RUU HIP Mengokohkan Rezim Sekular
Di tengah pandemi Covid-19, DPR sedang menggodok Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang terdiri dari 10 Bab dan 60 Pasal. Dalam konsideran Menimbang, disebutkan, bahwa RUU HIP itu diperlukan karena saat ini belum ada undang-undang sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pasal 4 RUU HIP menjelaskan Haluan Ideologi Pancasila memiliki fungsi, di antaranya, sebagai pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan Pembangunan Nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pendidikan, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berketuhanan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; juga pedoman bagi setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; serta sebagai pedoman instrumentalistik yang efektif untuk mempertautkan bangsa yang beragam (bhinneka) ke dalam kesatuan (ke-ika-an) yang kokoh.
Terkait isi, Pasal 2 RUU HIP menyebut, Haluan Ideologi Pancasila berisi pokok-pokok pikiran dan fungsi Haluan Ideologi Pancasila, tujuan, sendi pokok, dan ciri pokok Pancasila, tentang Masyarakat Pancasila dan Demokrasi Pancasila.
Banyak pihak mengkritisi RUU tersebut tak terkecuali Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto. “RUU HIP merupakan alat rezim mengokohkan kekuasaan dan makin mensekulerkan Indonesia,” tegasnya kepada Al-Waie, Kamis (11/6/2020).
Perkokoh Kekuasaan
Menurut Ismail, dalam konteks politik rezim, RUU HIP dijadikan sebagai “alat mengokohkan kekuasaan rezim dan melegalkan kepentingan oligarki dan negara patron pendukung rezim”.
Melalui RUU HIP, Pemerintah yang mengatasnamakan Pancasila ingin memposisikan dirinya sebagai ‘penafsir dan pengguna tunggal’ Pancasila. Jadi jelaslah, Pancasila telah menjadi alat politik untuk mengokohkan kekuasaan rezim.
Penggunaan Pancasila sebagai alat akan terhubung dengan pihak ‘penerima manfaat’, yakni oligarki pemilik modal dan negara patron. Ia akan memberikan jalan mulus bagi masuknya kepentingan politik dan ekonomi pendukung rezim.
Hal itu tampak dari pengesahan UU Minerba dan Perppu Covid-19 baru lalu, serta kebijakan lain. Substansi semua putusan itu jelas-jelas bertabrakan dengan apa yang tertulis dalam RUU ini. “Jika benar melalui RUU HIP rezim ini ingin melaksanakan Pancasila, mengapa peraturan perundangan seperti itu bisa disahkan?” tanya Ismail retoris.
Bila selama ini DPR dikatakan sebagai wakil rakyat yang akan melaksanakan kedaulatan rakyat, pengesahan RUU Minerba itu telah membuktikan sebaliknya. DPR telah mengkhianati prinsip yang mereka yakini. Dalam pengesahan RUU Minerba, DPR telah jelas lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal, khususnya pemilik PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), dengan memberikan kepastian perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi dengan luasan semula, berdasar Pasal 169 a, b dan c UU Minerba yang baru.
Bila mengacu pada ketentuan sebelumnya, yakni pasal 63 dan 75 UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus dikembalikan kepada negara sebagai wilayah pencadangan negara atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD. Namun, ketentuan yang jelas lebih mengedepankan kepentingan publik ini justru dihapus, dan diganti dengan ketentuan yang mengutamakan pemilik PKP2B.
“Ini sangat aneh. Bagaimana bisa DPR yang hakikatnya adalah wakil rakyat justru bertindak merugikan rakyat yang mereka wakili?” katanya.
Ismail menyebutkan pengesahan Perppu Covid-19 lebih aneh lagi. DPR telah jelas mengebiri sendiri kewenangan yang mereka miliki, dalam hal ini hak budgeting, dan malah mereka berikan kepada eksekutif. Melalui Perppu Covid-19, APBN cukup disusun berdasarkan Perpres.
“Bila melalui hak budgeting tersebut DPR bisa secara langsung mengontrol alokasi dan penggunaan anggaran negara yang hakikatnya adalah uang rakyat, mengapa hak itu justru dilepas? Bila demikian lantas apa fungsi DPR?” tanya Ismail.
