penghasilan sebesar Rp 87 juta sebagai komisioner KPK.

Presiden Jokowi juga ikut-ikutan menunjukkan etika tidak patut dalam spirit pemberantasan korupsi. Pada bulan November, Presiden meresmikan pabrik biodesel milik Haji Isam yang terindikasi memiliki masalah kasus korupsi pejabat pajak dan diduga bermain mata dengan pejabat pajak berkaitan dengan nilai pajak perusahaannya.

 

Otoriter dan Represif

Dalam peringatan hari HAM internasional lalu, Presiden Jokowi berjanji akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Mantan walikota Solo ini juga meminta jangan ada kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Ia menyinggung bahwa Pemerintah sudah memberi amnesti kepada Baiq Nuril dan Saiful Mahdi yang divonis melanggar UU ITE.

Namun, banyak kalangan skeptis pada pernyataan Jokowi. Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun berpendapat pernyataan Jokowi dan pihak Istana yang minta dikritik menunjukkan praktik politik berwajah ganda dari kekuasaan.

Banyak catatan yang menunjukkan tindakan Pemerintah dalam soal kebebasan berpendapat adalah rapor merah. Laporan The Economist Intelligence Unit (EUI) Oktober 2021 menunjukkan, skor indeks demokrasi di Indonesia cenderung menurun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, skor indeks demokrasi Indonesia mencapai 6,3 pada 2020, terendah dalam satu dekade terakhir.

Pemerintah, misalnya, langsung memberangus berbagai mural yang mengkritik Pemerintah. Untuk menekan berbagai kelompok mahasiswa yang kritis, Pemerintah menggunakan tangan pejabat kampus. BEM UI yang melabeli Jokowi sebagai king of lips service, langsung mendapat teguran dari pihak rektorat. Nasib serupa dialami mahasiswa BEM UNNES yang ditekan rektorat setelah mengkritik Wapres Ma’ruf Amin dan Ketua DPR Puan Maharani.

Terhadap kelompok Islam, Pemerintah mempraktikkan politik stick and carrot. Kelompok dan tokoh-tokoh Islam yang memuji-muji kekuasaan diberi berbagai jabatan dan kedudukan. Sejumlah nama yang kerap minim mengkritik Pemerintah bahkan menjadi bumper kekuasaan seperti Said Aqil Siradj, Marsudi Syuhud, Zuhairi Misrawi, Masduki Baidlowi menduduki sejumlah kursi empuk komisaris BUMN dengan gaji belasan hingga miliaran rupiah pertahunnya.

Namun, untuk kalangan Muslim dan kelompok Islam yang vokal dan kritis, Pemerintah menyiapkan ‘tongkat pemukul’. Mereka dimonsterisasi sebagai kelompok pembawa paham radikalisme. Ruang gerak mereka diawasi juga terus menerus dikampanyekan sebagai kelompok berbahaya.

 

Operasi Melumpuhkan MUI

Entah berkaitan atau tidak, yang jelas pasca Ijtima Ulama ke-7 di Jakarta, MUI diterpa badai terpapar terorisme. Sebagaimana diketahui, salah satu hasil Ijtima Ulama adalah pernyataan bahwa jihad dan khilafah adalah bagian ajaran Islam yang tak boleh distigma negatif. Padahal rezim Jokowi terus-menerus mengkampanyekan stigma negatif terhadap hukum wajibnya penegakkan Khilafah. Tak pelak, hasil ijtima ini seperti tamparan pada Pemerintah. Beberapa hari kemudian Densus antiteror menangkap Ustadz Ahmad Zain an-Najah anggota Komisi Fatwa MUI dengan tuduhan terlibat jaringan Jamaah Islamiyah.

Setelah itu, Pengurus Harian Penanganan Ekstrimisme dan Terorisme MUI menyatakan akan melakukan profiling internal sebagai upaya ‘bersih-bersih’ kepengurusan MUI dari unsur radikalisme dan terorisme. Di media sosial, tagar bubarkanMUI berkumandang dan sempat menjadi trending topik.

Dugaan kuat, MUI tak akan dibubarkan, tetapi akan dibersihkan dari unsur-unsur yang kerap membuat gerah Pemerintah. Sebagaimana diketahui, ada beberapa nama di dalam kepengurusan MUI yang masih bersuara lantang mengkritik Pemerintah. Nama-nama seperti KH Anwar Abbas, KH Muhyidin Djunaedi, atau KH Cholil Nafis masih rajin mengkritisi kebijakan Pemerintah. Ada kemungkinan bersih-bersih yang dimaksud adalah menyangkut keberadaan tokoh-tokoh yang tidak sejalan dengan rezim.

 

Pertarungan AS dan Cina

Asia Pasifik, termasuk Indonesia, mulai menjadi target utama kepentingan sejumlah negara besar. Amerika, Inggris, Uni Eropa dan Cina mulai mengalihkan beragam kebijakan mereka dari Eropa dan benua Amerika ke kawasan Timur Jauh. Sumberdaya alam yang berlimpah, jalur perdagangan dan pelayaran yang strategis, populasi penduduk yang banyak sebagai tenaga kerja yang bisa dibayar murah sekaligus pasar, menggiurkan negara-negara besar. Karena itulah episentrum konflik politik, ekonomi juga militer nampaknya mulai digeser.

Sejak pemerintahan Jokowi, pendulum politik dan ekonomi mulai bergeser ke Cina. Beragam proyek seperti infrastruktur dan pertambangan didatangkan dari negeri Tirai Bambu itu. Namun, AS juga tak tinggal diam. Mereka mencari celah untuk bisa menggeser kehadiran Cina di Indonesia. Melalui isu genosida Muslim Uyghur oleh Pemerintah Cina, sampai isu bahaya komunisme dimainkan oleh AS.

Di bidang militer, AS juga menjalin koalisi trilateral bersama Australia dan Inggris dengan nama AUKUS. Aliansi ini ini memungkinkan pembagian kemampuan pertahanan yang lebih besar, termasuk membantu Australia untuk memperoleh kapal selam bertenaga nuklir. Untuk saat ini, hanya enam negara di dunia yang mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir. Mereka di antaranya Amerika, Inggris, Cina, Prancis, India, dan Rusia. Tampaknya AS ingin membendung ancaman militer Cina dan Rusia yang merupakan kompetitor mereka di kawasan Asia Pasifik.

Akhir kalam, kondisi Indonesia semakin tenggelam dalam berbagai persoalan; oligarki, korupsi dan lemahnya kepemimpinan bangsa. Sulit untuk berharap bahwa dengan kondisi seperti ini dapat lepas dari jerat persoalan apalagi bisa bersaing di pentas internasional untuk menghadapi kompetisi global memperebutkan pengaruh politik, ekonomi dan militer di kawasan Asia Pasifik. Indonesia masih babak-belur dan bergantung pada asing. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 − 6 =

Check Also
Close
Back to top button