Status Hadiah Dalam Jual-Beli
Soal:
Sebagian pemilik toko melakukan suatu jenis promosi sebagai berikut:
Jika pembeli membeli dari toko tersebut dengan nilai yang setara dengan 20 Dinar, maka pembeli tersebut boleh ikut undian misterius sehingga mendapatkan hadiah. Pertanyaannya: Apakah yang seperti ini haram atau boleh?
Lalu jika konsumen itu dicatat (disertakan ke dalam peserta undian) oleh pemilik toko tanpa sepengetahuan pembeli, apakah pembeli itu masuk dalam keharaman? Ataukah keharaman itu hanya bagi pemilik undian?
Jawab:
Kami telah mempublikasikan Jawab-Soal atas pertanyaan semisal itu pada 14/5/2007. Saya kutipkan kepada Anda sebagai berikut:
Bai’ al-gharar (jual-beli manipulatif) adalah batil. Barang yang dibeli itu harus ma’lûmah (jelas). Jika barang yang dibeli itu jelas, jual-beli itu absah. Jika tidak maka ketidakjelasan barang yang dibeli membuat jual beli itu batil.
Adapun kondisi yang dimaksud faktanya berbeda. Karena itu hukumnya juga berbeda (dengan bai’ al-gharar):
- Memberi sejumlah tertentu kepada pembeli, sebagai tambahan atau hadiah, hal itu adalah boleh. Jual beli itu absah. Tambahan tersebut termasuk hibah dan statusnya juga absah.
- Meletakkan hadiah tertentu yang jelas (ma’lûmah) di dalam barang tertentu yang jelas (ma’lûmah), berupa sendok, jam anak-anak, dll, atau di dalamnya diletakkan suatu lembaran yang di dalamnya tertulis nama hadiah agar pembeli yang mendapatkannya di dalam barang yang ia beli, ia pergi ke pedagang untuk mengambil hadiah atau bonus yang jelas dan tertulis di lembaran tersebut, maka praktik seperti ini boleh. Jual-beli itu sah selama barang yang dibeli itu jelas (ma’lûmah), misalnya kotak-kotak tisu dan di dalam sebagian kotak itu terdapat hadiah. Jual-beli itu absah karena harga kotak tisu itu yang di dalamnya terdapat jam yang merupakan hadiah, telah dibayarkan. Jika di dalamnya tidak terdapat hadiah maka itu juga boleh. Sebabnya, yang dibeli adalah kotak tisu dan harganya telah dibayar. Penjual tidak terikat untuk memberikan hadiah terhadapnya. Jika di dalamnya ada hadiah maka hukumnya boleh. Jika tidak ada maka hukumnya juga boleh.
- Adapun menjual kotak yang tertutup dan tidak diketahui apa sisi di dalamnya, kadang kotak itu kosong, kadang di dalamnya ada barang yang nilainya di atas harga yang dibayarkan, atau sama, atau kurang dari harga yang dibayarkan, maka yang seperti ini merupakan jual-beli manipulatif (bai’ al-gharar). Jual-beli seperti ini tidak boleh.
- Menempatkan nomor di suatu barang tertentu yang jelas (ma’lûmah), lalu pemiliknya dikenakan pungutan keikutsertaan dalam memperebutkan hadiah, maka praktek ini lebih di-rajih-kan termasuk judi (al-maysir). Hal itu karena judi (al-maysir atau al-qimâr), yang menang mengambil dari yang kalah atau yang beruntung mengambil dari yang tidak beruntung. Setiap perkara yang mana di dalamnya beberapa pihak orang berserikat dalam bentuk bahwa yang menang mengambil dari yang kalah, maka hal itu termasuk judi.
Seandainya beberapa orang bermain kartu dan orang yang menang mengambil (sesuatu) dari yang kalah maka itu merupakan judi. Jika dua orang berlomba mengendarai kuda atau naik tangga atau mobil, lalu orang yang menang dalam pertandingan itu mengambil (mendapatkan) dari yang kalah maka itu merupakan judi. Jika sepuluh orang menuliskan nama mereka atau nomor di kartu, lalu mereka meletakkan di sebuah kotak dan mereka menarik satu kartu, kemudian pemilik kartu itu mengambil dari mereka yang tidak keluar kartunya, maka itu merupakan judi dan hukumnya haram. Begitu seterusnya.
