Kaidah Islam Dalam Memilih Pejabat Publik (Bagian Pertama)
Pemilihan pejabat publik sangat krusial terhadap nasib suatu masyarakat. Sebab hal itu akan sangat menentukan bagaimana perlakuan yang akan dirasakan oleh rakyat dari para pejabat publik.
Islam memberikan tuntunan yang jelas lagi gamblang tentang pemilihan pejabat publik. Islam memberikan panduan pokok bagi Khalifah dalam memilih para pembantunya agar terpilih orang-orang yang amanah, kredibel dan sesuai bidangnya. Bukan hanya itu, dengan panduan Islam itu akan terpilih orang yang memang sejak dari awal berkomitmen untuk bekerja keras menyejahterakan rakyat. Bukan berpikir sebagai peluang untuk mencari kekayaan dan jabatan.
Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab karya Dr Muhammad Ash-Shalabi dijelaskan bagaimana Khalifah Umar mempraktekkan kaidah-kaidah dasar dalam mencari dan mengangkat pejabat yang nantinya akan membantu menjalankan roda pemerintahan. Kaidah pertama adalah mengangkat Pejabat yang mempunyai fisik kuat dan amanah. Dalam mengangkat para pegawai pemerintahan Umar menerapkan kaidah ini. Dia memilih orang yang terkuat dari orang-orang yang kuat. Ketika Umar bin Khathab ra memberhentikan Syurahbil bin Hasanah dan mengangkat Mu’awiyah sebagai gantinya, Syuraihbil bertanya kepada Umar: “Apakah dengan alasan benci kamu memecatku, wahai Amirul Mukminin?” “Tidak, aku tetap mencintai kalian berdua. Akan tetapi, aku menginginkan orang yang lebih kuat.”1 Di antara riwayat lain yang diriwayatkan dari Umar bin Khathab dengan maksud yang sama adalah “Ya Allah, saya mengadu kepada-Mu dari mencambuk orang yang jahat dan kelemahan orang yang dapat dipercaya.”2
Ini menunjukkan bagaimana Islam serius dalam pemilihan sosok pembantu Khalifah. Dengan beban amanah yang berat, yakni berpikir serius untuk melayani seluruh kebutuhan masyarakat sesuai dengan bidangnya masing-masing, maka sangat diperlukan sosok yang kuat secara fisik dan tentu amanah. Bisa jadi jam kerjanya tidak seperti para Menteri sekarang yang terbatas pada jam kantor. Para pembantu Khalifah tentu telah mewakafkan waktunya 24 jam untuk memenuhi dan melayani aduan, masukan dan seluruh kebutuhan masyarakat. Rumahnya terbuka 24 jam untuk hal tersebut. Hal ini sebagaimana yang dipraktekkan oleh Umar. Umar di malam harinya seperti rahib yang terus berdoa dan menangis meminta ampun kepada Allah atas kelalaiannya jika masih ada di antara rakyatnya yang belum tersentuh kebijakannya. Di malam hari Umar di bantu pembantu pribadinya senantiasa ronda keliling kampung ke kampung dengan penyamaran memastikan bahwa semua rakyatnya tidak kelaparan, tidak tidur kedinginan atau kebutuhan lainnya. Sedangkan di pagi hingga sore hari, dengan sabar dan penuh keseriusan menerima dan mengambil keputusan melayani kebutuhan seluruh rakyatnya.
Dengan kondisi seperti di atas maka layak dan wajib bagi Khalifah memilih pembantunya yang secara fisik kuat dan amanah. Tidak boleh yang sakit-sakitan atau bahkan seorang koruptor. Walau dia teman atau tim sukses. Dan tentu, seorang Khalifah tidak mempunyai teman seorang koruptor. Orang yang tidak amanah dalam menjalankan amanah jabatan. Tak sedikit pejabat publik yang leih mementingkan kepentingan kelompok dan dirinya bahkan memperkaya diri hingga melakukan korupsi dan bukannya berpikir keras untuk kesejahteraan rakyat. Terbukti betapa banyak yang tertangkap oleh KPK, bahkan di antaranya oran dekat pucuk pimpinan negeri ini.
Kaidah kedua adalah mendahulukan orang yang berilmu dan menguasai pekerjaan. Khalifah Umar mengikut jejak Rasulullah SAW dalam mengangkat komandan pasukan. Menurut Ath-Thabari, jika ada pasukan yang terdiri dari orang- orang yang beriman berkumpul di hadapan Umar, dia menunjuk salah seorang yang menguasai agama dan berilmu untuk menjadi komandan mereka.”3
Di sisi lain, dalam menyeleksi orang-orang yang akan menjadi pegawai atau pejabat publik yang nanti membantu dalam pekerjaan Khalifah, Umar lebih mendahulukan orang yang lebih menguasai pekerjaan dari orang yang memiliki keutamaan.4 Padahal keutamaan yang dimaksud oleh Khalifah bukanlah keutamaan biasa-biasa saja. Namun keutamaan dengan standar tinggi, yakni keutamaan agama, kewaraan dan kemuliaan akhlak. Tentu ada standar minimal yang menjadi patokan dalam hal itu. Selama memenuhi standar minimal, maka orang yang lebih menguasai dan lebih memiliki kapasitas daam pekerjaannya lebih dikedepankan dari pada yang tidak memiikinya meski lebih tinggi dalam hal keutamaan itu.
