Ust Ismail Yusanto: Umat Islam Sangat Toleran
Pengantar:
Islam sudah lama dituding sebagai agama intoleran. Tuduhan yang sama juga sering dialamatkan kepada kaum Muslim. Tudingan tersebut makin menguat akhir-akhir ini.
Pertanyaannya: Betulkah tudingan di atas? Apakah ada buktinya? Bagaimana pula menjawab tudingan ini? Adakah bukti-bukti bahwa Islam dan pemeluknya justru sangat toleran?
Itulah di antara beberapa pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Ustadz M. Ismail Yusanto dalam wawancara berikut ini.
Ustadz, saat ini ada yang mengatakan bahwa umat Islam Indonesia mulai terkikis toleransinya. Apakah benar demikian?
Menurut saya, umat Islam di Indonesia itu justru sangat toleran. Dalam banyak hal malah bisa disebut terlalu toleran. Lihatlah, saking tolerannya mereka tega menabrak prinsip-prinsip agamanya sendiri. Misalnya, soal Natal. Sudah sangat jamak umat Islam hadir dalam acara perayaan Natal Bersama. Padahal Natal Bersama itu dulu dimaksudkan bersama antara umat Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Coba kurang toleran apa?
Belum lagi di bidang politik. Lihat berapa banyak anggota DPR, gubernur, bupati walikota, bahkan menteri non-Muslim? Coba cek, apakah hal serupa terjadi di negeri atau wilayah yang mayoritasnya non-Muslim?
Tapi mereka menunjuk bukti, di antaranya, banyaknya kasus penutupan gereja?
Memang ada beberapa kasus penutupan gereja di sejumlah tempat, seperti gereja GKI Yasmin di Bogor. Tapi itu lebih karena masalah teknis administrative, seperti soal ijin dan semacamnya. Bukan karena faktor teologis. Sebab bila karena faktor yang kedua, mungkin akan lebih banyak lagi gereja ditutup dan tidak akan pernah ada gereja-gereja besar seperti Gereja Kathedral yang berdiri megah persis di depan Masjid Istiqlal. Candi-candi seperti Borobudur dan Prambanan mungkin juga akan dibiarkan hancur. Nyatanya tidak, kan? Itu menunjukkan bahwa umat Islam sangat toleran. Umat Islam tahu bagaimana bersikap terhadap warga non-Muslim dan menyikapi tempat ibadah mereka.
Harus diingat juga, selain soal penutupan gereja, hambatan terhadap pendirian masjid juga terjadi di berbagai tempat, khususnya di Kawasan Indonesia Timur. Ini tidak atau jarang diekspos. Akibatnya, tampak seolah hanya umat Kristiani saja yang mengalami masalah.
Bagaimana Islam melihat toleransi itu, Ustadz? Bagaimana sebenarnya pemahaman yang tepat tentang toleransi?
Toleransi dalam pandangan Islam sesungguhnya adalah hal biasa. Bahkan Islam sesungguhnya adalah agama yang sangat toleran. Islam dengan sangat jelas telah meletakkan dasar-dasar toleransi di atas beberapa prinsip. Pertama, Islam dengan sangat tegas memberikan kebebasan kepada siapa saja dalam memilih agama. Bolehlah ini disebut sebagai kebebasan beragama, dalam arti orang bebas memilih agama yang dia yakini. Islam sendiri melarang memaksa siapapun untuk masuk Islam. Ketika orang memilih agama selain Islam, maka pilihan itu harus dihormati. Tidak boleh dicela. Juga tidak boleh dicela Tuhan mereka karena mereka akan balas mencela Tuhan kita.
Kedua, Islam mewajibkan umatnya untuk meyakini hanya Islam saja yang benar, lainnya salah. Islam saja satu-satunya yang akan menghantarkan keselamatan dunia akhirat. Lain tidak. Oleh karena itu, atas nama apapun, termasuk atas nama toleransi, Islam menolak paham pluralisme agama yang mengatakan bahwa semua agama sama benarnya, dan sama-sama bakal menghantarkan umatnya menuju ke jalan keselamatan.