Tambahan lagi, melalui pengesahan Perppu Covid-19, DPR juga telah jelas mengebiri kewenangan yudikatif, seperti tampak pada Pasal 27 yang memberikan imunitas bagi pejabat lembaga Pemerintah di bidang keuangan. Pasal itu juga menyebutkan setiap pengeluaran negara dengan tujuan penyelamatan ekonomi saat pandemi Covid-19 tak dihitung sebagai kerugian negara, dan keputusan yang diambil berdasarkan Perppu, bukan obyek gugatan di PTUN.
“Pasal ini dibuat untuk membuat Pemerintah kebal hukum. Jelas ini merupakan bentuk pengistimewaan hukum yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kesamaan semua orang di muka hukum (equality before the law). Ini jelas bertentangan dengan substansi dari RUU HIP ini,” tegas Ismail.
Ia juga menyebutkan, tidak memasukkan Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Organisasi Terlarang dan Larangan Menyebarkan dan Mengembangkan Faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam konsideran Mengingat, menambah keyakinan bahwa RUU HIP ini dibuat di dalam kerangka menjaga hubungan dengan negara patron yang memang berhaluan komunis. Tap MPRS ini dianggap tidak perlu diingat. Bahkan mungkin dalam jangka panjang, jika rezim seperti ini terus berkuasa, Tap MPRS ini tidak boleh diingat.
Sebagai Alat Pukul
Ismail juga menilai Pancasila bakal menjadi alat pemukul terhadap lawan-lawan politik rezim. Melalui RUU HIP ini, rezim secara subyektif mendefiniskan apa itu masyarakat Pancasila dan siapa itu manusia Pancasila (Pasal 12 ayat 2 dan 3).
Dengan rumusan itu, rezim akan dengan mudah memaksa rakyat untuk berpikir dan bertindak mengikuti rumusan itu, lalu menyingkirkan siapa saja yang berbeda dengan rumusan tersebut. Tak peduli meski yang bersangkutan sesungguhnya tengah menjalankan perintah ajaran agamanya.
Lihatlah, belum lagi RUU HIP ini disahkan, rezim ini sudah bertindak sewenang-sewenang. Melalui Perppu Ormas yang nyata-nyata sangat dipaksakan, rezim dengan subyektivitasnya mencabut status Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (BHP HTI), dengan tudingan anti Pancasila. Padahal yang dilakukan HTI tak lain adalah dalam rangka menjalan perintah syariah Islam tentang dakwah.
“Dengan cara serupa, RUU HIP, bila disahkan nanti, bisa menjadi alat guna memukul siapa saja yang memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah dengan alasan usaha itu dianggap tidak sesuai dengan rumusan masyarakat Pancasila dan manusia Pancasila yang ada dalam RUU HIP ini,” prediksi Ismail.
Mengokohkan Sekularisme
Ismail juga menyimpulkan, “RUU HIP menjadi alat rezim makin mensekulerkan Indonesia.”
Buktinya tampak dalam beberapa pasal terkait. Dalam Pasal 23 RUU HIP disebutkan pembinaan agama sebagai pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin syarat-syarat spiritual dan material untuk kepentingan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia dan menolak pengaruh buruk kebudayaan asing. Rumusan tentang pembinaan agama ini terkait dengan paham Ketuhanan yang berkebudayaan sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat 2 RUU HIP.
Paham Ketuhanan yang berkebudayaan tak dapat dipungkiri diambil dari pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI. Dengan rumusan seperti ini, tak pelak posisi agama semakin termarginalisasi. Kedudukannya menjadi sekadar sub-bidang dari bidang mental spiritual. Fungsinya juga hanya menjadi alat dari pembentukan mental dan kebudayaan, bukan sebagai petunjuk dalam pengaturan hidup manusia di dalam semua aspek kehidupannya.
Ia menegaskan, reduksi makna dan kedudukan agama makin tampak Ketika RUU HIP di Pasal 12 menyebut tentang ciri Manusia Pancasila, yakni ‘beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab’.
