Keadilan Peradilan Islam (Bagian 3-Habis)
Masih banyak yang menyangsikan keadilan dalam Peradilan Islam. Buktinya banyak yang enggan memakai model Peradilan Islam. Banyak yang hanya mengambil spiritnya saja. Itu pun hanya diambil sebagiannya. Tidak menyeluruh.
Ketidakpercayaan terhadap Peradilan Islam bisa juga terlihat saat berdalil menggunakan ayat al-Quran dan as-Sunnah, namun hanya sebagai logika hukum semata. Ada juga yang cukup menggunakan al-Quran di atas kepala sebagai sumpah akan menggunakan kebenaran ketika akan memulai sidang perkara. Ada pula yang bersumpah akan menggunakan dasar al-Quran dan as-Sunnah dalam memutuskan perkara, namun dalam pelaksanaannya hanya mengutamakan kepentingan para pemilik kekuasaan dan modal saja.
Di antara mereka ada yang berargumentasi bahwa aturan agama itu wilayah pribadi yang tidak boleh dimasukkan dalam wilayah umum apalagi negara (peradilan). Alibinya, aturan Islam sangat subyektif dan hanya mencakup umat Islam saja. Umat lain tidak akan bisa dijangkau. Luar bisa memang narasi yang dipakai untuk menolak syariah Islam. Khususnya dalam peradilan.
Padahal peradilan Islam sungguh sangat indah, berkeadilan dan berkemanusiaan. Secara realitas, ketika syariah Islam dalam peradilan diterapkan akan memberi keadilan bagi siapa saja. Baik untuk umat Islam ataupun non-Islam sekalipun. Ini karena prinsip syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Selain itu, orang Islam dan kafir adalah sama kedudukannya di mata hukum. Tidak pandang bulu. Siapa yang salah akan mendapatkan hukum setimpal walaupun dia adalah seorang pejabat sekalipun. Tidak ada pintu toleransi pejabat mengintervensi masalah hukum.
Keadilan Peradilan Islam tergambar dengan jelas dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab, karya Dr. Muhammad ash-Shalibi. Dalam buku tersebut diterangkan beberapa fakta keadilan Peradilan Islam. Salah satunya, Islam menutup peradilan banding. Artinya, dalam Islam, jika seorang hakim telah menetapkan keputusan hukum dengan hasil ijtihadnya, maka hasil ijtihad tersebut tidak bisa dibatalkan dengan hasil ijtihad hakim lainnya. Jika hal itu terjadi maka akan memberikan ketidakpastian hukum. Justru memberi pintu bagi intervensi hukum oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Apalagi jika yang berperkara hukum adalah pejabat atau orang yang mempunyai akses keuasaan dan uang banyak. Hal ini akan memberi peluang bagi mereka untuk berinteraksi dengan mafia peradilan sehingga kasus perkaranya bisa diamankan atau minimal didamaikan. Betapa banyak kondisi seperti ini terjadi di peradilan di negeri ini. Hingga ada pomeo, orang miskin di larang berperkara dalam peradilan. Bisa mati karena tidak punya uang untuk mengamankan perkaranya. Mafia peradilan seperti kentut. Adanya nyata, namun susah untuk dibuktikan. Sebab semuanya saling mengamankan.
Dalam Islam, jika seorang hakim telah memutuskan suatu perkara berdasarkan isjtihadnya, kemudian ternyata keputusan tersebut tidak tepat, maka dia tidak boleh mengganti keputusan yang pertama dengan hasil ijtihad yang baru. Hakim yang menjabat berikutnya juga tidak boleh mengganti keputusan tersebut. Diriwayatkan dari Salim Bin Abu Ja’ad, “Andai dibolehkan bagi Ali bin Abu Thalib untuk mengkritik keputusan Khalifah Umar bin al-Khaththab, Ali pasti akan mengkritik keputusan Khalifah Umar ketika mengabulkan permohonan ganti rugi yang diajukan oleh utusan orang-orang Najran.”
