Baiti Jannati

Indahnya Rumah Tangga Rasul SAW. dan Para Sahabat

Aisyah, Bunda kaum Muslim, tercenung. Beberapa orang Sahabat meminta ia untuk menceritakan perkara yang paling mempesona dari semua yang pernah ia saksikan pada diri Rasulullah saw.  Dengan suara terisak menahan tangis, ia menjawab dengan suara lirih, “Kâna kullu amrihi ‘ajaba (Semua yang ada pada beliau menakjubkan bagiku).”

Melintas banyak kenangan indah dalam benak Bunda Aisyah.  Dalam suatu perjalanan, Rasulullah saw. pernah mengajaknya lomba lari.  Saat itu, Aisyah belum gemuk sehingga ia berhasil mendahului beliau.  Saat lain ketika Aisyah sudah gemuk,  Rasulullah saw. kembali mengajaknya berlomba.  Mereka berkejar-kejaran sampai beliau berhasil mendahuluinya.  Lalu beliau bersabda, “Ini untuk membalas kekalahanku waktu itu.” (HR Ibn Hibban).

Rasulullah saw. juga begitu pengertian dan memahami sifat istri-istrinya. Rasulullah saw. pernah berkata kepada Aisyah, “Sungguh, aku dapat mengetahui kapan kamu sedang suka kepadaku dan kapan engkau marah.”

Aisyah berkata, “Dari mana engkau tahu?”

Rasulullah saw. menjawab, “Bila engkau sedang suka padaku engkau berkata, ’Demi Tuhannya Muhammad.’ Lalu jika engkau marah kepadaku, engkau berkata, ’Sungguh, demi Tuhannya Ibrahim.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Betul, Rasulullah saw. memang  bergaul secara indah dan bersenda gurau dengan istri-istri beliau, senantiasa bersikap lemah lembut kepada mereka, dan sering membuat mereka tertawa.  Beliau tahu apa yang disukai istrinya dan apa yang tidak disukai. Beliau pun bersabar dengan kekurangan istri-istrinya dan memberikan teguran dengan bijak.

Ummu Salamah ra. berkisah, ia pernah mengantarkan makanan di piring miliknya kepada Rasulullah saw. dan para sahabat.  Tiba-tiba Aisyah datang dan memecahkan piring tersebut. Rasulullah saw. sama sekali tidak marah.  Beliau menyatukan kembali kedua belahan piring dan bersabda pada para sahabat,”Makanlah.  Sungguh ibu kalian sedang cemburu.”

Setelah itu Rasulullah mengambil piring Aisyah, dan mengirimkan piring itu kepada Ummu Salamah. Lalu beliau memberikan piring Ummu Salamah yang pecah kepada Aisyah  (HR an-Nasa’i).

Rasulullah saw juga meminta, menghargai dan menerima pendapat-pendapat istrinya. Saat Perjanjian Hudaibiyah, para sahabat yang merasa kecewa tidak jadi menunaikan ibadah haji, tidak menuruti ajakan Rasulullah untuk bertahalul (mencukur rambut) dan menyembelih kurban.  Ketika Rasulullah menceritakan hal ini kepada Ummu Salamah, istri yang mendapat giliran menyertai beliau dalam perjalanan tersebut, Ummu  Salamah memberi saran, “Apakah engkau ingin mereka melakukan yang demikian, ya Rasulullah?  Sekarang keluarlah, tidak usah berkata pada siapapun sampai engkau menyembelih kurbanmu dan memanggil tukang cukur untuk mencukur rambutmu, niscaya mereka mengikuti.”

Rasulullah saw. menjalankan saran Ummu Salamah tersebut. Beliau keluar, lalu menyembelih kurban dan bercukur. Melihat hal demikian, serentak para sahabat mengikuti beliau  mengerjakan hal yang sama (HR Bukhari).

Masih banyak lagi keindahan yang dapat kita petik dari rumahtangga Rasulullah saw.  Sesibuk-sibuknya beliau dengan urusan agama dan negara, beliau masih menyempatkan diri setiap hari mendatangi istri-istrinya, bercanda dengan mereka dan menyelesaikan persoalan-persoalan rumah tangganya dengan bijak.  Beliau bersabda, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya kepada keluarganya. Aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku.” (HR al-Hakim dan Ibn Hibban).

Tidak hanya kepada para istrinya, Rasulullah saw. juga menjadi teladan dalam membimbing dan mendidik anak-anak. Beliau senantiasa berlaku lemah lembut dan tidak pernah mencela anak-anak.  Anas bin Malik, yang melayani beliau dari ia kecil sampai sepuluh tahun lamanya, tidak pernah sekalipun Rasulullah mencela mereka.  Bahkan bila ada keluarga yang memarahi mereka, Rasulullah melarang, “Biarkanlah.  Kalau sudah menjadi ketentuan pasti terjadi.” (HR Ahmad).

Rasulullah juga menemani anak-anak makan.  Bila mereka melakukan kesalahan Rasulullah meluruskan mereka dengan baik dan mengesankan.   Umar bin Salamah, anak tiri beliau, menceritakan, “Ketika masih anak-anak, aku pernah dipangku Rasulullah saw. Tanganku melayang ke arah nampan berisi makanan. Rasulullah berkata kepadaku, ’Nak, bacalah basmalah, lalu makanlah dengan tangan kanan dan ambillah makanan yang terdekat denganmu.’ Maka seperti itulah cara makanku seterusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Begitu pula Rasulullah saw. dekat dan sayang kepada cucu-cucunya.  Ketika Rasulullah saw shalat, dalam sujudnya Hasan dan Husain berlompatan ke atas punggungnya.  Sahabat ingin mencegah, namun Rasulullah memberi isyarat untuk membiarkan mereka.  Selesai shalat keduanya dipangku sambil bersabda, “Siapa yang mencintaiku hendaklah mencintai kedua anak ini.” (HR Abu Ya’la).

