Waspadai Fitnah!
Kok libur tahun baru Islam 1 Muharram diubah, ya?” tanya Pak Nardi. “Kan ada aturan dari Pemerintah. Katanya sih untuk menghindarkan dari kerumunan. Tanggal 1 Muharram jatuh pada hari Selasa bertepatan dengan 10 Agustus 2021. Takutnya, libur panjang dari Sabtu sampai Minggu, lalu Senin hari kejepit dan Selasa libur lagi,”
Mas Anto menjelaskan. “Libur mauludan juga digeser ya? Itu kan hari Selasa juga?” tanya Pak Nardi.
“Iya, kan alasannya sama. Hari Selasa digeser menjadi hari Rabu untuk menghindari kerumunan,” papar Mas Anto.
Perubahan ini memang tercantum dalam Keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 712, 1, dan 3 tahun 2021 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kamaruddin Amin mengatakan, “Tahun Baru Islam tetap 1 Muharram 1443 H, bertepatan 10 Agustus 2021 M. Hari liburnya yang digeser menjadi 11 Agustus 2021 M.”
Pak Eman turut nimbrung, “Kalau menurut saya mah sebagai orang awam alasan itu kayak dibuat-buat. Hanya bersilat lidah doang. Tahun barunya tetap, kok liburnya digeser.”
“Iya, apalagi sekarang kan sedang rame-ramenya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 di seluruh Indonesia. Mana ada orang bepergian dan berkerumun,” tambahnya.
“Saya sih setuju dengan pendapat yang menyebutkan bahwa itu adalah uji coba terhadap sikap umat Islam. Istilahnya test the water. Kalau umat Islam diam saja maka mereka akan makin berani mengubah-ubah ajaran Islam,” Mas Rendi turut meramaikan.
Saya hanya mengatakan bahwa kita perlu merenungkan apa yang dikatakan Eggi Sudjana. Pengacara kondang itu mengatakan, “Secara spiritual hari Selasa harusnya libur 1 Muharam 1443 tahun baru Islam karena dianggap kejepit digeser Rabu. Tanggal 17 Agustus hari Selasa tolong Jokowi geser hari liburnya,” ungkap Bang Eggi (begitu saya biasa memanggilnya) dalam video yang beredar.
“Kalian jangan merasa lebih hebat dari Rasulullah, berani nggak kalian geser libur 17 Agustus 2021 yang jatuh pada hari Selasa menjadi hari Rabu juga,” paparnya.
Tidak heran jika sebagian masyarakat mencurigai ada sesuatu di balik semua itu. Sebab, harus diakui ada pikiran-pikiran di tengah masyarakat yang berkeyakinan ‘jangankan hari libur, perintah Tuhan pun bisa dikesampingkan’.
“Terlepas setuju atau tidak, ya dimana pun negaralah yang mengambil kebijakan. Bahkan perintah Tuhan pun bisa kalah dengan kebijakan negara terkait penanganan Covid-19 ini,” kata Gus Muwafiq seperti dikutip Detik.com (1/8/2021). Itu di antaranya.
“Shalat Idul Adha hanya bisa dilakukan di rumah. Tidak ada shalat Idul Adha di masjid atau di lapangan dalam masa PPKM Darurat ini,” kata Menteri Agama Yaqut (16/7/2021).
Bahkan selama PPKM Level 4 dikeluarkan peraturan: “Tempat ibadah (Masjid, Mushola, Gereja, Pura, Vihara, dan Klenteng serta tempat lainnya yang difungsikan sebagai tempat ibadah) tidak mengadakan kegiatan peribadatan/keagamaan berjamaah selama masa penerapan PPKM dan mengoptimalkan pelaksanaan ibadah di rumah”.
Seakan-akan semua itu menjadi bukti bahwa aturan-aturan agama, khususnya Islam, dapat diubah dan dikalahkan oleh aturan negara. Dengan kata lain, aturan Islam dapat dan layak dikesampingkan. Jika hal ini dijadikan pegangan maka jangan heran pada masa depan akan muncul ‘kelancangan’ terhadap ajaran Islam dan tak merasa perlu berpegang pada aturan Islam.
Saya menjadi teringat pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi pada Februari 2020 silam. “Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan,” ujarnya.
Sebelumnya, ia berbicara terkait dengan adanya ijtima’ ulama. Dengan demikian, agama yang dimaksud adalah Islam. Dari sini terasa aroma permusuhan terhadap Islam. Belum lagi perseteruan antara pihak yang meyakini ‘ayat konstitusi di atas ayat suci’ dengan pihak yang meyakini ‘ayat suci (al-Quran) di atas ayat konstitusi’ terus berkecamuk. Pihak pertama lebih mencerminkan sekularisme, sementara pihak kedua lebih mencerminkan kalangan Islam. Pertarungan pemikiran itu tak berhenti. Begitu juga cap negatif radikal yang terus disematkan kepada umat Islam yang konsisten terikat dengan ajaran Islam makin mengokohkan hal tersebut. Apalagi sebutan kardun (kadal gurun) kepada aktivis Islam turut mengokohkan perseteruan itu.
Menengok realitas demikian, kebijakan-kebijakan yang dirasa menyakitkan dan menomorduakan umat Islam itu dapat dipahami sebagai pembuktian bahwa yang sedang berkuasa adalah keyakinan ‘ayat konstitusi di atas ayat suci’. “Berarti benar dong ayat konstitusi itu berada di atas ayat suci?” tanya Romy.
Saya sampaikan, “Tidak. Sebab, kebenaran itu tolok ukurnya adalah aturan Allah SWT Sang Pencipta. Realitas itu tidak lebih sekadar menunjukkan bahwa yang tengah berkuasa adalah sekularisme”.
“Saya mah rada ngeri lihat kondisi kayak begini,” Pak Eman mengungkapkan rasa galaunya. “Disebut tokoh Islam tapi hanya namanya doang,” tambahnya. “Anak muda yang senang mengamalkan agama Islam malah dicurigai,” tambahnya lagi.
“Iya, pada saat Menteri Agama Fachrul Razi itu terjadi,” sambung Pak Nardi. Seraya ia mengutip pernyataan Fachrul pada September 2020, “Cara masuk mereka gampang, kalau saya lihat polanya. Pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arabnya bagus, hafizh, mulai masuk, jadi imam, lama-lama orang situ bersimpati, diangkat jadi pengurus mesjid, kemudian mulai masuk temannya dan lain sebagainya, mulai masuk ide-ide seperti yang kita takutkan.”
“Kekhawatiran itu sesuatu yang wajar,” ungkap saya. “Kita perlu waspada terhadap apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw,” saya mengingatkan. Lalu saya sampaikan sabda Nabi saw., “Hampir saja akan datang kepada manusia suatu zaman ketika Islam tidak tersisa kecuali namanya; tidak tersisa dari al-Quran kecuali tulisannya; masjid-masjid subur, namun jauh dari petunjuk; ulama-ulama mereka orang terburuk di bawah kolong langit; dari sisi mereka fitnah datang dan kepada mereka fitnah itu Kembali.” (HR al-Baihaqi dalam kitab Sya’b al-Iman, 3/317).
Waspadai datangnya fitnah! WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia].