Lebaran dan Pentingnya Silaturahmi
Alhamdulillah. Lebaran telah tiba. Tentu setiap keluarga Muslim begitu sukacita. Tak sedikit yang memanfaatkan lebaran sebagai momen untuk berkunjung ke rumah saudara dan kerabat. Banyak sanak saudara yang tinggal berjauhan, berbeda kota hingga beda pulau, atau bahkan yang tinggal di luar negeri pun akhirnya bisa saling bertemu.
Sebagian karena menganggap itu sebagai bagian dari tradisi hari raya, juga dorongan rindu. Sebagian lainnya meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari menyambung tali silaturahmi yang diperintahkan Allah SWT.
Memahami Pentingnya Silaturahmi
Silaturahmi atau silaturahim (صِلَةُ الرَّحِمِ /shilah ar-rahim) menurut bahasa berasal dari kata “shilah” dan “ar-rahim”. Shilah artinya hubungan. Ar-Rahim (bentuk jamaknya al-arhâm) berarti rahim dan kerabat. Kata “arhâm” dalam al-Quran disebutkan sebanyak tujuh kali dengan makna “rahim” dan lima kali dengan makna “kerabat”. Karena itu silaturahmi secara bahasa adalah hubungan yang muncul karena rahim atau hubungan kekerabatan yang terkait melalui rahim.
Menurut Imam an-Nawawi, silaturahmi adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan keadaan orang yang hendak menghubungkan dan keadaan orang yang hendak dihubungkan. Kadang berupa kebaikan dalam hal harta. Kadang dengan memberi bantuan tenaga. Kadang dengan saling mengunjungi, memberi salam dan cara lainnya. (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 2/201).
Allah SWT telah memerintahkan berbuat baik kepada kerabat (Lihat: QS an-Nahl [16]: 90).
Abu Ayyub al-Anshari ra. menuturkan: Seorang laki-laki pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku perbuatan yang dapat memasukkan diriku ke dalam surga.” Orang-orang berkata, “Ada apa dengan dia? Ada apa dengan dia?” Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah Tuhan bersama dia?” Beliau melanjutkan, “Engkau menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan Dia dengan apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menjalin silaturahim.” (HR al-Bukhari).
Nabi Muhammad saw. bersabda dalam riwayat lain, “Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi.” (HR Mutttafaq ‘alaih).
Nas-nas di atas menjelaskan tentang perintah bersilaturahmi. Juga tentang bagaimana keutamaan silaturahmi yang bisa melapangkan rezeki dan memanjangkan umur serta memasukkan seseorang ke dalam surga. Begitu pentingnya silaturahmi ini sehingga dinyatakan dalam banyak ayat dan hadis.
Kepada Siapa Menjalin Silaturahmi?
Allah SWT telah memerintahkan kita untuk menjalin hubungan dengan kerabat serta berbuat baik kepada mereka. Kerabat ada dua macam. Pertama: Kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal. Mereka terdiri dari dua kelompok, yakni ashâbul-furûdh (orang-orang yang tercantum dalam daftar penerima warisan) dan al-‘ashabah (mereka yang tidak memiliki bagian yang ditentukan dari warisan, tetapi syariah menyatakan mereka bisa mengambil sisa dari harta warisan).
Kedua: Dzawi al-arhâm. Mereka adalah orang-orang yang tidak mendapatkan bagian warisan dan bukan pula ‘ashabah. Mereka berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari: (1) Bibi dari pihak bapak; (2) Bibi dari pihak ibu; (3) Kakek dari ibu; (4) Putra dari anak perempuan; (5) Putra dari saudara perempuan; (6) Anak perempuan dari saudara laki-laki; (7) Putri dari paman pihak bapak, (8). Putri dari paman pihak ibu; (9) Paman dari ibu; (10) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; serta siapa saja yang memiliki hubungan dekat dengan mereka. (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm).
Kepada kedua macam kerabat inilah seharusnya kita menjalin silaturahmi. Adapun yang tidak ada hubungan kerabat dengan kita, berbuat baik kepada mereka tidak termasuk dalam menjalankan perintah bersilaturahmi. Pahalanya pun tidak sama dengan pahala bersilaturahmi.
Cara Menjalin Silaturahmi
Silaturahmi bisa kita lakukan kapan saja. Hanya saja, tidak bisa dipungkiri, karena kesibukan dan jarak yang berjauhan, waktu yang sangat memungkinkan bertemu dengan saudara dan kerabat adalah saat hari raya. Inilah momen kita untuk benar-benar menjalin silaturahmi.
