Iqtishadiyah

Refleksi Ekonomi 2021: Pengelolaan Ekonomi Makin Amburadul

Sepanjang tahun 2021, berbagai peristiwa mewarnai perjalanan Indonesia, termasuk di bidang ekonomi. Namun, meskipun Indonesia telah merdeka 76 tahun, kebijakan Pemerintah masih tetap bias pada kepentingan para kapitalis. Ini ditandai dengan berbagai regulasi dan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Sebaliknya, rakyat yang terpuruk kondisi ekonominya semakin besar. Beberapa peristiwa ekonomi yang mengemuka tahun ini, antara lain:

 

  1. Pengangguran dan kemiskinan meningkat.

Pandemi Covid-19 masih menjadi penyebab utama rendahnya pertumbuhan ekonomi domestik dan global tahun ini. Menurut perkiraan IMF, ekonomi Indonesia tahun ini hanya tumbuh 3,2 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu yang minus 2,1 persen. Pada kuartal kedua ekonomi sempat tumbuh 7,1 persen, setelah Pemerintah buru-buru melakukan pelonggaran pembatasan sosial yang menyebabkan kasus Covid-19 meledak dan jumlah kematian melonjak. Imbasnya, Pemerintah kembali menerapkan PPKM darurat dan PPKM level empat di berbagai provinsi selama Juli hingga awal Agustus atau hampir separuh dari kuartal ketiga 2021.

Dampak dari pandemi membuat kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia, khususnya menengah bawah semakin terpuruk. Angka pengangguran naik lebih dua juta orang, dari sebelum masa pandemi yang mencapai 7 juta orang (Agustus 2019) menjadi 9,1 juta orang (Agustus 2021). Secara otomatis angka kemiskinan ikut naik 25,1 juta orang (Mei 2019) menjadi 27, 5 juta (Mei 2021).

Di sisi lain, berdasarkan laporan Credit Suisse dalam Global Wealth Databook 2021 jumlah orang kaya Indonesia justru meningkat selama pandemi. Jumlah penduduk dengan kekayaan bersih US$1 juta atau lebih Rp 14 miliar pada 2020 mencapai 171.740 orang. Jumlah itu naik hampir 62 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 106.215 orang.

 

  1. Penanganan pandemi menguntungkan pejabat.

Meskipun pandemi telah berlangsung lebih dari setahun, upaya Pemerintah untuk menangani pandemi  tetap gagap. Motif penyelamatan ekonomi lebih kental dibandingkan pemulihan kesehatan.  Pada tahun 2021, Pemerintah masih mengalokasikan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 745 triliun. Sebagian dana tersebut dialokasikan untuk bantuan sosial. Namun, penyaluran bansos tersebut masih berantakan. Penyebabnya, antara lain, data Pemerintah mengenai keluarga pra sejahtera melalui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak akurat. Kementerian Sosial bahkan mengakui bahwa terdapat 21 juta data penerima Bansos yang bermasalah. Namun, perbaikannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah yang sebagian besar tidak mengalokasikan dana yang cukup untuk memutakhirkan data tersebut. Alhasil, penduduk miskin yang belum mendapatkan bantuan sosial masih sangat besar. Sebagai contoh, pada tahun 2020 saja, berdasarkan data BPS, kurang dari 50 persen penduduk miskin yang mendapatkan bantuan pangan non-tunai. Bahkan, di Papua dan Maluku Utara, masing-masing hanya 1,1 persen dan 8,4 persen. Di satu sisi anggarannya cukup besar, tetapi di sisi lain, penerima bantuan sangat kecil. Tertangkapnya Menteri Sosial tahun lalu akibat korupsi bansos, menguatkan dugaan publik bahwa dana jumbo Bansos banyak yang masuk ke kantong koruptor.

Rendahnya kredibilitas Pemerintah dalam penanganan pandemi diperburuk oleh terungkapnya fakta bahwa beberapa pejabat ternyata ikut mendulang untung lewat bisnis PCR. Aturan Pemerintah yang mensyaratkan publik  melakukan tes PCR ketika hendak menggunakan berbagai moda transportasi lebih banyak menguntungkan pengusaha PCR. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan, terdiri dari ICW, YLBHI, LaporCovid-19 dan Lokataru, mencatat, setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut selama masa pandemi, dengan potensi keuntungan sekitar Rp 10 triliun lebih.

Pemerintah pun tidak serius untuk mengurangi ketergantungan impor  bahan baku obat dan peralatan kesehatan, termasuk PCR dan vaksin. Padahal produk kesehatan itu sangat dibutuhkan rakyat sehingga idealnya disediakan oleh negara, bukan dilepaskan ke mekanisme pasar, yang pastinya akan dikuasai pemodal besar. Apalagi jika merujuk data BPS, biaya impor alat dan bahan tes PCR hanya sekitar Rp 5,2 triliun pada semester pertama 2021. Angka ini sebenarnya kecil sekali dibandingkan anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang mencapai Rp 745 triliun. Jadi, mahalnya tes PCR ini menunjukkan ketidakberpihakan Pemerintah kepada rakyat dalam menangani pandemi.

 

  1. Belanja APBN tersedot pembayaran bunga utang.

Dengan alasan pandemi, Pemerintah sepanjang tahun 2021 terus  berutang hingga mendekati seribu triliun. Per Oktober,  total utang Pemerintah mencapai Rp 6.667 triliun. Konsekuensinya, belanja APBN untuk membayar bunga utang membengkak.  Anggaran pembayaran bunga utang pada 2022 mencapai Rp 406 triliun. Angka itu dua kali lebih besar dari subsidi yang mencapai Rp 206 triliun, dan tiga kali lebih besar untuk Bansos yang mencapai Rp 146 triliun. Bahkan pada aat semua anggaran tahun depan turun, anggaran untuk pembayaran bunga tetap tumbuh. Padahal, pembayaran bunga utang itu sebagian besar mengalir ke segelintir lembaga investasi asing dan domestik, negara-negara asing dan lembaga-lembaga internasional. Besarnya nilai utang tersebut belakangan mendapatkan peringatan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa rasio pembayaran utang dan bunga utang terhadap penerimaan APBN, serta rasio utang terhadap total penerimaan sudah melampaui standar yang dibuat oleh IMF. Dengan demikian selain APBN semakin berisiko, biaya pengelolaan negara makin mahal, dan semakin sedikit yang langsung ditujukan kepada rakyat dalam bentuk subsidi, bansos dan dana pembangunan.

Kemudian, di tengah kesulitan ekonomi rakyat dan pelaku ekonomi, Pemerintah bersama DPR tahun ini bersepakat merombak undang-undang perpajakan (UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan) untuk meningkatkan penerimaan negara. Meskipun gagal menerapkan pajak atas sembako—setelah mendapatkan penolakan keras dari publik—Pemerintah malah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen. Pemerintah pun menaikkan batas atas Pajak Penghasilan dari maksimal 500 juta dengan tarif sebesar 30 persen menjadi lima miliar dengan tarif 35 persen. Dengan kata lain, jika penghasilan kena pajak seseorang lima miliar lebih maka 35 persennya harus disetorkan ke negara. Kebijakan yang mulai berlaku tahun depan itu tak ayal akan memicu inflasi harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.

Selain itu, pada undang-undang pajak tersebut, Pemerintah kembali memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada mereka yang mengemplang pajak dari tahun 2016-2020. Kebijakan ini kembali diberlakukan lantaran pada tax amnesty jilid I, jumlah wajib pajak yang mengikuti program itu di bawah target Pemerintah. Di sisi lain, banyak pengusaha dan pejabat yang menyembunyikan kekayaan mereka di negara-negara surga pajak. Teranyar, sederet nama, termasuk nama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan serta Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, masuk dalam daftar skandal pajak Pandora Papers.

Regulasi itu sangat ironis. Rakyat kecil diminta taat untuk membayar pajak dan mendapat hukuman ketika melanggar, tetapi para pengemplang pajak malah mendapatkan pengampunan. Lucunya, pejabatnya malah kedapatan mengemplang pajak. Namun, yang patut dicatat bahwa tingginya tarif pajak di negara-negara kapitalisme telah mendorong orang-orang kaya untuk melakukan penghindaran pajak.

 

  1. BUMN terancam bangkrut.

Bukan hanya APBN yang memiliki utang menggunung tahun ini. Sejumlah BUMN juga terlilit utang yang sangat tinggi sehingga sebagian nyaris bangkrut. Beberapa BUMN yang memiliki utang jumbo adalah PLN (Rp 452 triliun), Garuda Indonesia (Rp 139 triliun), Waskita Karya (Rp 90 triliun), PTPN (Rp 43 triliun) dan Krakatau Steel (Rp 31 triliun).

Beberapa BUMN terpaksa melego aset mereka untuk mengurangi beban utangnya. Waskita Karya, misalnya, mencatat ada sembilan ruas jalan tol yang akan dijual sepanjang 2021.  Kemudian PT Angkasa Pura juga telah menjual 49 persen sahamnya di Bandara Kualanamu kepada perusahaan asal India. Beberapa perusahaan asing disebut telah siap membeli aset-aset BUMN yang dijual tersebut. Di antaranya adalah Caisse de dépôt et placement du Québec (Kanada), APG Asset Management (Belanda) dan Abu Dhabi Investment Authority (UEA).  Total dana dari ketiganya bisa mencapai US$ 3,75 miliar atau Rp 54 triliun.

Sebagai BUMN lain terpaksa mendapatkan suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) dari APBN. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung mendapatkan suntikan modal lewat PT Kereta Api sebesar Rp 7 triliun untuk tahun ini dan Rp 4,1 triliun untuk tahun 2022. Pasalnya, biaya proyek tersebut melar dari rencana semula, yakni dari sekitar Rp 87 triliun menjadi Rp 114 triliun. Selain PT KAI, beberapa BUMN tahun ini juga mendapatkan PMN sebesar Rp 33,9 triliun, yaitu Waskita Karya dan Hutama Karya, dua BUMN yang keuangannya berdarah-darah akibat terseret pembangunan infrastruktur. Kemudian tahun 2022, nilai PMN tersebut naik menjadi Rp 72,44 triliun.

Untuk menjembatani masuknya investor asing mengakuisisi aset-aset BUMN, tahun ini Pemerintah resmi membentuk lembaga sovereign wealth fund, yang disebut Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Pada tahap awal, Pemerintah RI akan menyuntikkan dana USD sebesar Rp 75 triliun yang disetor secara bertahap ke dana abadi tersebut. Namun, pendanaan terbesar diharapkan berasal dari dana swasta, terutama dari para investor asing.

 

  1. Dominasi Pemilik Modal Semakin Kuat.

Eksistensi pemilik modal masih sangat kuat dalam mempengaruhi berbagai kebijakan dan legislasi di negara ini. UU Cipta Kerja yang diberlakukan pada tahun lalu, misalnya, telah menjadi legitimasi bagi para kapitalis untuk memperluas sepak terjang mereka dalam mengeksploitasi sumberdaya alam dan sumber daya manusia di negara ini. Mereka menggunakan cara-cara  yang merugikan  negara, masyarakat luas, hingga menghancurkan kelestarian lingkungan. Tidak heran jika publik beramai-ramai mengkritik keras undang-undang tersebut, baik dari sisi prosedur dan substansinya.

Dominasi para kapitalis dalam pengelolaan negara tampak nyata pada pengelolaan sektor pertambangan di negara ini. Investor swasta khususnya asing semakin dominan, sementara Pemerintah puas menjadi regulator. Tahun ini. Investor asal Cina semakin mengukuhkan dominasinya pada pertambangan nikel dan logam dasar. Pada pertambangan lain, investor swasta terus melebarkan sayapnya meninggalkan BUMN. Salah satunya adalah pembukaan tambang emas di Kepulauan Sangihe, yang mencakup separuh dari kepulauan tersebut. Pengelolaan  tambang di kabupaten tersebut 70 persen dikuasai oleh Gold Corp, perusahaan asing asal Kanada, dan sisanya oleh swasta nasional. Selain akan lingkungan, dari sisi ekonomi, pertambangan tersebut lebih banyak merugikan negara. Sebabnya, selain mendapatkan pajak perusahaan pada umumnya, Pemerintah hanya mendapatkan royalti antara 3,75 persen- 5 persen. Dari jumlah itu, bagian untuk kabupaten produsen hanya 32 persen, atau maksimal 1,6 persen dari total produksi tambang. Sisanya dibagi ke Pemerintah Pusat dan kabupaten sekitar.

