Takrifat

Pengkhususan Al-Kitab (Bagian Kedua)

Takhsîsh al-Quran terjadi dengan al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas syar’i. Takhsîsh itu bisa terjadi melalui dalâlah secara manthûq maupun melalui mafhûm, termasuk mafhûm al-muwâfaqah maupun mafhûm al-mukhâlafah.

Sebelumnya telah dibahas takhshîsh al-Quran dengan al-Quran. Berikut ini dibahas takhshîsh al-Quran dengan as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.

 

Takhshîsh al-Quran dengan as-Sunnah

Takhshîsh al-Quran dengan as-Sunnah boleh baik dengan hadis mutawatir maupun ahad. Hal itu karena tiga alasan. Pertama: Al-Quran dan as-Sunnah, baik mutawatir maupun ahad, semuanya dibawa oleh wahyu. Jadi yang ada adalah apa yang dibawa oleh wahyu dikhususkan dengan apa yang dibawa oleh wahyu. Dengan itu yang satu boleh mengkhususkan yang lain.

Kedua: Takhshîsh al-Quran dengan as-Sunnah benar-benar terjadi secara riil. Misalnya, firman Allah SWT (yang artinya): Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing dari keduanya seratus dali dera (TQS an-Nur [24]: 2).

Ayat ini di-takhshîsh dengan as-Sunnah, yaitu hukuman rajam yang Rasul saw. jatuhkan kepada Ma’iz bin Malik al-Aslami (HR al-Bukhari no. 6824 dari Ibnu ‘Abbas; Muslim no. 1692 dari Jabir bin Samurah, no. 1694 dari Abu Sa’id dan no. 1695 dari Buraidah). Yang dihukum rajam itu pelaku zina muhshân (sudah menikah). Sebagaimana dalam riwayat Imam al-Bukhari no. 6825 dari Abu Hurairah ra., bahwa ada seorang laki-laki yang mengaku kepada Rasul saw. telah berzina, Rasul tidak menanggapi. Lalu dia mengulangi pengakuan itu. Kemudian:

فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ، دَعَاه النَّبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَال: أَبِكَ جُنُونٌ، قَال: لاَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَقَال: أَحْصَنْتَ، قَال: نَعَمْ، يَا رَسُو ل للهِ، قَالَ: اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوهُ

Ketika dia telah bersaksi atas dirinya sendiri empat kali, Nabi saw. memanggil dia dan bertanya, “Apakah kamu gila?” Dia menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Kamu sudah menikah (muhshan)?” Dia menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau lalu bersabda,  “Pergilah kalian dan rajam dia!”

Masih banyak takhshîsh al-Quran dengan as-Sunnah yang secara riil terjadi.

Ketiga: Telah terakadkan Ijmak Sahabat bahwa takhshîsh al-Quran dengan as-Sunnah boleh dan mereka benar-benar menerapkan hal itu. Misalnya, firman Allah SWT:

وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ … ٢٤

Telah dihalalkan bagi kalian selain yang demikian… (TQS an-Nisa’ [4]: 24).

 

Para Sahabat mengkhususkan ayat ini dengan sabda Rasul saw.:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنْ تُنْكَحَ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا

Rasulullah saw. telah melarang seorang wanita dinikahi bersama dengan bibinya dari pihak bapaknya atau bibinya dari pihak ibu (HR al-Bukhari no. 5108, Muslim no. 1408, at-Tirmidzi no. 1125 dan an-Nasai no. 3293).

 

Para Sahabat juga mengkhususkan firman Allah SWT (yang artinya): Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (TQS al-Maidah [5]: 38). Para Sahabat mengkhususkan ayat ini dengan sabda Rasul saw.:

لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا

Tangan pencuri tidak dipotong kecuali pada kasus pencurian seperempat dinar atau lebih (HR Muslim no. 1684, Ibnu Majah no. 2585, an-Nasai no. 4928 dan 4936).

