Haram Menjual Barang Yang Tak Dimiliki
Soal:
Mohon penjelasan topik “Lâ tabi’ mâ laysa ‘indaka (Jangan engkau menjual apa yang bukan milikmu). Apakah itu berlaku pada semua barang yang dijual atau khusus dengan makanan?
Jawab:
Larangan menjual apa yang tidak dimiliki oleh pedagang itu mencakup makanan dan selain makanan; yakni dalam apa saja yang berlaku atasnya takaran, timbangan dan hitungan. Kami telah merinci hal itu di dalam kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî dengan judul, “Lâ yajûzu bay’u mâ laysa ‘indaka (Tidak boleh menjual apa yang bukan milikmu)”, antara lain sebagai berikut:
Tidak boleh menjual apa yang bukan milikmu: Tidak boleh menjual barang sebelum sempurna kepemilikannya. Jika dia menjualnya dalam kondisi ini maka jual-beli itu batil. Ini berlaku pada dua kondisi: Pertama, dia menjual barang sebelum dia miliki. Kedua, dia menjual barang setelah dia beli tetapi sebelum sempurna kepemilikannya atas barang itu dengan serah terima dalam barang yang dalam kesempurnaan kepemilikannya disyaratkan serah-terima. Sebabnya, akad jual-beli itu tidak lain terjadi atas kepemilikan. Barang yang belum dimiliki, atau telah dibeli tetapi belum sempurna kepemilikannya untuk barang itu, maka jika belum dia terima, atas barang itu tidak terjadi akad jual-beli, karena belum ada obyek yang atasnya terjadi akad secara syar’i. Rasulullah saw. telah melarang jual-beli barang yang belum dimiliki oleh si penjual. Hakim bin Hizam ra. berkata:
قُلْت: يارَسُولَ الله، يأْتِيْنِي الرَّجُلُ يَسْأَلُني الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي مَا أَبِيعُهُ، ثُمَّ أَبِيعُهُ مِنَ السُّوقِ، فقال: لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Aku berkata, “Ya Rasulullah, datang kepada seorang laki-laki yang bertanya kepadaku tentang jual-beli barang yang bukan milikku: status barang yang saya jual itu, yang aku beli dari pasar.” Beliau bersabda, “Jangan engkau jual barang apa saja yang bukan milikmu!” (HR Ahmad).
Dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلاَ شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ، وَلاَ رِبْحٌ مَا لَمْ تَضْمَنْ، وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Tidak halal salaf dan jual-beli, tidak (halal) dua syarat dalam satu jual-beli, tidak (halal) keuntungan apa yang belum dijamin dan tidak (halal) jual-beli apa saja yang bukan milikmu (HR Abu Dawud).
Ungkapan Rasul saw. “mâ laysa ‘indaka (apa saja yang bukan milikmu)” bersifat umum, termasuk di bawahnya; apa yang tidak adala dalam kepemilikanmu, apa yang tidak mampu engkau serahkan, dan apa yang kepemilikanmu atasnya belum sempurna. Hal itu dikuatkan oleh hadis-hadis yang dinyatakan tentang larangan menjual apa yang belum diterima di antara apa yang dalam kesempurnaan kepemilikannya disyaratkan adanya serah-terima. Itu menunjukkan bahwa siapa yang membeli apa saja yang memerlukan serah-terima supaya sempurna pembeliannya atas barang itu maka dia tidak boleh menjualnya sampai dia menerimanya. Jadi hukumnya adalah hukum menjual apa yang tidak dimiliki. Hal itu karena sabda Rasul saw.:
مَنِ ابْتَاعَ طَعَاماً فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
Siapa yang membeli makanan maka janganlah dia menjual makan itu sampai dia terima (HR al-Bukhari).
Juga berdasarkan hadis berikut:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ، حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ
Nabi saw. telah melarang barang dijual di tempat dia beli sampai pedagang memindahkan barang itu ke kendaraan mereka (HR Abu Dawud).
Juga berdasarkan hadis:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ شِرَاءِ الصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضَ
Nabi saw. melarang pembelian sedekah sampai diterima (HR Ibnu Majah).
Juga berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas ra. yang berkata, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Utab bin Usaid:
إِنِّي قَدْ بَعَثْتُكَ إِلَى أَهْلِ الله، وَأَهْلِ مَكَّةَ، فَانْهَهُمْ عَن بَيْعِ مَا لَمْ يَقْبِضُوا
Aku telah mengutus engkau kepada warga Allah dan warga Makkah. Karena itu laranglah mereka dari jual-beli apa saja yang belum mereka terima (HR al-Baihaqi).
