Gawat Darurat Ekonomi Indonesia
Pandemi Covid-19 tidak hanya memporak-porandakan sistem kesehatan Indonesia, namun juga membuat kondisi ekonominya semakin gawat. Hingga pertengahan Agustus, Indonesia menempati urutan ke-10 negara dengan jumlah kematian terbanyak akibat pandemi Covid-19, dengan jumlah mendekati 114 ribu orang. Semua itu bersumber dari kebijakan Pemerintah yang amburadul dalam penanganan pandemi tersebut.
Kebijakan pembatasan sosial yang serba tanggung tanpa disertai dengan pemberian bantuan sosial secara cukup dan berkelanjutan selama masa pandemi menyebabkan jutaan penduduk terlunta-lunta hidupnya. Jumlah pengangguran meningkat tajam selama masa pandemi. Pada bulan Februari 2021, jumlah pekerja yang terdampak pandemi mencapai 19 juta orang, baik menganggur, mendapat pemotongan jam kerja, hingga sementara tidak bekerja.
Pengangguran yang meningkat tersebut berdampak pada naiknya jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin meningkat dari 26,4 juta orang pada Maret 2020 menjadi 27,5 juta orang pada Maret 2021. Angka tersebut belum termasuk penduduk menengah bawah yang pendapatannya sedikit di atas garis kemiskinan. Sebelum pandemi saja, menurut data BPS, penduduk yang rentan dan hampir miskin mencapai 67 juta orang. Tragisnya, penduduk yang mengalami kesulitan ekonomi tersebut tidak mendapatkan bantuan yang memadai dari Pemerintah. Bantuan Pemerintah lewat Bansos tetap saja bermasalah, baik salah sasaran, cakupan penerima yang sangat kecil, nilai bantuan yang minim, dan intensitas yang hanya sekali dua kali selama pandemi. Karena itu banyak rumah tangga miskin yang sama sekali tak mendapatkan bansos meskipun hanya sebutir beras. Pada saat yang sama mereka dilarang untuk mencari nafkah oleh Pemerintah.
Dampak lain dari buruknya penanganan pandemi adalah keuangan negara yang semakin tidak sehat. Pada awal pandemi, di tengah penurunan pendapatan negara, Pemerintah mengambil kebijakan yang melebarkan defisit APBN hingga mencapai 6,1 persen terhadap PDB. Pada tahun 2021, setelah terbukti tidak mampu menyerap anggaran secara optimal, Pemerintah mengurangi defisit menjadi 5,7 persen. Kebijakan Pemerintah yang tidak matang mengakibatkan anggaran penanganan Covid-19, yang mencapai Rp 1.440 triliun dalam dua tahun ini tidak sebanding dengan manfaatnya. Pandemi masih sulit dikendalikan. Kesejahteraan masyarakat bawah kian memburuk. Pihak yang diuntungkan adalah segelintir pejabat yang mengkorupsi anggaran jumbo tersebut.
Kebijakan fiskal tersebut telah menimbulkan goresan yang mendalam pada sejarah perekonomian nasional. Utang Pemerintah naik tajam lebih dari 1000 triliun rupiah, menjadi Rp 6.554 triliun per Juni 2021. Dampaknya, saat pendapatan negara merosot, belanja APBN untuk pembayaran utang naik menjadi Rp 373 triliun pada tahun 2021. Kondisi tersebut diperparah oleh keuangan sejumlah BUMN yang berdarah-darah. Tidak hanya menanggung utang yang sangat besar, tetapi juga mengalami kerugian besar pada tahun lalu. Jika kondisi mereka semakin buruk, mau tidak mau, Pemerintah terpaksa harus turun tangan untuk menyelamatkan mereka melalui suntikan Penanaman Modal Negara (PNM), menjual aset mereka, atau bahkan melego saham mereka kepada investor asing. Kedua langkah pertama telah dilakukan Pemerintah. Sejumlah BUMN Karya, yang sebelumnya dipaksa menggarap infrastruktur yang jauh di bawah kemampuan finansial mereka, kini ramai-ramai menjual jalan tol yang mereka bangun kepada pihak asing.
Sementara itu, daya saing ekspor Indonesia di pasar global tak kunjung membaik. Neraca transaksi berjalan (current account) masih mengalami defisit sepanjang tahun 2020 hingga kuartal pertama 2021. Namun, defisit tahun lalu sedikit menipis lantaran impor menurun signifikan karena resesi ekonomi. Impor bahan baku, yang menyumbang sekitar 70 persen impor, turun tajam akibat industri pengolahan tumbuh negatif pada tahun 2020. Sepanjang paruh pertama tahun 2021 ekspor memang naik tajam sejalan dengan pulihnya permintaan negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti Cina, AS, dan Uni Eropa. Namun, seperti biasanya, pendapatan ekspor masih mengandalkan komoditas mentah dan setengah jadi, seperti batubara, nikel dan produk-produk kelapa sawit, yang nilai tambahnya relatif rendah. Perdagangan jasa sebagaimana biasanya tetap mengalami defisit yang menganga.
