Spirit Islam Dalam Perlawanan Umat Tatar Sunda Terhadap Penjajah (Lanjutan)
Keempat: Gerakan Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan, alumni Hijaz atau al-Haramain, murid dari Syaikh Abdurrauf as-Sinkili, Mufti Kesultanan Aceh Darussalam (bagian resmi Khilafah Utsmaniyyah) dan Syaikh Ahmad al-Qusyayi yang membantu pelarian pejuang Jihad trah Banten, bersama Qadhi Kesultanan Banten yakni Syaikh Yusuf al-Maqassari (sesama alumni Hijaz) dan melakukan kaderisasi Ulama Cirebon. Di antara muridnya ialah Kyai Musa Wanantara dan Kyai Muqayyim Buntet, trah menak Cirebon yang memisahkan diri dari kraton karena menolak kuasa Belanda. Setidaknya Syaikh Abdul Muhyi melalui khidmah dan ilmunya menjadi pendukung perlawanan terhadap Belanda secara tidak langsung, yang juga dibantu pemimpin Sukapura, Dalem Sewidak, Tumenggung Wiradadaha.
Kelima: Perlawanan trah Jampang, H. Raden Alit Prawatasari (1703-1707 M) yang berkaitan dengan Hijaz sebagaimana terlihat dalam gelarnya sebagai Haji. Meskipun sebelum ke Makkah dikenal “tidak tunduk” kepada Belanda, setelah pulang dari salah satu wilayah resmi Khilafah Utsmaniyyah tersebut maka sikap beliau semakin “keras” sehingga menjadi pemimpin Jihad fi Sabilillah di Jampang (Jampang di sini ada yang berpendapat Jampang Manggung/Jampang Sukabumi sekarang) dan sekitarnya.
Keenam: Perlawanan trah Sultan Ageng Tirtayasa, yakni Kyai Tb. Mustapa (Kyai Tapa) yang akhirnya mukim di Makkah bersama Tb Buang terhadap Belanda (1750-an). Ia semasa dengan Syaikh Abdusshomad al-Falimbani (1704 – 1828) dan Syaikh Daud al-Fathani (1710 – 1847). Pelarian beliau ke Mekkah diketahui dari nisan makam sang Putra, Tb. Abdullah ibn Mustapa. Kyai Tapa berasal dari Tubagus Mustafa. Kyai Tapa diketahui juga seorang keturunan Tionghoa, dengan nama Thung Siang Toh; saudara seayah dengan Sultan Banten, Zainul Ariffin (1733-1748). Kyai Tapa, seorang guru agama, adalah tokoh penting dalam pemberontakan Banten di abad ke-18 bersama dengan Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Zainul Arifin.
Ketujuh: Perlawanan pemikiran trah Cirebon, semisal oleh Pangeran Wangsakerta dan tim penyusun melalui penulisan naskah – naskah Cirebon, dikenal dengan Pustaka Wangsakerta (1677 – 1698 M), dan Pangeran Arya Cirebon dengan menyusun naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (1720 M). Di antara isinya menjelaskan identitas Islam dari Pakungwati Cerbon dan sejarahnya, termasuk asal-usulnya yang berkaitan dengan pusat pemerintahan dan keilmuan Khilafah, semisal Baghdad, Mesir dan Hijaz. Dengan itu westernisasi oleh Belanda dapat dipersulit meskipun secara politik berkuasa.
Kedelapan: Perlawanan Ki Bagus Rangin dari Majalengka bersama santri Cirebon (1802 – 1812 M), penerus Jihad Panembahan Ratu dan kedua wakil Khalifah di Tatar Sunda, yakni Sultan Agung Mataram dan Sultan Ageng Tritayasa, serta pelanjut sanad Syaikh Abdul Muhyi alumni Hijaz, yang diteruskan para pengikutnya dengan Perang Kedongdong Nasional (1818-1919 M).
Kesembilan: Perlawanan oleh para ulama dan Jawara Banten, dipimpin oleh para alumni Hijaz, semisal Syaikh Arsyad ath-Thawil dan KH. Wasyid yang dikenal dengan Geger Cilegon (1888), meskipun belum berhasil dan dikritisi sebagian ulama karena kurang memenuhi sebagian syarat dalam pelaksanaan Jihad fi Sabilillah.
Kesepuluh: Perlawanan pemikiran dan politik menak Cianjur, Sumedang dan Limbangan (1800-an) semisal oleh H. Rd. Suriaatmaja/Pangeran Makkah, pemimpin Sumedang Larang yang dikenal alim nan shalih dan pernah melindungi tokoh Mujahidah Aceh, Cut Nyak Din; Syaikh Baing H. Rd. Muhammad Yusuf, penghulu dan penyebar Islam di Purwakarta (dulu termasuk wilayah Karawang); Dalem Santri H. Rd. Muhammad Siroj Suriawinata, pemimpin di Karawang – Purwakarta dan Bogor, yang membangun Mesjid Agung Purwakarta bersama Syaikh Baing Yusuf; Syaikh Rd. Mukhtar ibn ‘Atharid, Ulama Jawi terkenal di Hijaz, pemilik tsabat nan faqih; H. Rd. Muhammad Nuh, pendiri Madrasah al-‘Ianah – Cianjur dan ayah bagi KH. Rd. Mama Abdullah ibn Nuh dan Rd. H. Hasan Musthofa, penghulu Bandung dan budayawan Sunda; semuanya berkaitan dengan Hijaz di masa Khilafah Utsmaniyyah.