Hadis-hadis ini gamblang melarang menjual barang apa saja yang belum diterima. Menjadi jelas bahwa dalam keabsahan jual-beli disyaratkan barang tersebut telah dimiliki oleh si penjual dan kepemilikannya atas barang itu telah sempurna. Adapun jika barang belum dimiliki atau kepemilikannya atas barang itu belum sempurna maka seseorang tidak boleh menjual barang tersebut sama sekali. Ini mencakup apa saja yang dia miliki tetapi belum dia terima, yang kesempurnaan jual-belinya disyaratkan adanya serah-terima, yaitu barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung (al-makîl wa al-mawzûn wa al-ma’dûd). Adapun barang yang kesempurnaan kepemilikannya tidak disyaratkan adanya serah-terima—yaitu barang selain yang ditakar, ditimbang dan dihitung—semisal hewan, rumah, tanah dan semacam itu, maka penjual boleh menjualnya sebelum dia terima. Sebabnya, semata-mata akad jual-beli dengan ijab dan qabul terjadi maka jual-beli itu telah sempurna, baik barangnya telah dia terima atau belum.
Kebolehan menjual barang yang belum diterima dari selain barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung maka hal itu telah dinyatakan di dalam hadis sahih. Imam al-Bukhari telah meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa dahulu ada kesulitan pada unta milik Umar ra.
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعْنِيهِ، فَقَالَ عُمَرُ: هُوَ لَكَ فَاشْتَرَاهُ ثُمَّ قَال: هُوَ لَكَ يَا عَبْدَ الله بْنَ عُمَرَ، فَاصْنَعْ بِهِ مَا شِئْتَ
Nabi saw. lalu berkata kepada Umar, “Juallah unta itu kepadaku.” Umar berkata, “Unta itu untukmu.” Lalu beliau membeli unta itu, kemudian beliau bersabda, “Unta itu untukmu, wahai Abdullah bin Umar, perlakukanlah unta itu sesukamu.” (HR al-Bukhari).
Tasharruf dalam jual-beli dengan hibah sebelum beliau terima menunjukkan kesempurnaan kepemilikan barang yang dijual itu sebelum diterima. Ini menunjukkan kebolehan menjual barang semacam itu karena kepemilikan si penjual atasnya telah sempurna.
Dengan demikian barang yang dimiliki oleh si penjual dan telah sempurna kepemilikannya boleh dia jual. Sebaliknya, apa saja yang belum dia miliki atau belum sempurna kepemilikannya tidak boleh dia jual.
Atas dasar itu, apa yang dilakukan oleh pedagang kecil berupa tawar-menawar pembeli atas barang, kemudian terjadi kesepakatan antara keduanya atas harga, lalu penjual menjual kepada pembeli tersebut, kemudian dia pergi ke pedagang lain untuk membelinya untuk orang yang membeli dari dia itu, dan dia menghadirkan dan dia menyerahkan kepada pembeli itu, maka jual-beli semacam ini tidak boleh. Sebabnya, itu termasuk jual-beli barang yang belum dimiliki. Pedagang itu ketika ditanya tentang barang yang belum ada padanya dan belum dia miliki, tetapi dia tahu bahwa barang itu ada di pasar pada pedagang lainnya, lalu dia berbohong dan memberitahu pembeli bahwa barang itu ada dan dia jual kepada pembeli itu, kemudian dia pergi untuk membelinya setelah dia menjualnya. Ini haram, tidak boleh, sebab dia menjual barang yang belum dia miliki sama sekali. Demikian juga apa yang dilakukan oleh para pemilik toko pasar (bursa) sayur dan pasar (bursa) biji-bijian berupa penjualan mereka atas sayur dan biji-bijian sebelum sempurna kepemilikan mereka atasnya. Demikian juga apa yang dilakukan oleh importir barang dari negeri lain. Sebagian mereka membeli barang dan mensyaratkan padanya penyerahan di negeri tersebut, kemudian dia menjualnya sebelum barang itu sampai, yakni sebelum sempurna kepemilikan mereka untuk barang itu. Ini merupakan jual beli yang haram karena merupakan jual beli apa yang belum sempurna kepemilikannya sama sekali.
Ringkasnya, jual-beli apa yang bukan milikmu, yakni belum sempurna engkau miliki atau belum engkau terima, adalah tidak boleh. Itu mencakup semua barang yang dihitung, ditimbang dan ditakar, baik berupa makanan atau selain makanan.
Adapun jika jual-belinya tidak terjadi pada barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung, seperti terjadi pada hewan, rumah, tanah dan semacamnya, maka boleh menjualnya semata telah terjadinya akad dengan ijab dan qabul. Kepemilikan penjual telah sempurna sebelum akad (akad jual-beli yang kedua). Adapun serah-terima maka bukan syarat dalam keadaan ini sebagaimana yang dijelaskan di dalam teks buku An-Nizhâm al-Iqtishâdî di atas.
Atas dasar itu pedagang besi dan semen tidak boleh menjual apa yang bukan miliknya. Dia harus membelinya lebih dulu kemudian dia menerimanya yakni memindahkannya ke tempat dagangnya dan setelah itu dia menawarkan untuk dijual.
WalLâh a’lam wa ahkam.
[Dinukil dari Soal-Jawab Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 01 Jumada al-Ula 1443 H/05 Desember 2021 M]
Sumber:
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/79091.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/3078842879028382