Industri manufaktur, yang menjadi sokuguru ekonomi domestik di samping sektor pertanian, semakin terpuruk karena pandemi. Sektor ini memang mampu tumbuh 7 persen pada kuartal kedua 2021, terutama ditopang oleh industri farmasi yang mengalami lonjakan permintaan selama pandemi, serta industri logam dan turunannya yang naik tajam sejalan dengan meningkatnya investasi dari Cina di sektor pertambangan, khususnya nikel. Namun, secara umum keadaan sektor industri manufaktur memburuk. Beberapa sektor yang menjadi penyerap utama tenaga kerja, seperti industri tekstil, semakin rendah kontribusinya terhadap ekonomi karena tertekan oleh produk impor. Ketergantungan pada bahan baku impor semakin tinggi. Industri farmasi yang moncer itu, hampir 90 persen bahan bakunya diperoleh dari impor. Pada saat yang sama, liberalisasi di sektor perdagangan menyebabkan produk-produk impor tumbuh pesat sehingga sektor industri manufaktur domestik semakin terjepit. Kemampuan mereka dalam menyerap tenaga kerja akhirnya menyusut. Ketergantungan terhadap barang-barang impor tersebut menyebabkan cadangan devisa Indonesia tak mengalami peningkatan signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Per Juli 2021, cadangan devisa Indonesia hanya USD 137 miliar, jauh di bawah Cina yang mencapai USD 3,4 triliun. Padahal dalam sistem moneter saat ini, tanpa cadangan devisa yang besar, negara akan bergantung pada utang dan investasi asing untuk menjaga stabilitas rupiah dari serangan para spekulan di sektor keuangan.
Rapuh dan Berbahaya
Setelah mengalami kontraksi selama empat kuartal berturut-turut, ekonomi pada kuartal kedua 2021 tumbuh sebesar 7 persen, dibandingkan tahun lalu. Pemerintah kemudian menganggap bahwa ekonomi Indonesia relatif kuat menghadapi pandemi. Klaim ini tentu tidak berdasar. Pasalnya, dasar perhitungan (baseline) 7 persen itu berasal dari -5 persen pada kuartal kedua tahun lalu.
Bahkan jika dibandingkan dengan ekonomi negara-negara lain yang tahun lalu mengalami kontraksi akibat pandemi, pertumbuhan mereka tahun ini jauh lebih signifikan dibandingkan Indonesia. Inggris misalnya, yang mengalami kontraksi pada kuartal pertama 2020, mampu tumbuh 22 persen pada periode yang sama tahun berikutnya. Berdasarkan data Trading Economics, dari 26 negara yang telah merilis pertumbuhan ekonominya pada kuartal kedua tahun 2021, nilai pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di urutan ke-22. Vietnam yang berada di bawah Indonesia, sebenarnya tidak dapat dijadikan pembanding, sebab negara itu tidak pernah tumbuh negatif selama pandemi.
Secara alami pertumbuhan kuartal kedua tahun ini jelas lebih baik. Sebabnya, Pemerintah telah melonggarkan kegiatan ekonomi dibandingkan periode tahun lalu, yang dilakukan pembatasan sosial berskala besar. Namun, kebijakan itu harus dibayar mahal dengan meroketnya kasus kematian akibat pandemi. Lalu apa yang bisa dibanggakan dengan pertumbuhan tersebut?
Lagi pula, jika ditelusuri lebih jauh, penyumbang pertumbuhan pada kuartal kedua adalah konsumsi swasta. Lalu hampir separuh, tepatnya 45 persen, konsumsi itu digerakkan oleh 20 persen kelompok menengah atas yang selama masa pembatasan sosial menahan konsumsi mereka.
Pemerintah juga selalu mengklaim bahwa melonjaknya utang selama masa pandemi ini, yang pada bulan Juni 2021 sudah mencapai Rp 6.554 triliun, masih sangat aman. Hal ini tentu tidak berdasar. Sebabnya, bagaimanapun stok utang tersebut memiliki konsekuensi berupa pembengkakan pembayaran bunga yang akan menyedot APBN dalam jumlah yang semakin besar. Selain itu, sebagian besar utang tersebut dalam bentuk surat berharga. Sebagian bunganya mengambang mengikuti suku bunga pasar. Sebagian lagi dalam mata uang asing. Berkaca pada pengalaman berbagai negara yang bergantung pada utang, ketika suku bunga meroket dan nilai tukar merosot tajam, pokok utang dan pembayaran bunganya meningkat tajam sehingga mereka harus meminta bantuan IMF untuk membayar utang mereka. Jika demikian, lagi-lagi yang dirugikan adalah rakyat yang selama ini membiayai Pemerintah lewat pajak.
