Fikih

Kepemimpinan Individual Dalam Islam

Soal:

Di antara pemikiran yang diadopsi Hizb bahwa kepemimpinan dalam Islam bersifat individual. Artinya, di tangan Khalifahlah semua kewewenangan negara. Dengan demikian negara identik dengan Khalifah. Khalifah berhak menjadi penguasa, qadhi dan apa saja.

Ini bertentangan dengan ucapan yang disebutkan di dalam kitab Ad-Dawlah halaman 129: Begitulah, Rasul saw. mendirikan sendiri struktur Daulah Islam. Beliau menyempurnakan dawlah tersebut semasa hidup beliau. Beliau menjadi kepala negara. Beliau memiliki para mu’awin, wali (kepala daerah), qadhi, tentara, direktur berbagai direktorat dan majelis untuk merujuk pendapat dalam hal syura. Struktur ini dalam bentuk dan wewenangnya merupakan thariqah yang wajib diikuti. Itu bersifat global yang sudah terbukti secara mutawatir.

Bagaimana penjelasannya?

 

Jawab:

Di dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz II dalam pembahasan al-imârah (kepemimpinan) memang dinyatakan:

 

Pemimpin (amîr) ini diharuskan oleh syariah hanya satu, tidak boleh lebih dari satu. Islam tidak mengenal komando kolektif dan tidak mengenal kepemimpinan kolektif. Dalam Islam komando dan kepemimpinan itu bersifat individual (fardiyah). Kepala (ar-ra’îs), pemimpin (al-amîr) atau komandan (al-qâ’id) itu wajib satu. Tidak boleh lebih. Dalil atas hal itu tampak jelas dalam nas hadis-hadis terdahulu dan dalam perbuatan Rasul saw. Semua hadis terdahulu mengatakan “ahadahum (salah seorang dari mereka)”  atau “ahadakum (salah seorang dari kalian)”. Kata ahad bermakna satu. Itu menunjukkan jumlah, yakni satu, tidak lebih. Hal itu bisa dipahami dari mafhum mukhalafah. Mafhum mukhalafah pada hitungan, sifat, tujuan dan syarat diamalkan tanpa membutuhkan nas. Mafhum mukhalafah itu tidak diabaikan kecuali dalam satu kondisi, yaitu jika dibatalkan oleh nas…

Berdasarkan hal itu, sabda Rasul saw. “fal yuammirû ahadahum (Hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin),” “illâ ammarû ahadahum (kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin,”, “fa ammirû ahadakum (maka angkatlah salah seorang dari kalian menjadi pemimpin),”, mafhum mukhalafah dalam hadis-hadis ini menunjukkan bahwa tidak boleh mengangkat lebih dari seorang menjadi pemimpin. Dari sini maka kepemimpinan itu hanya untuk satu orang. Tidak boleh untuk lebih dari satu orang sama sekali sesuai pernyataan teks hadis-hadis tersebut secara manthuq dan mafhum. Hal itu dikuatkan oleh perbuatan Rasul saw. Beliau dalam semua peristiwa pengangkatan pemimpin, maka beliau mengangkat satu orang menjadi pemimpin, tidak lebih. Beliau sama sekali tidak mengangkat lebih dari satu orang di satu tempat.

Berdasarkan hal itu, tidak boleh, untuk satu perkara ada dua ketua, dan tidak boleh untuk satu tempat ada dua kepala. Sebaliknya, wajib kepala itu hanya satu saja dan haram lebih dari satu. Hanya saja harus diketahui bahwa kepemimpinan dan komando di dalam Islam itu bukan za’âmah, sebab za’âmah itu menuntut az-za’îm (pemimpin) diikuti.

Adapun ar-ri’âsah (kepemimpinan) dalam Islam tidak lain menjadikan raîs (ketua/kepala) memiliki hak memelihara berbagai urusan dan kekuasaan pada perkara di bawah kepemimpinannya, juga mengimplementasikan kepemimpinan itu dalam apa saja yang masuk di bawah kepemimpinannya sesuai wewenang yang disematkan kepada dirinya sebagai amîr (pemimpin). Tentu dalam batas-batas yang telah diberikan oleh syariah berkaitan untuk perkara yang untuk itu dia diangkat menjadi raîs (kepala/pemimpin).

 

Pernyataan di atas, yakni bahwa komando dan kepemimpinan dalam Islam bersifat individual, tidak bertentangan dengan apa yang ada dalam kitab Ad-Dawlah al-Islâmiyah  di atas.

