Baiti Jannati

Agar Tak Terpapar Propaganda ChildFree

Keinginan memiliki anak adalah salah satu bentuk penampakan dari adanya gharizah naw’, yakni naluri melestarikan keturunan yang telah Allah anugerahkan pada setiap manusia.  Naluri ini merupakan fitrah yang menyertai penciptaan manusia. Mereka yang terjaga fitrahnya akan memiliki keinginan untuk mempunyai anak dan mencintai anak (Lihat: QS Ali Imran [3]: 14).

Namun, naluri ini sekarang telah dirusak dan digerus oleh arus pemahaman sekularisme-kapitalisme.  Anak dan keturunan tidak lagi menjadi harapan yang diidamkan kehadirannya.  Mereka justru dianggap akan menjadi beban yang memberatkan. Karena itu tidak sedikit dari mereka yang menyatakan enggan memiliki anak. Bahkan ada terang-terangan tidak mau memiliki keturunan.  Pemikiran seperti ini lebih dikenal dengan istilah childfree.

 

Childfree dalam Pandangan Islam

Childfree adalah pemikiran yang bertentangan dengan fitrah manusia. Juga tidak sesuai dengan ajaran Islam.  Dalam nash-nash syariah dijelaskan bahwa anak adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah SWT yang diberikan kepada siapapun yang Dia kehendaki.  Kehadiran mereka di dunia ini sepenuhnya merupakan hak Allah SWT (Lihat: QS asy-Syura [42]: 49-50).

 

Memahami Alasan Childfree

Berbagai alasan dikemukakan oleh mereka yang menyatakan sebagai penganut faham childfree. Di antaranya: Pertama, khawatir dengan kondisi kehidupan yang penuh krisis dan ketidakjelasan masa depan.  Beratnya kehidupan yang dijalani serta berbagai kesulitan yang dihadapi membuat sebagian orang merasa pesimis dengan kehidupan mendatang.  Mereka tidak yakin bisa melewati kehidupan ini dengan aman, bahagia dan sejahtera.  Dalam bayangannya, masa depan akan lebih suram daripada kehidupan sekarang.  Karena itu kehadiran anak harus dihindarkan agar tidak menambah beban dan tidak memperbanyak korban penderitaan.

Kedua, kondisi ekonomi yang semakin sulit.  Kapitalisme telah merampas keadilan dan kesejahteraan dari rakyat banyak.  Penerapan sistem ini hanya berpihak kepada para pemilik modal. Sebagian besar masyarakat justru kian terpuruk dalam kesulitan ekonomi.  Tidak sedikit realitas kehidupan menunjukkan para kepala keluarga kesulitan untuk memberikan nafkah yang layak bagi anak dan istirinya.  Mereka pun terus dihimpit kemiskinan.  Ujungnya muncul pemikiran bahwa kelahiran anak akan memperberat keadaan, karena secara finansial akan menambah biaya yang harus dikeluarkan.

Ketiga, bagi sebagian perempuan kondisi kehamilan, proses melahirkan, masa menyusui, mengasuh dan mengurus anak dianggap sebagai sesuatu yang tidak enak dan merepotkan.

Keempat, kehadiran anak dianggap akan merampas kebebasan diri dan bisa menghambat  karir orangtua, terutama bagi perempuan yang akan menjadi ibu.  Mereka khawatir ketika sudah memiliki anak tidak bisa lagi meraih prestasi yang tinggi.

Kelima, merasa tidak siap menjadi orangtua karena belum tahu ilmunya dan tidak memiliki kecakapan yang cukup.  Menurut mereka, pilihan tidak memiliki anak adalah keputusan yang tepat daripada nantinya tidak bisa mengurus anak dengan baik dan menelantarkan mereka.

 

Menjawab Keresahan

Agar pemikiran childfree ini tidak terus merasuki generasi Muslim, harus ada langkah-langkah yang dilakukan oleh para orangtua untuk melindungi mereka dari paparan pemikiran yang menyesatkan ini.  Berikut beberapa upaya yang harus ditempuh:

Pertama, anak diajak untuk memahami hakikat kehidupan.  Hidup adalah amanah dari Allah SWT dalam rangka beribadah kepada Nya.  Nilai hidup ditentukan oleh ketaatan pada syariah-Nya.  Termasuk dalam memutuskan memiliki anak atau tidak, harus didasarkan pada ketentuan syariah-Nya. Penting juga dijelaskan bahwa berbagai masalah kehidupan yang terjadi sejatinya karena penerapan sekularisme kapitalisme.  Solusinya bukan dengan menghindari untuk memiliki anak, namun dengan mengganti sistem yang salah tersebut dengan menerapkan sistem aturan Allah Yang Mahatahu mana yang baik untuk manusia.  Ketika sistem ini hadir, setiap orang akan dimudahkan untuk menjalankan perannya dengan baik.  Orangtua akan dibantu untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan benar.  Lewat penerapan sistem pendidikan Islam, orangtua dibantu dalam mendidik anak.  Dengan sistem ekonomi yang menyejahterakan, kepala keluarga akan difasilitasi dalam memenuhi nafkah keluarga.  Penerapan sistem pergaulan Islam akan  melindungi anak-anak dari ancaman, dll.

Kedua, anak harus memahami konsep rezeki dengan benar.  Allahlah Yang menciptakan semua makhluk dan Dia pula yang memberikan rezeki kepada mereka (Lihat: QS al-An’am [6]: 151; QS at-Taubah [9]: 28).

Jadi tidak patut kita mengkhawatirkan ancaman kemiskinan di balik kelahiran anak.  Namun demikian, orangtua juga harus melengkapi konsep rezeki ini dengan penyiapan kemampuan bekerja mencari nafkah bagi anak laki-laki yang kelak akan menjadi kepala keluarga.

Ketiga, anak diberi gambaran yang objektif tentang realitas fungsi keibuan. Tidak bisa dipungkiri memang kondisi hamil berbeda dengan keadaan biasanya.  Fisik dan psikis wanita hamil banyak mengalami perubahan.  Perubahan hormon berdampak pada beberapa keluhan seperti pusing, mual, muntah-muntah dan lemes.  Secara psikis juga tidak sedikit yang mengalami kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan.  Namun demikian, semua itu insya Allah ada obatnya, yakni ikhlas atas kondisi kehamilannya bahwa itu adalah salah satu ketentuan Allah yang diberikan.  Hamil adalah awal mula fase yang harus dilewati utuk mendapatkan amanah anak. Kecemasan dan kekhawatiran bisa diredam dengan terus meningkatkan ketawakalan pada Allah SWT.

Keempat, anak bukanlah gangguan bagi kebebasan orangtuanya, juga bukan penghambat karir mereka.  Kehadiran anak adalah penyejuk hati, penyenang jiwa (QS al-Furqan [25]: 74). Kehadiran anak akan mendatangkan limpahan pahala yang tidak akan terhenti sekalipun kita sudah meninggalkan dunia yang fana ini.  Rasulullah úý bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُه إِلَّا مِنْ ثَلَاثَة مِنْ صَدَقَة جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه

Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang shalih yang selalu mendoakan (HR Muslim).

 

Kelima, ketidakmampuan jangan dijadikan alasan untuk menjauhi suatu perkara.  Perasaan bahwa dirinya belum mampu menjadi orangtua tidak bisa jadi argumen untuk menolak kehadiran anak.  Justru sebaliknya, kesadaran ini mestinya menjadi pendorong untuk bersegera mempersiapkan diri serta tidak menunda untuk menambah ilmu dan pengetahuan terkait rumah tangga dan pendidikan anak.

Keenam, anak harus paham bahwa kegagalan masa lalu bukan perkara yang harus ditakuti. Yang harus dilakukan adalah mengetahui apa akar masalahnya sehingga tidak terulang kembali di masa kini.

Ketujuh, menanamkan pemahaman bahwa anak-anak Muslim itu dibanggakan Nabi úý.  Beliau bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kalian di hadapan para nabi nanti pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad).

Kedepalan, orangtua memberi contoh nyata bahwa interaksi dalam keluarga dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang.

 

Kehadiran Generasi Shalih

Lahirnya generasi shalih sejatinya bukan semata keberkahan bagi kedua orangtuanya, namun juga akan mendatangkan kebaikan bagi umat Islam seluruhnya.  Di pundak merekalah harapan khayru ummah akan diraih.  Lewat perjuangan mereka, kejayaan Islam akan kembali tegak.

Karena itu propaganda childfree tidak boleh dibiarkan merasuki pemikiran umat.  Mereka harus disadarkankan bahwa perjuangan butuh regenerasi yang berkelanjutan.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Dedeh Wahidah Achmad]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − nine =

Back to top button