Alasan bahwa rasio utang Pemerintah jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Jepang, AS, dan negara-negara Uni Eropa jelas tidak compatible. Pasalnya, negara-negara tersebut merupakan negara maju yang memiliki kemampuan membayar yang tinggi. Jepang, misalnya, memiliki rasio utang sebesar 237 persen terhadap PDB-nya. Namun, sebagian besar kepemilikannya dimiliki investor domestik, terutama Bank of Japan. Selain dalam bentuk mata uang lokal, bunga obligasi di negara itu nyaris menyentuh nol persen sehingga tidak terlalu membebani Pemerintah. Lagi pula Jepang merupakan negara pemberi utang terbesar di dunia, dengan nilai lebih dari USD 3 triliun. Sebaliknya, di Indonesia, sebanyak 24 persen surat utang Pemerintah dimiliki oleh investor luar negeri. Sebagian surat utang tersebut dalam bentuk mata uang asing, plus tingkat suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah negara ASEAN sehingga sangat berpotensi terpapar risiko pasar yang membuat beban pembayaran utang pemerintah semakin besar.
Celakanya lagi, semangat Pemerintah dalam berutang tidak diimbangi dengan kemampuan untuk membelanjakan utang tersebut secara efektif. Perolehan utang untuk menutupi defisit jauh lebih besar dibandingkan dengan yang dibelanjakan. Akibatnya, utang yang tak terpakai, yang dikenal dengan istilah Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) cukup besar, mencapai Rp 234,7 triliun. Padahal, pada saat yang sama, ribuan tenaga medis tidak mendapatkan insentif anggaran yang memadai. Rumah sakit-rumah sakit mengeluh lantaran utang Pemerintah kepada mereka belum dibayar. Jutaan penduduk kesulitan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Lebih dari itu, utang yang tidak terserap tersebut tetap harus dibayar bunganya.
Pemerintah juga mengklaim bahwa sepanjang tahun ini kurs rupiah relatif stabil sehingga perekonomian relatif aman. Memang, sepanjang semester pertama tahun ini, kurs rupiah mengalami fluktuasi yang relatif rendah. Hal ini terjadi lantaran spekulasi di pasar modal relatif mereda selama pandemi. Tingkat suku bunga obligasi yang ditawarkan Pemerintah kepada investor masih cukup tinggi sehingga mereka berbondong-bondong menyerbu aset investasi tersebut.
Sementara itu, kemungkinan Bank Sentral AS menaikkan suku bunga acuan selama pandemi ini sangat rendah, sehingga potensi pelarian modal ke AS, yang lazim terjadi ketika the Fed menaikkan suku bunga acuan, juga menurun. Dengan demikian, ketika situasi ekonomi di AS semakin solid, yang ditandai dengan kenaikan inflasi dan berkurangnya angka pengangguran, maka peluang the Fed menaik-turunkan suku bunga acuan semakin terbuka. Alhasil, rupiah akan mengalami gonjang-ganjing. Sebagai pengingat, pada akhir Maret tahun lalu, hampir sebulan ketika kasus baru diumumkan pemerintah, nilai tukar rupiah per dollar AS nyaris mencapai Rp 16,500, membuat pelaku ekonomi menjerit-jerit lantaran biaya impor dan nilai utang luar negeri mereka naik tajam.
Perubahan Fundamental
Struktur ekonomi Indonesia sebelum pandemi telah banyak dikritik lantaran sangat rapuh. Pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5 persen sehingga penyerapan tenaga kerja relatif rendah. Padahal jumlah angkatan kerja semakin besar. Indonesia juga mengalami deindustrialisasi sehinga Indonesia semakin bergantung pada impor yang menyebabkan kemampuan negara ini memupuk devisa sangat rendah.
Pada saat yang sama, Pemerintah malah menyia-nyiakan APBN dengan belanja-belanja yang tidak efektif, seperti bansos yang pelaksanaannya amburadul dan nilai pembayaran bunga utang yang melampaui pos-pos belanja pemerintah pusat lainnya, seperti subsidi dan bantuan sosial. Kondisi fiskal tersebut diperburuk dengan sistem moneter yang sangat rapuh terhadap goncangan eksternal. Akibatnya, dalam seketika Pemerintah dan pelaku ekonomi swasta bisa rugi ratusan triliun hanya karena rupiah yang tiba-tiba melemah oleh ulah spekulan. Jika model ekonomi ini terus berjalan maka Indonesia akan semakin sulit untuk naik kelas menjadi negara maju dan mandiri.
Sistem ekonomi tersebut jelas tidak sehat dan membahayakan masa depan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Oleh karena itu, selain segera mengatasi pandemi secara efektif, agenda yang sangat fundamental dan esensial bagi seluruh elemen bangsa ini adalah merombak sistem ekonomi negara ini—sistem kapitalisme yang dibangun di atas fondasi sekularisme—yang menyebabkan ekonomi Indonesia mengalami gawat darurat. Penggantinya apalagi jika bukan sistem yang berlandaskan Islam.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Muis]