Tarikh

Islamisasi Karawang Raya (Dari Syaikh Qura Hingga Kesultanan Islam) (Bagian 3)

Memang benar, Islamisasi pada masa ini lebih banyak dipengaruhi oleh Mataram Islam. Hal ini karena sebagian besar Karawang merupakan bawahan Keraton Sumedanglarang yang tunduk pada Mataram sejak era Susuhunan Agung Hanyakrakusuma. Pada masa tersebut sebagian Tatar Sunda—yakni wilayah yang dipimpin Cirebon, Sumedang, Galuh, Cikundul, Ukur, Sukapura dan Banyumasan—tunduk pada Mataram Islam. Dengan pemberian gelar melalui Syarif Makkah maka terjalin hubungan struktural Khilafah Utsmaniyah dengan Tatar Sunda bagian Timur meliputi Cirebon, Priangan dan Banyumasan melalui Sultan Agung Mataram. Bendera Mataram yang mengandung simbol “Bulan Sabit” menjadi bukti penguat hubungan dengan Khilafah Utsmaniyah.

Peran utama Sultan Agung Mataram ialah mengoptimalkan islamisasi sampai ke pedesaan dan pedalaman hingga terjadi jalinan erat antara Islam dengan adat/budaya yang tak tepisahkan. Peranan sang Sultan tercermin dalam gelarnya, yakni “Senapati ing Alaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah”. Menjadi hal aneh atau menyalahi adat/budaya jika ditemukan pribumi kafir di wilayah Cirebon, Priangan, Banyumasan dan Tanah Jawi secara umum. Peran Penghulu/Qadhi dan lembaga Kauman dapat ditemukan di berbagai pelosok daerah. Apalagi di lingkungan Keraton Mataram yang dipimpin langsung Sultan Agung, Amir Khilafah sekaligus Ulama, murid Panembahan Ratu, cucu Sunan Gunung Jati. Tuduhan adanya sinkretisme Islam dengan adat/budaya lama terbantah dengan banyaknya naskah-naskah Islam di pustaka Keraton serta para ningrat dan abdi dalem yang memiliki sanad keilmuan hingga ke Hijaz dan Mesir.

Naskah Kempalan Kitab-Kitab Islam, nisbah Pangeran Cakraningrat Ngayogyakarta, dapat menjadi sandaran informasi terkait penyebaran karya-karya Ulama “Arab” bukan hanya di Cirebon dan Priangan saja, namun wilayah Mataram secara umum. Demikian pula naskah Serat Tajusalatin, nisbah Ratu Kencana Surakarta, erat kaitannya dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Meskipun naskah-naskah tersebut disusun setelah masa sang Sultan, ini menunjukkan keberhasilan islamisasi sebelum Mataram dipecah-belah oleh kafir Belanda. Sikap Sultan Agung terhadap kafir penjajah Belanda juga sangat jelas, yakni jihad fî sabilillah. Beliau bahkan pada masa sebelumnya telah menyerang Batavia 2 (dua) kali, meskipun belum berhasil membebaskan Jaketra/Jayakarta dari penjajahan kafir harbi. Setidaknya pengepungan tersebut menyebabkan penguasa Batavia tewas karena wabah. Peran Karawang Raya dalam menopang penyerbuan Batavia sangatlah penting.

Pengembangan ekonomi dan pertanian serta tata-kota islami termasuk di antara bentuk peranan sang Sultan dalam melakukan ri’âyah terhadap rakyat. Tata kota yang dimaksud ialah penempatan Masjid Agung, kantor pemerintahan dan alun-alun dalam kesatuan lingkungan. Ini menggambarkan hubungan baik antara ulama, umara dan umat. Susunan demikian pernah terwujud pada masa Adipati Singaperbangsa saat memerintah Karawang Raya di dekat Masjid Agung Karawang. Dikatakan, susunan demikian meniru penataan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Jika pun demikian, ini semakin menguatkan bukti hubungan keilmuan antara Sultan Agung dengan sang guru, Panembahan Ratu.

Sumber utama islamisasi era ini ialah Piagem Kuningan Kandangsapi, yakni suatu piagam dari Susuhunan Agung Hanyakrakusuma untuk Pangeran Rangga Gede dari Sumedanglarang. Piagam ini ditemukan di Parakan Sapi, Karawang (kini sudah menjadi bagian dari Danau Jatiuhur). Piagam ini bermula dari kerjasama antara Banten dan sebagian menak Sumedanglarang yang kemudian berhasil menguasai wilayah Udug-Udug, Karawang. Dinukil dari naskah Kasumedangan, Sejarah Sumedang sebagai berikut:

 

Kemudian Pangeran Aria Suriadiwangsa meminta pertolongan kepada Sultan Banten Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir karena Sultan Banten itu adalah juga cucu Pangeran Girilaya. Kemudian Sultan Banten memerintahkan rakyatnya untuk mendirikan perkampungan di wilayah Karawang. Hal ini telah menggemparkan orang-orang Belanda yang pada waktu itu berada di Batawi. Semua kejadian di Pasundan itu menyebabkan kemarahan Susuhunan sehingga Pangeran Rangga Gede dipanggil ke Mataram dan ditempatkan, diasingkan di kampung Gajahmati.

Penguasa Mataram yang telah diakui oleh Galuh dan Sumedang merespon dengan mengirim pasukan Aria Wirasaba Surengrana. Sebagai persiapan menghadapi Banten di Udug-Udug, Aria Wirasaba membentuk 3 (tiga) desa, yakni Waringinpitu (kini Telukjambe), Parakansapi (kini menjadi bagian Danau Jatiluhur) dan Adiarsa. Karena jauh dan sulitnya hubungan antara Karawang dan Mataram, Aria Wirasaba belum sempat melaporkan tugas kepada Susuhunan Agung Mataram sehingga dinilai tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba gagal terlaksana. Aria Wirasaba selanjutnya lebih fokus menjadikan Karawang menjadi “lumbung padi” sebagai persiapan rencana Susuhunan Agung menyerang Kafir Belanda di Batavia, di samping mencetak prajurit perang. [Bersambung]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 5 =

Back to top button