Dunia Islam

Lima Poin Penting Seputar Revolusi Sudan

Meskipun penguasa Sudan Omar Basyir sudah mengundurkan diri, gejolak krisis Sudan masih berlangsung, bahkan semakin menghangat. Dewan Militer yang tengah berkuasa di Sudan (TMC) mengaku telah menggagalkan upaya kudeta. Demikian lapor TV milik Pemerintah setempat pada Kamis malam 11 Juli 2019. Setidaknya 16 orang yang disebut sebagai personel tentara telah ditangkap. Insiden ini terjadi saat TMC tengah berdiskusi dengan para pemimpin sipil Sudan yang terlibat dalam gerakan protes berkepanjangan. Mereka membahas kesepakatan pembagian kekuasaan, sebagaimana diwartakan Al-Jazeera dikutip Jumat (12/7/2019).

Untuk memahami krisis Sudan, ini ada lima poin penting yang penting untuk diperhatikan.

 

  1. Sudan telah ada sebelum revolusi.

Rezim sebelumnya benar-benar salah dalam mengelola ekonomi negara dan membuat ekonomi negara itu hampir mandeg. Rezim sebelumnya telah jatuh ke dalam pemberontakan rakyat. Namun, dalam semua kasus ini, masalah struktural tidak pernah terselesaikan. Sebelum revolusi ini mengayun penuh, demonstrasi terjadi berulang-ulang dan telah dihadapi dengan penangkapan dan bahkan pembunuhan. Revolusi ini juga dipicu terutama oleh situasi ekonomi. Seruan revolusi dengan cepat berubah menjadi seruan untuk menjatuhkan sistem dan telah mempolitisasi seluruh generasi muda yang sebelumnya terputus dari aktivisme ideologi dan politik. Hal ini telah menghasilkan lingkungan yang kondusif untuk terjadinya debat dan diskusi sehingga meningkatkan level kesadaran masyarakat dibandingkan dengan pemberontakan sebelumnya. Ini terlepas dari upaya Pemerintah dan kekuatan oposisi tradisional dalam gerakan protes untuk membungkam berbagai pendapat.

 

  1. Revolusi ini adalah bagian dari “Musim Semi Arab”.

Karena fokus revolusi adalah pada perubahan sistem dan bukan hanya pada reformasi ekonomi, revolusi ini merupakan kelanjutan gelombang awal revolusi pada tahun 2011. Sebagian orang berpendapat bahwa Sudan berbeda karena itu merupakan revolusi melawan rezim “Islamis” daripada revolusi melawan rezim sekular. Namun, kenyataannya adalah revolusi ini menentang sistem pemerintahan yang sama di antara semua negara Arab. Rezim Arab saat ini adalah negara-diktator yang dijalankan oleh seorang elit yang mabuk kekuasaan dan sangat “patriotik” dalam mempertahankan perbatasan, suatu bendera dan identitas nasional yang ditetapkan oleh kekuatan kolonial Eropa.

Sistem Arab pasca kolonial berusaha untuk menjaga umat Islam terpecah-belah terutama oleh nasionalisme Arab, juga oleh kesetiaan pada perbatasan yang dibuat oleh Inggris dan Prancis. Sistem ini bersifat sekular namun akan mengeksploitasi apa pun untuk mempertahankan kekuasaan; termasuk slogan-slogan, peraturan-peraturan dan simbol-simbol Islam jika perlu. Dalam hal ini, Sisi, MBS dan Omar al-Basheer adalah ‘rasa’ yang berbeda dari produk yang sama. Ketidakhadiran Islam dari revolusi ini disebabkan oleh kecenderungan sekular dari koalisi partai politik terbesar (Gerakan Kebebasan & Perubahan Sudan). Bukan oleh sentimen anti-Islam di kalangan masyarakat. Gerakan protes bersatu pada seruan untuk menjatuhkan rezim, namun tidak pada apa yang terjadi selanjutnya. Dewan Militer yang berkuasa telah memainkan kartu Syariah untuk memecah gerakan demonstrasi dengan keberhasilan terbatas, tetapi tetap tidak berkomitmen pada penerapannya.

 

  1. Sudan di tepi jurang kehancuran?

Kekuatan-kekuatan asing yang mengganggu revolusi ini yakni Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, Uni Afrika, UEA, Arab Saudi, Mesir dan Ethiopia semuanya membebani Sudan. Sebagai contoh, Arab Saudi, Mesir dan UEA sangat kurang ajar memberikan dukungan kepada Dewan Militer. Inggris dan UE sangat terbuka dengan dukungan mereka terhadap para pemimpin demonstrasi. AS, Uni Afrika (AU) dan Ethiopia bermain dua kaki. Satu hal yang secara prinsip disetujui oleh semuanya adalah mempertahankan sistem pasca-kolonial. Tujuannya untuk menjaga Sudan tetap berada dalam sistem internasional sebagai sebuah negara-bangsa sekular yang tunduk pada keseimbangan kekuasaan, mengikuti prinsip-prinsip kapitalis di dalam negeri serta “bekerjasama” dengan kekuatan besar dalam “menyelesaikan” masalah regional “secara politis”, yaitu dalam kerangka saat ini.