Ketiga, toleransi tidak boleh dijadikan alasan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Juga tidak boleh, atas nama dan demi toleransi, menegasikan apalagi mengkriminalisasi ajaran Islam dan siapa saja yang mendakwahkannya seperti yang saat ini terjadi ketika kita dengan lantang menyuarakan haramnya pemimpin kafir.
Nah, di atas tiga prinsip itulah toleransi diwujudkan. Maka dari itu, dalam soal ibadah, misalnya, dipersilakan beribadah sesuai dengan ketentuan agama-agama masing-masing. Ibadah dan tempat ibadah milik umat non-Muslim tidak boleh diganggu. Hal-hal yang terkait dengan keyakinan, seperti soal makanan dan minuman, Islam juga membolehkan mereka mengkonsumsi atau tidak sesuai dengan keyakinannya itu.
Adapun dalam aspek sosial, dalam kehidupan bertetangga, misalnya, Islam mengajarkan untuk memperhatikan hak tetangga meskipun dia non-Muslim. Misalnya, meminta ijin ketika hendak meninggikan bangunan. Juga meskipun mereka non-Muslim, terlarang mencederai kehormatan, harta dan jiwa mereka tanpa alasan syar’i.
Jadi, ketika kita konsisten meyakini bahwa hanya Islam agama yang benar, tidak bisa disebut intoleran, ya Ustadz?
Betul. Sebenarnya itu wajar belaka. Setiap pemeluk agama yang baik mestinya akan meyakini agamanyalah yang benar. Lainnya salah. Keyakinan seperti ini harus dihormati. Maka dari itu, siapa saja yang mengatakan hal seperti itu, mengatakan bahwa hanya Islam yang benar sebagai tidak toleran, maka justru dialah yang intoleran itu.
Soal toleran-intoleran ini sekarang memang sudah terbalik-balik. Yang sebenarnya toleran disebut intoleran hanya karena tidak sesuai dengan keinginan mereka. Sebaliknya, yang harusnya disebut intoleran malah disebut toleran.
Terus, ketika kita meyakini kebenaran syariah Islam, dan hanya syariah Islam benar yang lain keliru, apakah juga bisa dikatakan intoleran?
Tidak bisa. Siapapun harus menghormati ketentuan-ketentuan syariah Islam. Sekali lagi, tidak boleh atas nama atau demi toleransi yang halal diharamkan atau yang haram dihalalkan. Misalnya, soal keharamanan pemimpin kafir, ya harus tetap dinyatakan haram. Menyatakan haram yang memang haram menurut keyakinan Islam tidak boleh dikatakan intoleran. Ini aneh, mau mereka, kita membolehkan pemimpin kafir. Kalau kita berpendapat begitu, barulah disebut toleran. Sebaliknya, kalau mengharamkan pemimpin kafir disebut intoleran. Ini tidak boleh terjadi. Toleransi tidak boleh melunturkan orang dari keyakinan dan aturan agamanya.
Kalau begitu, apa batasan toleransi dalam Islam, Ustadz?
Batasnya sangat jelas. Di bidang akidah dan ibadah, bagimu agamamu, bagiku agamaku. Wajib bagi kita untuk toleran terhadap pilihan agama orang lain. Tapi, dalam toleransi itu tidak boleh ada campur-aduk dalam soal akidah. Di bidang syariah, toleransi tidak boleh mengubah yang halal menjadi haram atau sebaliknya yang haram menjadi halal. Di bidang muamalah, toleransi diwujudkan dengan memberikan perlakuan yang adil kepada semua.
Adakah contoh praktik-praktik toleransi masa Rasulullah saw. dan para sahabat atau di era Khilafah?
Banyak. Misalnya dalam kitab As-Sirah an-Nabawiyah, Muhammad Shallabi menceritakan pada tahun 9 hijriah, ketika utusan Kristen Najran pergi ke Madinah, mereka disambut dengan baik oleh Rasulullah. Rasul berkirim surat kepada uskup mereka, Abu al-Harist. Intinya tentang jaminan keamanan dalam melaksanakan ibadah. Jaminan ini tidak hanya berlaku bagi agama Nashrani saja, tapi juga untuk agama-agama lain, selama mereka mau menaati perjanjian dalam Piagam Madinah.
Dalam hal interaksi sosial, Rasul juga sangat toleran. Menurut riwayat Anas bin Malik sebagaimana disebut dalam kitab Ar-Rahmah fi Hayati ar-Rasûl, suatu ketika pelayan Rasulullah (anak Yahudi) sakit sehingga tidak bisa datang melayani. Nabi saw. pun menjenguk dia, lalu duduk di samping kepalanya. Rasul berkata, “Masuk Islamlah!” Mendegar itu, anak itu melihat kepada bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya lalu berkata, “Taatilah Abu Qasim (Muhammad saw.)! Lalu anak itu masuk Islam. Setelah selesai, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah, yang telah menyelamatkan dia dari api neraka.”
Kisah ini memberikan gambaran tentang besarnya toleransi Rasulullah saw. dalam berinteraksi dengan orang non-Muslim, tapi tetap memegang prinsip bahwa agama Islamlah yang benar. Dalam kasus anak Yahudi ini, toleransi tidak menghalangi Rasulullah saw. mendakwahkan kebenaran Islam. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kebanyakan pembela pluralisme agama saat ini yang merelatifkan kebenaran.
Lebih dari itu, dalam kitab yang sama, banyak sekali kisah berkaitan dengan toleransi Rasulullah dalam interaksi sosial dengan orang non-Muslim, di antaranya: Beliau berdiri menghormati jenazah orang Yahudi. Ini diriwayatkan dalam hadis al-Bukhari, Muslim dan an-Nasaa’i. Ketika meninggal, baju besi beliau tergadai pada orang Yahudi. Ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra. Beliau pernah menyuruh Saad bin Abi Waqash memanggil dokter non-Nuslim bernama Harits bin al-Kaldah untuk mengobati sakitnya. Beliau pun pernah mengizinkan ibu Asma‘ binti Abi Bakar bertemu Asma‘ di Madinah padahal pada waktu itu ia masih musyrik. Ini juga diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad.
Demikian juga pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Ini sebagaimana diceritakan oleh Abbas Mahmud Aqqad dalam kitab, ‘Abqariyah ‘Umar. Toleransi juga sangat dijunjung tinggi. Di antara kandungan Perjanjian Aelia yang dicanangkan Khalifah Umar, misalnya, adalah menjamin keamanan pemeluk agama Nasrani, peribadatan dan gereja mereka. Mereka sama sekali tidak dipaksa masuk Islam.
Masih dalam masa Khalifah Umar bin Khaththab, dikisahkan saat Amru bin Ash ra. memasuki Mesir, beliau memberikan perlindungan kepada Patriark Benjamin dan mengembalikan dia pada kedudukan semula setelah 13 tahun lamanya dipecat oleh Bizantium Romawi. Bahkan beliau mengizinkan dia mengelola urusan agama dan administrasi gereja. Ini bisa dibaca dalam karya Idris El Hareir berjudul The Spread of Islam Throughout the World.
Tidak berlebihan jika Syaikh Yusuf al-Qardhawi memberikan catatan menarik dalam Kitab Al-Aqalliyât ad-Dîniyyah wa al-Hall al-Islâmi bahwa sejak masa Khulafaur Rasyidin, orang Yahudi dan Nasrani bisa menunaikan ibadah dan syiar mereka dengan penuh kebebasan dan aman.
Bahkan Tembok Ratapan (yang merupakan bagian penting yang dijadikan tempat ritual Yahudi di Yerusalem saat ini) yang dulunya tertimbun bangunan, saat Khalifah Utsmani Sulaiman al-Qanuni tahu hal itu, beliau mengutus Gubernur al-Quds untuk membersihkannya dan mengizinkan orang Yahudi untuk menziarahinya. Ini dikisahkan oleh Shâlih bin Husain al-‘Abid dalam Huqûq Ghayr al-Muslimîn fî Bilâdi al-Islâm.
Dari berbagai bukti-bukti tersebut, nyatalah bahwa Islam adalah agama yang sangat toleran. Jika ada orang Islam tapi melakukan teror di tempat-tempat ibadah agama lain, pasti ada yang salah pada dirinya, arena Islam tidaklah mengajarkan hal yang demikian. Jangankan pada masa damai, pada masa perang saja, gereja tidak boleh dijadikan obyek perang.