“Rumusan itu mengandung paham sekularisme – sinkretisme, bahkan pluralisme agama!” tegasnya.
Frasa “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” jelas telah meletakkan hakikat iman dan takwa yang semestinya dipahami dan dilaksanakan dengan dasar dan ukuran yang bersifat transeden atau wahyu, yakni al-Quran dan al-Hadis dalam konteks agama Islam, menjadi dengan dasar dari sesuatu yang bersifat imanen (sekular).
“Bagaimana bisa, iman dan takwa dengan dasar dan ukuran kemanusiaan? Bukankah iman dan takwa kepada Tuhan semestinya dengan ukuran Tuhan?” tanyanya.
Kuatnya spirit sekularisme dalam RUU HIP ini juga tampak pada Pasal 34 jo Pasal 43 huruf c RUU HIP, yang menyebutkan Pembangunan Nasional terdiri dari: bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada sistem nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Dari telaahan di atas, nyatalah bahwa RUU HIP ini secara telak akan membawa negeri yang merdeka disebut ‘atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ ke arah sekular radikal atau ke arah lebih sekular!” tegas Ismail.
Dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi secara eksplisit disebut dalam sebuah norma hukum seperti RUU HIP, secara pasti akan mereduksi peranan agama dalam proses-proses pengambilan keputusan di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Iptek akan menggeser pertimbangan-pertimbangan agama dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
“Jelas sekali, rumusan pada RUU HIP Pasal 34 jo Pasal 43 ini adalah sekularisasi,” Ismail kembali menegaskan.
Kesalahan Amat Fatal
Dalam sistem sekular, aturan-aturan agama, dalam hal ini aturan Islam, memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan.
Oleh karena itu, RUU HIP yang justru menempatkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar dalam penataan bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan, menurut Ismail sebagai “sebuah kesalahan yang amat fatal”.
Sekularisme jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Seseorang yang mengaku dirinya Muslim harus menjadi Muslim secara keseluruhannya (kaffah) (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 208).
Jelaslah, lanjut Ismail, tidak sepantasnya seorang Muslim menjadi sekular atau mendukung sekularisme.
Karena itu perjuangan bagi tegaknya syariah Islam secara kaffah serta penolakan terhadap segala bentuk sekularisme, apalagi ketika hendak dikokohkan dengan peraturan perundangan, di negeri ini jelas sangatlah penting dan mutlak harus dilakukan.
Ismail menegaskan, hanya syariah Islam sajalah yang mampu menjawab berbagai persoalan yang tengah membelit negara ini, juga dunia, baik di lapangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pendidikan. Faktanya, ideologi kapitalisme dan sosialisme gagal memenuhi harapan. Penerapan syariah juga akan membawa masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim itu lebih dekat dengan suasana religiusitas Islam sebagai perwujudan dari misi hidup beribadah kepada Allah SWT.
“Tanpa syariah Islam, bisakah kita berharap munculnya tatanan kehidupan yang lebih baik? Bisakah kita berharap mendapat kebaikan dari agama Islam yang diyakini datang untuk membawa rahmat? Bila tidak, mengapa kita masih suka berlama-lama hidup tanpa syariah seperti sekarang, bahkan malah menghambatnya?”
Satu sisi kaum Muslim mengeluh. Hidup makin susah dan makin tidak aman. Harga apa-apa naik. Kemaksiatan merajalela. Pornografi mudah dijumpai. Remaja makin brutal. Birokrat makin tidak bisa diharap. Korupsi makin menjadi-jadi. Ketidakadilan terus terjadi saban hari. Namun, di sisi lain mengapa kaum Muslim mendiamkan begitu saja syariah Islam—yang diyakini pasti bisa menyelesaikan semua masalah dan mengatur kehidupan masyarakat dengan sebaik-baiknya—teronggok bagai barang antik tidak direalisasikan dalam kehidupan nyata?
“Itu sama saja dengan seseorang yang marah-marah ketika tubuhnya didera penyakit, tetapi obat di tangan hanya dilihat-lihat saja. Mana bakal sembuh?” pungkasnya. [Joko Prasetyo]