Metode Umar di atas menjadi inspirasi hingga sekarang. Orang yang ‘alim, wara’, dan berakhlak mulia namun tidak menguasai pekerjaannya, dai boleh jadi akan mudah ditipu oleh orang-orang sesat dan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Hal ini tidak mungkin terjadi pada pegawai atau pemimpin yang menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Atas dasar inilah, Umar ra tidak mengangkat orang yang tidak mengetahui kejelekan (hal-hal yang berpotensi menjadi masalah dalam bidang yang akan digelutinya-red) untuk menjadi pemimpin. Umar pernah bertanya kepada seseorang tentang orang yang akan diangkat sebagai pegawai. Orang yang ditanya menjawab, “Wahai Amir al-Mukminin, dia tidak mengetahui keburukan.” Umar berkata, “Celakalah dia. Orang yang tidak mengetahui keburukan. Dia lebih mungkin untuk jatuh dalam keburukan itu.”5
Kaidah ini menjadi penegas bahwa pembantu khalifah dan pejabat publik haruslah paham tentang apa yang menjadi bidang garapan amanahnya. Orang yang paham betul seluk beluk amanah yang akan diembannya. Paham betul akar masalah jika ada masalah di bidangnya, tahu potensi-potensi yang ada, tahu siapa saja dan dengan siapa akan bisa menjalankan program dengan baik, tahu apa langkah-langkah praktis dalam menyusun program, tahu dengan siapa saja harus bermusyawarah, dan pengetahuan-pengetahuan yang lain yang mendukung dalam menjalankan amanahnya. Dan ini hanya bisa jika calon pembantu Khalifah adalah orang-orang yang berilmu. Bukan sekedar bagi-bagi jatah kursi kekuasaan seperti saat ini.
Kaidah ketiga adalah belas kasihan dan kasih sayang terhadap rakyat. Sikap ini bukan pencitraan ketika mau diangkat menjadi pejabat publik, Namun tercermin dalam rekam jejak keseharian sebelumnya. Dan juga tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang nanti dikeluarkannya.
Umar bin Khathab ra sangat mengharapkan kepada pegawainya untuk belas kasihan dan kasih sayang terhadap rakyat. Hal ini nampak pada sikap Umar ketika menyuruh para komandan pasukan untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan Orang Islam kesusahan atau menyebabkan kematian. Uma ra pernah menulis surat untuk seseorang yang akan diangkat sebagai pegawainya. Setelah orang itu datang, dia masuk ke rumah Umar AI-Faruk dan mendapati putra-putra Umar sedang berada di kamar bapak mereka. Orang itu melihat Umar sedang menciumi putra-putranya. Dia bertanya kepada Umar bin Khathab, “Apakah engkau selalu melakukan hal ini, wahai Amirul Mukminin? Demi Allah, belum pernah sekalipun saya mencium anak Ielakiku.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah, kamu adalah orang yang hatinya sangat keras. Kamu tidak pantas menjadi pegawaiku.” Umar Al-Faruq kemudian membatalkan keputusannya untuk mengangkatnya sebagai pegawai.”6
Beberapa pasukan Umar berperang di Persia hingga mencapai suatu sungai yang tak berjembatan. Komandan pasukan menyuruh salah seorang prajuritnya turun ke sungai untuk melihat bagian sungai yang bisa dilewati pasukan. Padahal, waktu itu cuacanya sangat dingin sekali. Orang tersebut berkata kepada komandannya, “Saya khawatir, jika saya turun ke sungai maka saya akan mati.” Akan tetapi, komandan perang tetap memaksanya untuk turun ke sungai. Setelah orang itu turun ke air. Dia berteriak sambil memanggil, “Wahai Umar, wahai Umar!” Tidak lama setelah itu, dia meninggal dunia.
Kemudian berita ini sampai ke telinga Umar yang saat itu sedang berada di pasar Madinah. Umar bin Khathah berkomentar, “Seandainya waktu itu saya mengetahui hal ini, maka saya akan melarangnya.” Dia mengirim surat kepada komandan pasukan dan kemudian memecatnya. Umar AI-Faruq berkata lagi, “Jika bukan karena perbuatanku ini akan diikuti, maka saya akan membunuhmu. Janganlah kamu menjadi pegawaiku untuk selamanyaa’.” Umar kemudian berpidato di hadapan para pegawainya, “Ketahuilah bahwa tidak ada suatu kebijaksanaan yang lebih dicintai oIeh Allah kecuali kebijaksanaan seorang hakim dan kasih sayangnya kepada rakyat. Tidak ada suatu kebodohan yang lebih dibenci oleh Allah daripada ketidaktahuan dia dengan keadaan rakyatnya. Ketahuilah orang yang membenci orang yang derajatnya sama maka dia akan dibenci oleh orang yang derajatnya di bawah”7
Dengan kaedah itu akan lahir para pejabat publik yang mempunyai kepekaan, kepedulian dan kasih sayang kepada rakyatnya seperti halnya Khalifah Umar bin Khathab. Semua itu hanya bisa etrwujud ketika Islam dan syariahnya diterapkan. Wallahu a’lam bi ash-Showab. [Abu Umam]
Catatan Kaki:
1 Ath-Thabari, jilid V, hal 39.
2 Al-Fatawa, jilid XVIII, hal 42.
3 Nizham Al-Hukmi fi Asy-Syari’ati wa At-Tarikh Al-Islami, Jilid I, hal 479.
4 Al-Madinah An-Nabawiyah Fajra Al Al-Islam, Jilid II, hal 56.
5 Ibid, hal 482.
6 Mahdh Ash-Shawab, Jilid II, hal 519.
7 Ad-Daulatu Al-Islamiyatu fi ‘Ashri Al-Khulafa’u Ar-Rasyidin, hal 334.