Ustadz, beralih ke pertanyaan lain. Benarkah bahwa perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah itu intoleran?
Tentu tidak. Syariah dan Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Menjadi kewajiban setiap Muslim untuk memperjuangkan syariah dan Khilafah, dengan keyakinan, setiap ajaran Islam itu pasti baik. Syariah dan Khilafahlah yang akan mewujudkan secara nyata kerahmatan Islam bagi seluruh alam. Maka dari itu, kalau mereka benar-benar toleran mestinya mereka membiarkan dakwah seperti ini terus berjalan. Kalau terwujud, mereka juga akan menikmati kerahmatan itu. Jika faktanya mereka justru menghalangi, kita harus katakan merekalah yang intoleran.
Narasi menuduh pejuang dan ormas pejuang syariah dan Khilafah dituduh intoleran itu sebenarnya natural ataukah by design pihak-pihak tertentu yang tidak suka pada Islam?
By design. Kalau kita membaca Civil Democratic Islam karya Cheryl Benard, kita akan tahu bahwa Barat memang menginginkan Islam versi mereka, yaitu Islam yang mau tunduk pada Barat. Islam yang tidak menentang nilai-nilai Barat. Islam yang tunduk pada Barat. Caranya dengan mendorong berkembangnya Islam lokal, seperti Islam Nusantara.
Dengan berbagai strategi yang sudah disusun, mereka juga melakukan usaha adu-domba antara apa yang mereka sebut Islam tradisional, Islam modernis dan Islam sekularis melawan Islam fundamentalis yang menginginkan syariah, apalagi Khilafah. Intinya, Islam fundamentalis harus dilenyapkan.
Kalau benar mereka ingin mewujudkan toleransi, mestinya mereka biarkan saja orang berdakwah, termasuk berdakwah untuk tegaknya syariah dan Khilafah, sepanjang ide itu memiliki dasar syar’i. Lha, mereka yang menyebut dirinya kelompok toleran malah membubarkan pengajian, mempersekusi kegiatan dakwah. Di mana toleransinya? Jadi jelaslah, mereka sesungguhnya tidak sedang bicara toleransi, tetapi sedang melakukan apa yang diinginkan Barat, yakni menghambat kebangkitan Islam.
Apa target mereka sebenarnya?
Targetnya adalah Islam tidak bangkit. Umat Islam tetap dalam keadaan lemah sehingga tetap bisa dikendalikan. Mereka tetap memegang hegemoni dalam politik dan ekonomi atas dunia Islam.
Mereka tahu persis, kekuatan penantang ke depan atau upcoming challenger bagi hegemoni Barat yang secular-kapitalistik adalah Dunia Islam melalui tegaknya syariah dan Khilafah. Berdasar riset global yang dilakukan dengan sangat serius dan mendalam, kecenderungan ke arah sana, ke arah kebangkitan Islam melalui tegaknya Khilafah itu sangat besar. Bahkan melalui NIC, meski masih bersifat hipotetik, salah satu kemungkinan dalam global mapping mereka adalah tegaknya Khilafah pada 2020.
Nah, sebelum semua itu terjadi, mereka harus memukul semua potensi umat yang bakal mendorong terwujudnya cita-cita itu. Dalam pikiran mereka, lebih mudah membunuh jabang bayi yang belum bisa apa-apa ketimbang harus melawan pria dewasa kekar jago berkelahi. Maka dari itu, mereka tidak akan pernah kasih kesempatan bayi itu tumbuh besar!
Apa yang harus kita lakukan untuk menangkal narasi keliru tentang toleransi ini, Ustadz?
Pertama, harus dijelaskan kepada umat tentang pengertian toleransi yang benar agar tidak terjadi kekeliruan pandangan dan sikap. Kedua, harus ada komunikasi dan dialog antarkomponen umat agar tidak terjadi salah paham. Ketiga, harus ada penguasa yang mengerti agama dan paham konsepsi toleransi yang benar. Penguasa semacam inilah yang akan mewujudkan kehidupan antar umat beragama yang harmonis penuh dengan toleransi, sebagaimana pernah dialami di masa Rasulullah dan para khalifah sesudahnya, tapi sekaligus tidak menyimpang dari ketentuan agama itu sendiri. Insya Allah. []