Kesebelas: Melalui sanad keilmuan para Ulama Ashabul Jawiyyah. Perlawanan pemikiran jaringan alumni Hijaz dan Mesir, terutama sanad Syaikh Nawawi Banten (1815 – 1897 M) dalam pendidikan dan dakwah di mesjid, majlis dan pesantren Tatar Sunda, sebagai upaya menolak pengaruh westernisasi Belanda, sekaligus mencegah perkembangan Gospel atau Kristenisasi, semisal dilakukan Syaikh Tb. Ahmad Bakri Sempur, cucu Qadhi Kesultanan Banten, trah Sultan Ageng Tirtayasa. Pengaruh sanad ini dapat terlihat di Tatar Sunda melalui sistem pendidikan di pondok pesantren tradisional yang “ruh”-nya ialah kitab Ta’lim al-Muta’allim dan syarh-nya, yang diduga kuat naskah kedua kitab tersebut sampai ke Tanah Jawi dan Tatar Sunda melalui Jaringan al-Haramain atau Hijaz. Dalam syarh dijelaskan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Imam az-Zarnuji merupakan rujukan utama bagi Harm Asyraf al-Muluk wa as-Salathin. Dari namanya dapat dipahami bahwa lembaga tersebut bersifat privat bagi keluarga para Sultan Utsmaniyah, semacam lembaga khusus untuk pembinaan para anak Sultan sehingga terwujud generasi penerus yang layak memimpin masyarakat. Bahkan syarh Ta’lim al-Muta’allim yang ditulis Syaikh Ibrahim ibn Isma’il dipersembahkan untuk Khalifah Murad III ibn Salim II ibn Sulaiman al-Qanuni, yakni sekitar tahun 1574 – 1595, semasa dengan era Panembahan Senopati (Mataram), Maulana Yusuf dan Maulana Muhammad (Banten), Panembahan Ratu (Cirebon) dan Prabu Geusan Ulun (Sumedang Larang). Artinya, Syarh terhadap kitab Ta’lîm al-Muta’allim disusun setelah masa Khalifah Salim II yang mengirimkan bantuan militer Khilafah Utsmaniyah kepada Kesultanan Aceh Darussalam dan penetapan bahwa wilayah yang dipimpin Aceh adalah bagian dari Utsmaniyah.
Syarh Ta’lim al-Muta’allim
(وبعد) فلما رأيت الكتاب المسمى بتعلبم المتعلم مرغوبا ومقبولا بين أولى التعليم والتعلم خصوصا بين الطالبين الساكنين في حرم أشرف الملوك والسلاطين …أعني به السلطان الأعظم والخاقان المعظم صفوة سلاطين الأمم ظل الله على مفارق الدنيا العالم مولى ملوك العرب والعجم السلطان بن السلطان السلطان مراد خان بن سليم خان خلد الله خلافته وأيدسلطنته ما دار الفلك الدوار واختلف الليل والنهار…
Wa Ba’du. Setelah saya melihat kitab yang bernama Ta’lim al-Muta’allim diminati dan diterima diantara para guru dan pelajar, terkhusus di kalangan pelajar yang tinggal di Harm Asyraf al-Muluk wa as-Salathin (lembaga khusus pendidikan Sultan Utsmaniyyah dan keluarganya) …
Saya persembahkan kepada Sultan yang Agung, Khaqan yang dimuliakan, Shafwah bagi para Sultan berbagai umat, Dzillullah bagi semesta dunia, Maula para penguasa Arab dan non-Arab, Sultan putra Sultan, Sultan Murad (III) Khan ibn Salim (II) Khan, semoga Allah melanggengkan Khilafah-nya dan menguatkan Sulthanah-nya, selama bintang beredar dan siang – malam bergantian …1
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kitab Ta’lîm al-Muta’allim dan syarh-nya sampai ke Nusantara melalui hubungan Makkah sebagai bagian Wilayah (setingkat Kegubernuran/Provinsi) dari Khilafah Utsmaniyah saat itu dengan para Ulama Jawi yang belajar di sana. Oleh karena itu, kitab Ta’lim al-Muta’allim dan syarh-nya dapat dianggap semacam panduan resmi Khilafah dalam pelaksanaan pendidikan Islam. [Abdurrahman Al-Khaddami dan Wirahadi Geusan Ulin ; (Tim Penulis Naskah Film Jejak Khilafah di Tatar Sunda)]
Catatan Kaki:
1 Ibrahim, Syarh Ta’lim al-Muta’allim, hlm. 2