Sekarang kita lihat nomor-nomor yang diletakkan di barang yang dibeli kemudian diundi. Yang rajih, penjual telah memperhitungkan harga hadiah. Misalnya, hadiah yang diundi nilainya seribu (1.000) Dinar, dan nomornya adalah (50). Nomor itu diletakkan bersama (nomor-nomor lain) di setiap kotak dari sepuluh ribu kotak, yang mana nomor 1 diletakkan di kotak pertama, nomor 2 di kotak kedua, nomor 3 di kotak ketiga. Demikian seterusnya hingga nomor 10.000 diletakkan di kotak kesepuluh ribu, dan di antaranya adalah nomor 50 (di kotak kelima puluh). Penjual memasukkan (memperhitungkan) harga hadiah (seribu Dinar) di dalam harga sepuluh ribu kotak. Jadi ia tidak menjual kotak itu dengan harga satu Dinar perkotak, tetapi ia jual dengan tambahan harga 10 Qirsy (artinya harganya 1 Dinar 10 Qirsy) perkotak. Pada saat dilakukan pengundian setelah sepuluh ribu kotak itu terjual, maka si penjual telah mendapatkan tambahan sebanyak 10.000 x 10 Qirsy = 1.000 Dinar, yaitu harga hadiah yang dia bayarkan kepada pemenang. Dengan demikian pemenang itu telah mengambil (mendapatkan) hadiah dari harta para pembeli lain yang tidak beruntung nomornya, meski masalah itu tidak diumumkan.
Di sini mungkin ada yang mengatakan, bahwa pedagang menjual barang seperti biasa sebagaimana andai dia tidak meletakkan nomor-nomor yang diundi dengan hadiah itu untuk mendorong para konsumen dan memikat mereka agar membeli barangnya; juga bahwa tidak memasukkan dalam perhitungannya mendapatkan harga hadiah dari selisih harga tersebut. Hal ini meski mungkin, yakni bahwa hadiah yang diletakkan itu tanpa tambahan dalam harga sebagai penarik untuk para konsumen, namun itu adalah kemungkinan yang lemah, khususnya pada saat hadiah tersebut nilainya besar seperti undian mobil atau semisalnya.
Dalam semua kondisi, hal itu meski tidak atas kerugian nomor-nomor orang yang kalah (tidak beruntung), maka hal itu termasuk dalam perkara-perkara syubhat.
Oleh karena itu, saya menasihatkan agar saudara-saudara yang membeli barang yang ada nomor undiannya, agar tidak ikut serta dalam undian, dan hendaknya mereka menyobek nomor yang ada di dalam barang yang dibeli sehingga setan tidak bisa menggoda mereka untuk terus memperhatikan undian tersebut. 27 Rabi’ul Akhir 1428 H/14 Mei 2007 M). Selesai.
Sebagaimana yang Anda lihat, apa yang saya rajih-kan adalah bahwa si penjual telah menambah dalam harga barang tersebut apa yang mengkompensasi nilai hadiah itu, minimalnya. Jadi yang memenangkan mobil (hadiah), dia telah mengambil dari tambahan tersebut yang ditanggung oleh para pemilik nomor yang tidak menang. Jadi apa yang saya rajih-kan adalah bahwa muamalah ini tidak boleh. Minimalnya, seperti yang saya sebutkan di atas, hal itu ada di bawah perkara-perkara syubhat. Seorang Mukmin tentu harus menjauhi apa yang di dalamnya ada keraguan. Imam at-Tirmidzi telah mengeluarkan dan dia berkata, “Hadis ini hasan shahih,” dari Abu al-Hawra’ as-Sa’di, yang berkata: Aku berkata kepada al-Hasan bin ’Ali: Apa yang engkau hapal dari Rasulullah saw.? Dia berkata: Aku hapal dari Rasulullah saw. hadis berikut:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَالَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَة وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَة
Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu karena kejujuran itu merupakan ketenteraman dan kedustaan itu merupakan keraguan (kegelisahan).
Namun, jika Anda yakin bahwa penjual tidak menambah pada harga barang dengan kadar harga hadiah, melainkan dia memberi hadiah ini karena Allah sebagai hadiah untuk orang-orang dalam rangka promosi untuk barang dagangannya, maka masalah tersebut memerlukan kajian yang lain!
WalLâh a’lam wa ahkam.
[Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, 29 Muharram 1443 H/06 September 2021 M]
Sumber:
http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/77555.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/3010733745839296