Silaturahmi bisa diwujudkan dengan saling memberi perhatian dan kepedulian satu sama lain. Dengan begitu kita bisa saling mengetahui dan memahami kondisi masing-masing keluarga. Kita bisa membantu dan meringankan kerabat yang kesulitan. Jika mereka miskin, bisa kita beri zakat atau sedekah dengan syarat mereka bukan orang yang nafkahnya dalam tanggungan kita. Adapun jika mereka termasuk orang yang mampu, bisa kita beri hadiah.
Salah satu kemuliaan ajaran Islam adalah sunah saling memberi hadiah. Hal ini akan melembutkan hati, menimbulkan rasa cinta dan kasih saying; juga menghilangkan perasaan yang dapat merusak persaudaraan, seperti hasad, dengki, dendam dan iri.
Rasulullah saw. bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّو
Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai (HR al-Bukhari).
Silaturahmi juga dilakukan dengan memberikan nasihat pada kerabat yang melakukan keburukan dan kemaksiatan. Silaturahmi bisa menjadi sarana dakwah, mengajak mereka untuk taat kepada Allah secara kâffah, secara keseluruhan. Tentu saja hal tersebut dilakukan dengan memilih waktu dan cara yang tepat supaya target menyampaikan kebenaran Islam tidak mengganggu suasana akrab dan menyenangkan saat bersilaturahmi.
Haram Memutus Silaturahmi
Haram memutus tali silaturahmi. Siapa pun yang melakukan demikian, nerakalah yang lebih layak untuk dirinya. Rasulullah saw. bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus (tali silaturahmi) (HR Muslim).
Setelah itu Rasulullah saw. bersabda: Jika kalian mau, bacalah ayat ini:
فَهَلْ عَسَيْتُمْ اِنْ تَوَلَّيْتُمْ اَنْ تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَتُقَطِّعُوْا اَرْحَامَكُم
Apakah sekiranya kalian berkuasa, kalian akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? (QS Muhammad [47]: 22) (HR Muttafaqun ‘alaih).
Rasulullah saw. juga bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
Orang yang menyambung silaturahmi itu bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin. Akan tetapi, orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus (HR al-Bukhari).
Agar Silaturahmi Tak Sekadar Tradisi
Dari berbagai penjelasan di atas, tampak jelas bahwa silaturahmi adalah bagian dari syariah Islam. Semuanya berhubungan dengan kewajiban berbuat baik kepada keluarga maupun kerabat. Untuk itu, sangat disayangkan jika banyak di antara keluarga Muslim yang masih memahami silaturahmi hanya sebatas tradisi hari raya sehingga mencukupkan silaturahmi hanya pada saat itu saja.
Ada juga yang menganggap silaturahmi cukup dengan menanyakan kabar di telepon, atau saling menyapa di media sosial, atau cukup dengan membuat forum-forum pertemuan keluarga. Tentu saja tak cukup hanya dengan itu. Silaturahmi adalah mencakup semua perbuatan baik kepada kerabat. Menghormati mereka, menyantuni ketika mereka kekurangan, mengunjungi mereka, saling memberi hadiah, saling tolong-menolong, juga saling menasihati dalam kebaikan dan takwa. Yang tak kalah penting adalah menjauhkan diri dari pecahnya persaudaraan. Semua amalan tersebut termasuk dalam makna bersilaturahmi.
Apalagi ada sebagian keluarga Muslim yang mengganti silaturahmi saat lebaran dengan berbagai kegiatan hiburan, seperti jalan-jalan di mal-mal, pergi ke tempat tempat wisata, nonton bioskop dan sebagainya. Tak ada lagi acara kunjung mengunjungi saudara dan kerabat. Tentu ini sangat disayangkan.
Sudah seharusnya semua keluarga Muslim memahami betapa pentingnya silaturahmi ini sehingga benar-benar memanfaatkan momen lebaran untuk bersilaturahmi. Kemudian berusaha menjalin silaturahmi dan berbuat baik kepada kerabat tidak hanya saat lebaran, tetapi juga setiap saat, setiap ada waktu dan kesempatan, selama Allah masih memberikan kemampuan kepada kita untuk bisa menjalin silaturahmi ini.
Mari kita menjalin silaturahmi ini dengan niat menjaga hubungan kekeluargaan dan kekerabatan demi menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Tentu demi meraih ridha-Nya. Bukan sekadar menjalankan tradisi.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Wiwing Noeraini]