Sungguh indah.  Gambaran keluarga yang dicontohkan Rasulullah saw. memang sangat mengesankan.  Bahkan Aisyah ra. tidak mampu menemukan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Ia hanya sanggup mengatakan, “Semua yang ada pada diri beliau menakjubkan.”

Sebagai manusia dengan karakter kemanusiaannya, Rasulullah juga menghadapi berbagai permasalahan, riak-riak dalam kehidupan rumah tangga beliau. Beliau pernah menghadapi sikap merajuk istri-istrinya yang meminta tambahan nafkah. Bukan karena beliau miskin, tetapi beliau menjaga diri dan keluarganya dari ketamakan terhadap harta. Rasulullah saw. lebih memilih untuk  menginfakkan hartanya kepada orang-orang yang membutuhkan. Beliau tidak mengambil kecuali hanya sekadarnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sekalipun beliau memiliki bagian yang cukup besar dari harta ghanîmah.

Inilah yang membuat istri-istri beliau sempat tergoda untuk memiliki harta yang lebih banyak.  Mereka membuat kesepakatan untuk meminta tambahan nafkah kepada Rasulullah.  Rasulullah tidak lantas marah terhadap sikap istri-istrinya.  Beliau berusaha untuk mendidik mereka dengan menjauhkan diri dari istri-istrinya selama sebulan, sampai kemudian Allah menurunkan ayat: “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, `Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya aku berikan kepada kalian mut`ah dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik. Jika kalian menghendaki kerelaan Allah dan RasulNya serta kesenangan akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantara kalian pahala yang besar.’” (TQS al-Ahzab [33]:28-29).

Diriwayatkan oleh Jabir ra., setelah turun ayat tersebut pertama-tama Rasulullah saw. menyapa Aisyah ra., “Aisyah, akan aku tunjukkan kepadamu satu hal, tetapi aku tidak ingin engkau tergesa-gesa memutuskannya hingga engkau membicarakannya terlebih dulu dengan orang tuamu.  “Apa gerangan, wahai Rasulullah?” tanya Aisyah.  Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat diatas. Aisyah pun balik bertanya, “Apakah dalam masalah ini aku harus membicarakannya terlebih dulu kepada orangtuaku wahai Rasulullah? Aku pasti lebih memilih Allah, Rasul-Nya dan kehidupan akhirat.”

Rasulullah kemudian mendatangi istrinya satu-persatu dan membacakan ayat di atas.  Semua istrinya memilih untuk tetap menjadi istri beliau (HR Muslim).

Dengan karakter kemanusiaannya, Rasulullah saw. memberikan contoh-contoh yang nyata untuk menyelesaikan berbagai permasalahan rumah tangga beliau dengan baik.  Apa yang diberikan Rasulullah saw. kemudian diikuti oleh para Sahabat, tabi’in dan generasi-generasi sesudahnya.  Berbagai cerita indah tentang kehidupan rumah tangga mereka diriwayatkan turun temurun dan tercatat dalam kegemilangan sejarah Islam.

Di antaranya adalah Ibnu Abbas.  Beliau sangat menjaga hak-hak istrinya sebanding dengan kewajiban istri menjaga hak-haknya.  Beliau menuturkan, “Sungguh, aku suka berhias untuk istriku, sebagaimana ia berhias untukku.  Aku pun suka meminta agar ia memenuhi hakku, dan ia juga dipenuhi haknya yang wajib aku tunaikan untuk dia.  Sebab Allah SWT telah berfirman (yang artinya): para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (QS al-Baqarah [2]: 228).”

Ibnu Abbas juga bertutur, “Para istri berhak atas persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka wajib taat dalam hal yang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.” (An-Nabhani, 2003, Sistem Pergaulan Islam, hlm. 242-243).

Ali bin Abi Thalib ra. tidak segan-segan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan istrinya, Fathimah binti Muhammad saw. di rumah. Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah  saw. datang menjenguk Fahtimah, tepat pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya, “Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?” Jawab Ali, “Fathimah!” Fathimah lalu berhenti, diganti oleh ayahandanya menggiling tepung bersama  Ali ra.

Keseimbangan antara pemenuhan hak dan kewajiban suami-istri tidak boleh berjalan dengan timpang. Para istri sering diseru dengan kewajiban untuk taat pada suami.  Namun, tidak banyak diserukan kewajiban para suami untuk memperlakukan istri dengan makruf.    Seandainya para suami mau mempergauli istri mereka dengan makruf sebagaimana Ibnu Abbas dan Ali, niscaya taat itu sangat ringan bagi para istri.

Dalam Islam, masing-masing dari suami, istri maupun anak-anak telah dijelaskan hak dan kewajiban mereka.  Bila dilaksanakan hak dan kewajiban ini dengan landasan yang sama untuk menggapai keridhaan Allah, maka akan tercapailah kebahagiaan dalam keluarga. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × five =

Back to top button