Perempuan dan Toleransi
Narasi ‘Islam sebagai agama intoleran’ tentu bukan begitu saja mencuat dari ruang hampa. Barat sengaja mendesain ujaran kebencian tentang praktek ajaran Islam sebagai bagian proyek ‘a holy crusade” dalam War on Terror (WoT). Tujuannya untuk mencegah kebangkitan Islam.
Sebagai kelanjutan proyek tersebut, PBB meluncurkan Global Counter-Terrorism Forum (GCTF) pada tahun 2011. Forum tersebut menjadi platform kontraterorisme. Pendekatan strategisnya berupa perlawanan terhadap ideologi ekstremis. Framing ekstremisme dinisbatkan pada Islam. Islam dianggap amat terikat dengan ketetapan hukum syariah sehingga tak bisa menerima ide dan tafsir di luar Islam.
Salah satu fokus kerja GCTF adalah mewujudkan Rencana Aksi untuk Mencegah Ekstremisme (Plan of Action to Prevent Violent Extremism). Rencana ini dicanangkan Majelis Umum PBB Januari 2016. Diketuai bersama Australia dan Indonesia, kelompok kerja Melawan Kekerasan Ekstremisme (Countering Violent Extremism /CVE) berfokus pada deradikalisasi.1 Forum ini menjadi salah satu ‘dapur’ produksi berbagai program—berikut narasinya—yang ditujukan mereduksi syariah Islam. Mereka bekerja dengan menggaet mitra—baik aktor negara ataupun organisasi—dalam memobilisasi keterlibatan masyarakat, termasuk keluarga dalam agenda deradikalisasi.
Turunan proyek deradikalisasi turut menggiring opini umat ke arah moderasi Islam. Proyek ini berusaha menghadirkan wajah Islam yang ramah terhadap kepentingan Barat, seperti menerima ide pluralisme, feminisme, humanisme (menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk orientasi seksualnya), memperjuangkan kebebasan berpendapat dan sebagainya.2 Dengan demikian wacana intoleransi versus toleransi yang salah-kaprah mulai dideraskan untuk merusak pemahaman hakiki umat akan ajaran Islam.
Pelibatan Perempuan
Untuk menggaet kalangan perempuan dalam isu deradikalisasi, UNWomen—entitas perempuan di PBB—juga memiliki fokus kerja dalam desk Peace and Security. Secara khusus mereka memiliki program mencegah ekstremisme dan terorisme (preventing violent extremism/PVE and countering terroris). Perempuan dianggap Barat menjadi faktor kunci dalam pengambilan keputusan di komunitas mereka dalam mencegah penyebaran ekstremisme.
“Pekerjaan kami adalah untuk mengangkat suara perempuan dan memberdayakan mereka untuk mencegah ekstremisme,” kata Hanny Cueva Beteta, Penasihat Regional UNWomen untuk Pemerintahan, Perdamaian dan Keamanan di Asia Pasifik.3
Perempuan diposisikan bukan sebagai korban, namun didudukkan sebagai aktivis yang melakukan pencegahan. Dengan menggunakan isu perjuangan kesetaraan hak perempuan, pemberdayaan, partisipasi dan kepemimpinan diharapkan mereka terasah untuk memiliki dan membuat argumen kuat untuk program PVE. Apalagi negeri Muslim seperti Indonesia dianggap potensial bagi kelahiran perempuan radikal, seperti kasus bom panci dan pengeboman gereja di Surabaya.
Karena tujuan itulah, UN Women meluncurkan program “Empowered Women, Peaceful Communities” (Memberdayakan Perempuan, Komunitas Damai). Program yang perkembangannya telah disampaikan pada Juli 2018 itu didanai Pemerintah Jepang dan beroperasi di Indonesia dan Bangladesh.4
Proyek yang dikemas sebagai bantuan pengembangan UMKM perempuan ini dianggap sebagai sarana efektif untuk mencegah ekstremisme kekerasan. Logikanya, semakin sibuk perempuan berbisnis, jaringannya kian meluas. Berbisnis di era kapitalisme akan mendorong perempuan untuk lebih bersikap inklusif dan toleran, baik terhadap ide Barat ataupun person yang berperilaku ala Barat. Tentu mentoring nilai-nilai pluralisme dan feminisme menjadi muatan dalam training pemberdayaan ekonomi tersebut.
Bukan itu saja. Pada akhir Januari 2018, sebuah survei nasional tentang Potensi Toleransi Sosial Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim di Indonesia diluncurkan oleh Wahid Foundation, UN Women, dan Lembaga Survei Indonesia (LSI). Survei yang dilakukan sepanjang 6-27 Oktober 2017 di 34 provinsi itu ditujukan untuk menilik potensi toleransi, intoleransi dan radikalisme khusus di kalangan perempuan Muslim. Hasilnya, perempuan dianggap lebih toleran daripada laki-laki. Indikator yang digunakan untuk menguatkan simpulan tersebut adalah 80.7 persen responden perempuan memberikan dukungan terhadap kebebasan menjalankan ajaran agama, sementara laki-laki hanya 77.4 persen.