Ali bin Abu Thalib ra. adalah orang yang menulis perjanjian antara Nabi Muhammad saw. dan orang-orang Najran. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga Ali bin Abu Thalib khawatir keberadaan mereka akan membahayakan orang lain. Terjadilah perbedaan pendapat di antara mereka. Mereka mendatangi Khalifah Umar dan meminta gantinya. Khalifah Umar bersedia memberikan gantinya, tetapi kemudian mereka menyesal. Mereka merasa tidak puas, kemudian mendatangi Khalifah Umar dan meminta Umar untuk memecat Ali. Setelah Ali diangkat sebagai hakim mereka mendatangi Khalifah Umar dan berkata, “Amirul Mukminin, kami berharap engkau memberikan bantuan kepada kami dengan menulis surat.” Ali bin Abu Thalib berkata, “Celakalah kalian. Sungguh keputusan Umar bin al-Khaththab sudah benar.”1
Dari kisah di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Khalifah Umar al-Faruq menolak untuk mengubah keputusan pertama yang sudah ia putuskan. Demikian pula hakim setelahnya, yaitu Ali. Ini semua dilakukan demi jaminan kepastian hukum dan meminimalisasi mafia peradilan bermain.
Kondisi ini tidak diartikan bahwa Islam menutup pintu ijtihad. Justru sebaliknya. Islam membuka lebar pintu ijtihad bagi mujtahid. Yang dibatasi dalam peradilan adalah adanya ijtihad baru ketika dalam waktu yang bersamaan sedang ada penyelesaian kasus peradilan. Seseorang yang berperkara tidak boleh membawa perkaranya kepada hakim yang lain—ketika sudah diputuskan perkaranya—untuk mendapatkan putusan lain. Baik untuk pembanding maupun untuk kepentingan yang lain. Ini yang tidak dibolehkan. Lain halnya jika kasusnya sudah selesai. Namun, di lain waktu lagi muncul permasalahan yang mungkin serupa, maka seorang hakim boleh berijitihad lagi. Walau ijtihadnya berbeda dengan yang terdahulu (setelah melihat fakta hukum yang ada) maka itu tidak mengapa. Dibolehkan.
Hal ini persis apa yang dialami oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab. Telah banyak terjadi perubahan dalam ijtihad Umar pada beberapa masalah dan tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia mengubah ijtihad atau keputusannya yang pertama. Beberapa ijtihad Umar yang mengalami perubahan adalah seperti penyamaan hak warisan antara kakek dengan saudara laki-laki seibu, masalah penggabungan saudara lelaki seayah-seibu (saudara kandung) dan saudara lelaki seibu dalam menerima sepertiga harta warisan jika saudara seayah-seibu si mayat tidak mendapatkan bagian warisan, dll.
Akan tetapi, Umar bin al-Khaththab menggunakan ijtihadnya yang baru pada masalah-masalah berikutnya. Walaupun dia sudah memutuskan pada suatu perkara, tidak ada halangan baginya untuk mengubah ijtihad yang lama. Umar bin al-Khaththab menulis surat pada Abu Musa al-Asy’ari yang berisi, “Jika kamu sudah memutuskan suatu perkara, tidak ada halangan bagimu untuk mengubah keputusan tersebut jika telah tampak suatu kebenaran. Mengubah keputusan dengan ijtihad yang benar itu lebih bagus daripada berlarut-larut dalam kebatilan.”2
Dengan alasan diatas Umar al-Faruq menentukan bagian kakek dalam warisan dengan bagian yang berbeda-beda. Ada perempuan yang meninggal dunia dan dia meninggalkan suami, ibu, dua saudara laki-laki seayah dan dua saudara laki-laki seibu. Umar bin al-Khaththab menggabungkan saudara laki-laki seibu dengan saudara laki-laki seayah dalam menerima sepertiga warisan. Ada seorang lelaki yang bertanya kepada Umar, “Bukankah di tahun ini dan ini engkau tidak mengabulkan mereka?” Dia menjawab, “Itu adalah keputusan kami di masa lalu. Adapun kebutuhan kami hari ini adalah seperti ini.”3
Keadilan yang lain dari Peradilan Islam adalah tetap menganggap bebas pihak terdakwa sampai terbukti dakwaannya. Sebelum terbukti bersalah maka dia tidak boleh dikriminalisasi atau bahkan dicap bersalah seperti pesakitan. Apalagi sampai memberikan keputusan hukum sebelum proses peradilan; atau memberi keputusan hukum dulu baru peradilan berjalan kemudian hanya untuk memberikan justifikasi hukum atas keputusan hukum yang ada; atau proses hukum hanya sekadar pelegalan atas keputusan hukum yang dibuat. Proses hukum selama persidangan selanjutnya hanya sebagai pemanis bahwa seolah-oleh proses hukum sudah berjalan. Padahal sejatinya keputusan proses hukum sudah di-setting sesuai dengan keputusan hukum yang di buat sebelumnya. Persis seperti perubahan UU Ormas melalui Perppu Ormas yang dengan dasar itu akhirnya dipakai untuk mencabut BPH HTI. Proses hukum di-setting mengikuti keputusan hukum yang sudah dibuat. Padahal belum pernah ada pembuktian hukum atas kesalahan HTI. Jelas ini melanggar prinsip peradilan dalam Islam, yakni tetap menganggap bebas pihak terdakwa sampai terbukti dakwaannya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar:
Kami berangkat bersama rombongan kendaraan. Ketika kami sampai di Dzu Al-Marwah, koper kami dicuri dan bersama kami ada seorang laki-laki dari suku Dzu Al-Marwah. Beberapa temanku berkata kepada dia, “Hai Fulan, kembalikanlah kopernya.”