 

Para Sahabat juga mengkhususkan firman Allah SWT (yang artinya): Bunuhlah orang-orang musyrik itu… (TQS at-Taubah [9]: 5). Ayat ini tidak diberlakukan atas orang Majusi Hajar. Ini sesuai dengan penuturan Abdurrahman bin ‘Awf bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ

Perlakukan mereka seperti perlakuan kepada Ahlul Kitab (HR Malik, asy-Syafi’iy no. 430 dan 1773, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 13986 dan 18654).

 

Masih banyak pengkhususan al-Quran dengan as-Sunnah yang diterapkan oleh para Sahabat. Semua itu diketahui, dilihat dan didengar oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Dengan demikian menjadi Ijmak Sahabat bahwa takhsîsh al-Quran dengan as-Sunnah—baik berupa sabda, perbuatan atau persetujuan (taqrîr) dari Rasul saw.—adalah boleh.

Contoh lain takhshîsh al-Quran dengan as-Sunnah, firman Allah SWT (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, serta sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki (TQS al-Maidah [5]: 6).

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa setiap kali akan shalat maka harus berwudhu. Namun, ayat ini di-takhshîsh oleh penuturan Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya (Buraidah):

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم صَلَّى الصَّلَوَاتِ يَوْمَ الْفَتْحِ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ، وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ، فَقَالَ لَه عُمَرُ : لَقَدْ صَنَعْتَ الْيَوْمَ شَيْئًا لمْ تَكُن تَصْنَعُهُ، قَال: عَمْدًا صَنَعْتُهُ، يَا عُمَرُ

Nabi saw. menunaikan beberapa kali shalat pada Fathu Makkah dengan satu wudhu. Beliau mengusap kedua khuf beliau. Lalu Umar berkata kepada beliau, “Sungguh engkau melakukan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan.” Beliau bersabda, “Sengaja aku melakukan itu, ya Umar.” (HR Muslim no. 277, Abu Dawud no. 172, at-Tirmidzi no. 61, an-Nasai no. 133, Ahmad no. 22966 dan Ibnu Khuzaimah no. 12).

 

Contoh lain, firman Allah SWT:

وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ ١٢١

Janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika disembelih (QS al-An’am [6]: 121).

 

Ayat ini dikhususkan oleh hadis mursal riwayat Imam Abu Dawud as-Sijistani (w. 275 H) di dalam Al-Marâsîl li Ibni Dâwud hadis no. 378 dari ash-Shalti bahwa Rasul bersabda:

ذَبِيحَةُ الْمُسْلِمِ حَلَالٌ، ذَكَرَ اسْمَ اللهِ أَوْ لَم يَذْكُرْ، إِنَّهُ إِنْ ذَكَرَ لَمْ يَذْكُرْ إِلَّا اسْمَ الله

Sembelihan seorang Muslim adalah halal, dia menyebut nama Allah atau tidak menyebut. Sungguh jika menyebut, dia tidak menyebut kecuali nama Allah.

 

Juga hadis riwayat al-Harits Ibnu Abiy Usamah (w. 282 H) di dalam Baghyatu al-Bâhits min Zawâ‘id Musnad al-Hârits atau Musnad al-Hârits hadis no. 410 dari Rasyid bin Sa’ad. Disebutkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

ذَبِيحَة الْمُسْلِمِ حَلَالٌ وَإِنْ لَمْ يُسَمِّ مَا لَم يَتَعَمَّدْ وَالصَّيْد كَذَلِكَ

Sembelihan seorang Muslim adalah halal meski jika tidak menyebut (nama Allah) selama dia tidak menyengaja, dan buruan demikian juga.

 

Takhshîsh al-Quran dengan Ijmak Sahabat

Ijmak Sahabat menyingkap adanya dalil syariah. Jika para Sahabat berijmak bahwa suatu hukum merupakan hukum syariah atau bahwa suatu hal atau masalah, hukum syariahnya begini, artinya mereka memiliki dalil atas hal itu. Jadi mereka meriwayatkan hukum tersebut, tetapi mereka tidak meriwayatkan dalilnya, maka hal itu seperti periwayatan dalil. Dalil itu tidak mereka sebutkan di antara mereka karena mereka sudah sama-sama tahui sehingga tidak perlu disebutkan di tengah-tengah mereka.