Toleransi perempuan makin diperkuat ketika perempuan memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai (53,3 persen) dibandingkan dengan laki-laki (60,3 persen). Nama kelompok yang tidak disukai—yakni komunis, LGBT, Yahudi, Kristen, atheis, Syiah, Cina, Wahabi, Katolik, dan Budha—mengarah pada ketidaksesuaian mereka terhadap ajaran Islam.
Survei tersebut jelas menggiring opini masyarakat, khususnya perempuan, untuk masuk dalam perangkap Barat: menolak menjadi radikal dan mengidentifikasi dirirnya sebagai muslimah yang ramah, toleran dan terbuka dengan ide, nilai ataupun person/komunitas, sekalipun syariah menilainya sebagai penyimpangan. Apalagi survei tersebut menyebutkan bahwa 80,8 persen perempuan tidak bersedia menjadi radikal. Fatalnya, hal itu diterjemahkan sebagai tidak pernah ikut merazia tempat-tempat yang dianggap bertentangan dengan syariah Islam—termasuk rumah ibadah kelompok lain—dan tidak pernah meyakinkan orang lain agar ikut memperjuangkan penerapan syariah Islam.
Rekomendasinya, perempuan bisa dan harus menjadi aktor strategis dalam menguatkan toleransi, sebagai bagian agenda PVE pesanan Barat. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu meningkatkan upaya-upaya pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di institusi pemerintahan, organisasi keagamaan dan komunitas sosial kemasyarakatan. “Potensi dan kontribusi perempuan dalam perdamaian, sejak dulu, sering diabaikan. Oleh karena itu, sekarang saatnya membuka potensi perempuan sebagai agen perdamaian,” demikian pernyataan Sabine Machl, UN Women Representative.
Jangan Terjebak!
Demikianlah. Dalam arena perang peradaban Islam versus Barat, demi memenangkan pertempuran, Barat menggunakan terminologi yang menyesatkan umat, termasuk memberi definisi yang memihak kepentingan mereka sebagaimana narasi toleransi. Kaum Muslim yang toleran, sesuai definisi mereka, akan diberi pujian. Sebaliknya, Muslim intoleran akan dicela. Noam Chomsky, kritikus kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat, telah mengingatkan, bahwa AS memberikan predikat ‘moderat’ pada pihak-pihak yang mendukung kebijakan AS dan sekutunya. Sebaliknya, predikat ‘ekstremis, radikal dan teroris’ disandangkan pada pihak-pihak yang menantang, mengancam mengusik kebijakan AS dan sekutunya.5
Allah SWT mengingatkan kita agar berhati-hati terhadap jebakan kaum kafir dan memerintahkan kita agar konsisten dalam berhukum pada syariah-Nya:
وَأَنِ ٱحۡكُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ وَٱحۡذَرۡهُمۡ أَن يَفۡتِنُوكَ عَنۢ بَعۡضِ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَٱعۡلَمۡ أَنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعۡضِ ذُنُوبِهِمۡۗ وَإِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلنَّاسِ لَفَٰسِقُونَ ٤٩
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (QS al-Maidah [5]: 49).
Sikap Muslim dan Muslimah jelas. Tidak boleh ikut menari mengikuti tabuhan genderang Barat. Tidak boleh bersikap toleran demi diterima dalam pergaulan internasional, komunal ataupun personal dengan ikut menggencarkan interfaith dialogue (dialog lintas kepercayaan), bersuka ria merayakan hari besar agama lain, atau enggan berkata dan bersikap lugas terhadap kebenaran syariah Islam.
Umat mesti menyadari, toleransi ala Barat adalah tipuan dan akan menjerumuskan umat dalam musibah. Ajaran itu sungguh berbahaya. Jika dibiarkan bakal menjadikan hukum Allah SWT dicampakkan oleh Muslim sendiri. Juga kian mengekalkan penjajahan adikuasa AS. Ini sebagaimana pernyataan Menlui AS Mike Pompeo pada KTT mengenai kebebasan beragama 24 Juli 2018, “Para investor lebih memilih negara-negara yang memiliki kebebasan beragama yang luas. Tempat yang memiliki kebebasan beragama sebagai tempat yang berisiko lebih kecil (untuk berusaha).”
Makin jelas, narasi toleransi yang menjadi bagian agenda Islam moderat ini dideraskan juga demi kepentingan ekonomi negara kapitalis. Tidak hanya tambang raksasa Freeport, Pertamina dan sebagainya yang dijual murah kepada asing, bahkan negara dan seluruh penduduk juga akan diobral.
Karena itulah, ruh dasar Islam, yakni dakwah dan amar makruf nahi mungkar harus terus digalakkan demi menghadang penderasan narasi batil itu. Kritis dan tegas akan pelanggaran hukum syariah harus menjadi tabiat muslim. Seluruh komponen umat berkewajiban untuk mencerdaskan mereka, melepaskan mereka dari sihir ide-ide kufur dan menyadarkan umat bahwa setiap ide yang bukan berasal dari Islam pasti akan menghancurkan mereka. [Pratma Julia Sunjandari]
Catatan kaki:
1 https://www.thegctf.org/About-us/Background-and-Mission
2 Definisi Angel Rabasa, peneliti politik senior di RAND Corporation, penulis tentang ekstremisme dan Terorisme
5 Pirates and Emperors, Old and New International Terorism in The Real World (new edition, 2002).