“Saya tidak mengambilnya,” jawabnya.
Kemudian saya menemui Umar bin al-Khaththab dan menceritakan kisah ini kepada dia. Umar bertanya, “Siapa kalian?”
Kemudian saya menerangkan jumlah mereka. “Saya kira dia adalah temannya yang dituduh mencuri.”
Saya berkata kepada dia, “Amirul Mukminin, saya berniat untuk mendatangkan kepadamu dengan keadaan terbelenggu.”
“Apakah kamu akan mendatangkan dia kepadaku dalam keadaan terbelenggu, sedangkan dia belum terbukti bersalah?” jawab Khalifah.4
Keadilan Peradilan Islam selanjutnya adalah tunduk pada keputusan pengadilan. Walaupun Umar al-Faruq menjabat sebagai kepala negara (Khalifah). Hal ini tidak menghalangi dia untuk tunduk pada keputusan pengadilan. Dia menerima keputusan pengadilan dengan sepenuh hati. Tiada terbersit sekalipun upaya untuk mengintervensi masalah hukumnya agar dia dimenangkan dalam peradilan. Ini adalah bentuk pribadi yang luar biasa. Tidak menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk kepentingan pribadinya. Dia merasa sangat senang jika mendapatkan suatu masalah menimpa dirinya. Dia tetap memuji hakim walaupun keputusan pengadilannya mengalahkan dirinya.5
Diceritakan bahwa Umar bin al-Khaththab pernah mau membeli kuda kepada seorang badui dan menawarnya. Umar kemudian menaiki untuk mencobanya, tetapi kemudian kudanya terluka. Orang badui berkata kepada Umar, “Kuda ini sudah menjadi milikmu.”
“Belum,” jawab Umar.
Umar berkata lagi, “Angkatlah seseorang untuk menjadi hakim antara diriku dan dirimu.”
Orang Baduy tersebut berkata, “Saya menginginkan Syuraih.”
Keduanya kemudian menyerahkan urusan mereka kepada Syuraih. Syuraih berkata, “Amirul Mukminin, ambillah kuda yang sudah engkau beli atau kembalikan kuda tersebut sebagaimana engkau mengambilnya.”
Umar berkata, “Ini adalah pengadilan yang sebenarnya.”
Setelah itu dia mengutus Syuraih untuk menjadi hakim di Kuffah.6
Fragmen di atas menunjukkan bahwa peradilan Islam menutup kemungkinan adanya intervensi pejabat, penguasa atau yang punya uang untuk memuluskan perkaranya diperadilan. Peradilan Islam memberi jaminan kesamaan hukum dalam peradilan bagi siapapun, termasuk rakyat kecil sekalipun ketika berperkara dengan pejabat sekalipun. Berbeda dengan sekarang. Jika ada rakyat yang berpekara dengan pejabat maka akan seperti menabrak tombak besar lagi kuat. Hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Jauh panggang dengan syariah Islam.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Abu Umam]
Catatan kaki:
1 Sunan al-Baihaqi, jilid X, hal 120 dan Mausu’atu Fiqhi Umar bin al-Khattab, hal 828,
2 I’lam Al-Muwaqqi’in, jilid I, hal 85
3 I’lam Al-Muwaqqi’in, jilid I, hal 111 dan Mausu’atu Fiqhi Umar bin al-Khattab, hal 729
4 Mausu’atu Fiqhi Umar bin al-Khattab, hal. 729 dan Al-Mahalli jilid XI, hal. 123
5 Syahid Al-Mihrab, hal. 211
6 ‘Ashru Al-Khilafah Ar-Rasyidah, hal. 147 dan Syahid Al-Mihrab, hal. 211