Isu yang juga heboh tahun ini adalah rencana penambangan emas Blok Wabu, Papua. Menurut Kementerian ESDM 2020, potensi kandungan emas Blok Wabu mencapai 117.26 ton bijih emas. Setiap tonnya rata-rata mengandung kadar 2,16 gram (Au) dan 1,76 gram perak. Kandungan ini jauh lebih besar besar dibandingkan dengan kandungan emas bijih Grasberg milik Freeport Indonesia yang mengandung 0,8 gram emas per ton. Dengan demikian, total cadangan emasnya mencapai 8,1 juta ons emas. Dengan harga emas sekitar US$ 1.780 per troy ons, maka potensi nilainya mencapai sekitar US$ 14,5 miliar atau sekitar Rp 207 triliun (kurs Rp 14.300 per US$). Sejatinya blok ini merupakan hak konsesi Freeport yang dilepas pada 2018. Berdasarkan regulasi, blok ini semestinya jatuh ke tangan BUMN. Namun, belakangan terungkap bahwa terdapat perusahaan swasta milik elit pejabat yang berambisi ikut menggarap blok tersebut.

Di sisi lain, implementasi UU Minerba yang direvisi tahun 2020 lalu kembali memberikan nafas panjang kepada beberapa korporasi swasta untuk mengeruk batubara di negara ini. Padahal, sebelum revisi UU tersebut, potensi BUMN untuk menggarap wilayah konsesi perusahaan tambang yang habis izinnya itu sangat besar. Namun, dengan regulasi anyar itu, peran BUMN untuk mengelola sektor pertambangan justru dilemahkan. Konsekuensinya, tidak hanya pendapatan tambang lebih banyak mengalir kepada pemodal swasta, tetapi kedaulatan energi juga terancam. Ketika harga batubara membumbung mendekati US$200 dollar perton, PLN, yang mengandalkan batubara untuk menghidupkan pembangkitnya, sempat mengalami kesulitan mendapatkan komoditas itu, lantaran para produsen lebih memilih untuk mengekspor produksi mereka ketimbang menjual ke PLN yang harganya lebih rendah.

Liberalisasi perizinan di sektor pertambangan tersebut juga berdampak buruk pada kelestarian lingkungan. Dampak dari pemberian izin yang ugal-ugalan pada investasi pertambangan dan perkebunan telah mengakibatkan rusaknya hutan di daerah-daerah yang menjadi pusat investasi tersebut. Dampak kerusakan alam tersebut pada akhirnya menciptakan berbagai bencana, seperti banjir bandang di Kalimantan dan Sulawesi, yang menimbulkan kerugian material dan non-material yang sangat besar. Ketamakan penguasa yang berkolaborasi dengan pengusaha telah menyebabkan madarat bagi rakyat banyak dalam jangka panjang.

 

  1. Ketergantungan impor pangan meningkat.

Sepanjang tahun 2021, ketergantungan impor pangan Indonesia tetap tinggi. Bukan hanya pada produk-produk yang relatif sulit ditanam seperti gandum, tetapi juga produk pangan yang sangat mudah dikembangkan di negara ini.  Hingga Oktober 2021, impor gula mencapai Rp 30 triliun, naik 10 persen dibandingkan tahun lalu. Kemudian impor kedelai sebesar Rp18,2 triliun, naik 27 persen dari tahun sebelumnya. Lalu impor garam mencapai 2,1 juta ton dengan nilai Rp1,1. triliun. Janji Pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor pangan semakin jauh dari kenyataan. Antara janji dan kebijakan tidak sinkron.

Sebagai contoh, dengan garis pantai terpanjang kedua dunia, bahan baku garam konsumsi dan industri di negara ini sangat melimpah. Namun, setelah 76 tahun merdeka, tren impor garam, terutama dari Australia, India dan Selandia Baru semakin tinggi.  Produksi domestik belum mampu memenuhi kebutuhan garam industri yang kandungan natrium klorida-nya di atas 97. Bagaimana tidak, petani garam dan industri garam hanya dilirik sebelah mata. Anggaran Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) di Kementerian KKP hanya sekitar Rp 53 miliar untuk tahun 2021. Sementara itu, anggaran untuk penumbuhan dan pengembangan industri garam industri di Kementerian Perindustrian untuk tahun 2020 hanya Rp2,5 miliar. Dengan anggaran sekecil itu, sulit bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan impor tersebut.

 

Penutup

Alhasil, beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa alih-alih mengantarkan negara ini menjadi negara yang maju, mandiri, dan mampu menyejahterahkan jutaan rakyatnya, pengelolaan ekonomi negara ini justru semakin amburadul. Coraknya semakin kapitalistik dan semakin jauh dari ideologi Islam, ideologi yang berasal dari wahyu Allah SWT, Zat Yang Mahaadil dan Mahabijaksana.

WalLaahu alam bi ash-shawwaab. [Muis]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen + 3 =

Check Also
Close
Back to top button