Oleh karena itu, Ijmak Sahabat itu menyingkap bahwa di situ ada dalil syar’i, yakni mereka mendengar Rasulullah saw. bersabda, atau berbuat atau beliau diam tanda setuju. Jadi itu seperti as-Sunnah. Oleh karena itu, ia diperlakukan seperti as-Sunnah dan diambil dengan riwayat. Selama masalahnya demikian maka boleh men-takhshîsh al-Quran dengan Ijmak Sahabat.

Selain itu, takhshîsh al-Quran dengan Ijmak Shahabat seraca riil terjadi.Di antaranya, firman Allah tentang sanksi qadzaf (yang artinya): Deralah mereka (yang menuduh zina itu) delapan puluh kali dera (TQS an-Nur [24]: 4).

Telah ada Ijmak Sahabat bahwa itu dikhususkan atas tuduhan zina terhadap orang merdeka saja, tidak pada tuduhan zina atas hamba sahaya perempuan. Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) di dalam tafsir Ta’wilâtu Ahli as-Sunnah (Tafsîr al-Mâturîdî) menyatakan, “Mereka (para Sahabat) telah berijmak bahwa terhadap penuduh hamba sahaya perempuan dikenai at-ta’zîr dan tidak ada hadd atas dirinya… Jika penuduh itu hamba sahaya laki-laki atau perempuan maka terhadap dirinya dikenai 40 kali dera.”

Terjadinya takhshîsh al-Quran dengan Ijmak Sahabat itu merupakan dalil kebolehan. Dengan demikian hal itu  menunjukkan bahwa takhshîsh al-Quran dengan Ijmak Sahabat secara syar’i boleh.

 

Takhshîsh al-Quran dengan Qiyas

Qiyas yang mu’tabar adalah Qiyas syar’i. Itulah Qiyas yang ‘illat-nya dinyatakan oleh syariah, yakni diambil dari al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat. Selama ‘illat-nya tidak dinyatakan di dalam syariah maka itu bukan Qiyas syar’i sehingga secara syar’i tidak mu’tabar.

Takhshîsh al-Quran dengan Qiyas syar’I, yakni Qiyas mu’tabar, mengikuti ‘illat-nya. Telah jelas bahwa takhshîsh al-Quran dengan al-Quran, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat adalah boleh. Karena itu takhshîsh al-Quran dengan Qiyas syar’i statusnya sama saja dengan takhshîsh al-Quran dengan al-Quran, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat sesuai dengan ‘illat-nya. Dengan demikian takhshîsh al-Quran dengan Qiyas syar’i atau Qiyas mu’tabar secara syar’i adalah boleh.

Contohnya, firman Allah SWT QS an-Nur [24]: 2 yang menyatakan bahwa sanksi bagi pelaku zina ghayru muhshân adalah seratus kali dera. Ayat ini di-takhshîsh dengan QS an-Nisa’ [4]: 25 yang menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku zina yang hamba sahaya perempuan adalah separuh dari hukuman atas wanita merdeka. ‘Illat-nya adalah status hamba sahaya. Karena itu sanksi atas hamba sahaya laki-laki yang berzina diqiyaskan pada ketentuan QS an-Nisa’ [4]: 25 ini, yakni separuh dari sanksi untuk laki-laki merdeka yang berzina. Qiyas ini sekaligus men-takhshîsh QS an-Nur [24]: 2 tersebut. Dengan demikian sanksi seratus kali dera itu dikhususkan bagi pelaku zina ghayru muhshân yang merdeka saja.

Inilah takhshîsh al-Quran dengan dalil yang terpisah berupa as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas syar’i.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen + 18 =

Check Also
Close
Back to top button