Kedua teks ini tidak bertentangan. Keduanya benar-benar selaras.  Teks pertama dalam kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz II berbicara tentang kepemimpinan dari sisi substansinya dalam Islam baik imârah (kepemimpinan) safar, jamaah atau kepemimpinan umum untuk kaum Muslim, yakni Khilafah. Jadi kepemimpinan dalam Islam bersifat individual dan tidak bersifat kolektif. Artinya, tidak boleh sekelompok orang menjadi pihak yang memegang wewenang dalam kepemimpinan. Wewenang kepemimpinan itu hanya milik satu orang saja. Dialah yang memiliki keputusan akhir. Perkara ini, meski merupakan hukum syariah, juga begitu dari sisi fakta. Fakta membuktikan, tidak akan lurus ketika wewenang dalam kepemimpinan dan pemerintahan bersifat kolektif. Wewenang kepemimpinan harus bersifat individual, yakni akhir keputusan dalam perkara itu kepada satu orang. Begitulah Khilafah, yakni kepemimpinan umum untuk seluruh kaum Muslim, adalah individual.  Artinya, pemilik wewenang di dalam Khilafah hanya satu orang yang dibaiat dengan jabatan Khilafah. Dengan baiat itu dia memiliki semua wewenang pemerintahan, kekuasaan dan pengadopsian berbagai hukum tanpa pengecualian.

Namun demikian, wewenang kepemimpinan yang diberikan hanya kepada Khalifah tidak berarti menjadikan Khalifah melakukan semua aktivitas pemerintahan dan kekuasaan. Yang benar, keberadaan wewenang itu milik Khalifah. Semua kewenangan dalam pemerintahan dan kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain bersandar pada Khalifah. Khalifahlah yang menunjuk orang yang mewakili dirinya. Jadi kewenangan semua penguasa di dalam Khilafah—baik para mu’awin, para wali,  para qadhi, struktur administrasi dan pasukan, dsb—karena posisi mereka sebagai wakil khalifah. Karena itu pada dasarnya tidak ada seorang pun yang memiliki wewenang-wewenang itu sedikitpun, kecuali dia menjadi wakil Khalifah.

Dengan demikian wewenang itu satu perkara, sementara pelaksanaannya adalah perkara yang lain. Rasul saw. memiliki semua wewenang pemerintahan dan kekuasaan. Namun, beliau tidak melakukan semua aktivitas pemerintahan dan kekuasaan. Dalam banyak urusan pemerintahan dan kekuasaan beliau menunjuk orang lain. Demikian sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam ad-Dawlah al-Islâmiyah dan buku-buku Hizb lainnya. Selama hidup, Rasul saw. membentuk struktur negara yang lengkap. Perbuatan Rasul saw. menunjukkan bahwa struktur ini, dalam bentuk dan wewenangnya, merupakan thariqah (metode) yang wajib diikuti. Artinya, ia merupakan hukum syariah, dan bukan merupakan uslub yang bisa berubah sesuai perubahan situasi dan keadaan. Penegakan stuktur negara tidak bertentangan dengan berbagai wewenang yang menjadi milik Khalifah. Sebab Rasul saw. pun memiliki semua wewenang itu. Namun, beliau menegakkan struktur negara dan mendelegasikan wewenang-wewenang tersebut. Dengan demikian perbuatan Rasul saw. itu merupakan dalil paling besar bahwa tidak bertentangan antara berbagai wewenang yang menjadi milik Khalifah dengan penegakan struktur negara yang memiliki wewenang-wewenang karena semuanya bersandar pada wewenang khalifah. Struktur itu membantu Khalifah dalam mengatur urusan-urusan negara berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Khalifah kepada mereka. Inilah juga yang berlangsung pada masa Rasul saw. Meski negara yang didirikan oleh Nabi saw. kecil, pengelolaannya membutuhkan pembentukan struktur yang membantu Nabi saw dalam menegakkan pemerintahan dan memelihara urusan-urusan masyarakat. Lalu bagaimana lagi jika negara itu besar dan wilayahnya luas?!

Meskipun demikian, wewenang Khalifah dibatasi oleh hukum syariah. Jika dia menyimpang dari hukum syariah dan menzalimi rakyat atau tidak baik dalam menerapkan syariah, maka Mahkamah Mazhalim akan memeriksa perkaranya dan memiliki wewenang untuk mencopot Khalifah sesuai ketentuan hukum-hukum syariah. (Lihat: Muqaddimah ad-Dustûr, Pasal 78, Pasal 88, Pasal 90) Oleh karena itu, tidak ada kekebalan untuk Khalifah di depan peradilan. Jika Khalifah salah maka dia dimintai pertanggungjawaban. Jika ia layak dicopot maka ia harus dicopot.

Atas dasar itu, meskipun seluruh wewenang milik Khalifah, dia tetap terikat dengan hukum-hukum syariah di depan Mahkamah Mazhalim.

 

[Dari Soal-Jawab Amir Hizbut Tahrir, Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu Rasytah- 14 Jumadul Akhirah 1440 H/19 Februari 2019 M]

 

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/58123.html

https://web.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192/1004449876418750/%D8%9Ftype=3&theater

https://plus.google.com/u/0/b/100431756357007517653/100431756357007517653/posts/LkjDcHf4KCt

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 − 4 =

Back to top button