Untuk mencapai tujuan ini, mereka (sejauh ini) telah berhasil mengalihkan perhatian dari menjatuhkan rezim menjadi negosiasi pembagian sebagian kekuasaan yang dibentuk antara sisa-sisa rezim lama dan para pemimpin demonstrasi dengan janji-janji palsu tentang masa depan negara yang demokratis saat mereka semua berdiri dan menyaksikan demokrasi terbunuh di Mesir baru-baru ini dan sebelumnya di Aljazair. Jika perhatian tidak dibawa kembali ke arah perubahan radikal dalam sistem, revolusi ini akan gagal dan semua pengorbanan yang dilakukan akan dikhianati oleh kenaifan para pemimpin gerakan demonstrasi yang punya prinsip.

 

  1. Negara ini menjadi negara demokrasi atau Khilafah.

Rakyat sepakat untuk menjatuhkan rezim, tetapi karena beragam gerakan politik dan milisi di negara ini, tidak ada yang memiliki dukungan publik yang jelas dan banyak yang memiliki catatan yang meragukan dalam pemerintahan. Pendapat masyarakat di negara tersebut adalah untuk mencapai pemerintahan sipil teknokratis agar dapat memimpin dalam masa transisi, yaitu pemerintahan non-ideologis yang berfokus pada penyelesaian masalah langsung di negara itu sambil mempersiapkan pemilihan umum yang bebas dan adil setelah periode ini berakhir.

Kenyataannya, diperlukan sesuatu yang sangat radikal untuk meyakinkan rakyat untuk kembali ke negara polisi dan diktator serta tidak ada keluarga kerajaan untuk mendirikan monarki. Komunisme tidak akan pernah didukung lagi di negara mayoritas Muslim. Rezim yang menipu yang berpura-pura Islam atau demokratis pun akan menghadapi pemantauan dan pertanggungjawaban yang jauh lebih ketat sehingga hanya ada ruang untuk sistem demokrasi yang nyata atau sistem Islam yang nyata. Di sinilah perdebatan seharusnya berlangsung.

Demokrasi harus dihilangkan sebagai opsi dan Khilafah Rasyidah harus menjadi tujuannya. Ini karena demokrasi itu sendiri menipu dan merusak dirinya sendiri selain bertentangan dengan secara intelektual dengan aqidah Islam. Demokrasi menjanjikan pilihan kepada massa, namun hanya memberikan kekuasaan kepada pihak yang kuat dan menipu di masyarakat (yakni pihak mayoritas, kaya, populis). Demokrasi pun memberikan hak untuk membuat undang-undang kepada Parlemen untuk melakukan pelanggaran yang jelas kepada peran Pembuat Undang-undang Yang Satu dan Satu-Satunya, yakni Allah SWT. Demokrasi juga melepaskan kebebasan untuk memberontak melawan Allah SWT.

Demokrasi menyerahkan rakyat kepada keinginan majelis manusia. Adapun Khilafah adalah sistem yang menyerahkan semua manusia kepada hukum Allah SWT yang tidak bias, tidak menguntungkan hanya suatu kelompok mana pun, bahkan jika mereka merupakan mayoritas penduduk negara itu. Hak untuk memilih kepala negara diabadikan dalam sirah dan Khilafah Rasyidah pertama. Meminta pertanggungjawaban mereka adalah suatu kewajiban (diperlukan). Negara tidak memiliki batas-batas negara yang tetap sehingga akan bekerja untuk menyatukan umat dan mengumpulkan sumberdayanya.

 

  1. Apa peran umat Islam di luar Sudan?

Khilafah memberikan kemerdekaan yang nyata dan kemampuan untuk keluar dari sistem internasional yang menindas banyak negara di dunia. Kita kemudian akan memiliki model dan visi untuk diikuti oleh orang lain dan membangun jembatan dan berperang atas dasar yang mulia itu. Jika kita membangun sistem Khilafah di Sudan, atau di mana pun, hal ini akan memulai reaksi berantai dari perubahan di negara-negara Muslim lainnya.

Peran Muslim di luar Sudan adalah untuk mengungkap realitas demokrasi Barat dan rencana serta niat sebenarnya dari kekuatan Barat.

Hizbut Tahrir telah membuat sebuah model yang diturunkan melalui ijtihad untuk menerapkan sistem ini pada zaman modern. Kaum Muslim, dimanapun kita berada, perlu berkontribusi pada kebangkitan umat ini, membuat alasan bagi Khilafah untuk menyatukan umat ini dan memproyeksikan model praktis bagi suatu masyarakat yang tunduk kepada Allah SWT dan bukan masyarakat model sekularisme Barat.

Ini adalah misi yang diwariskan oleh Nabi saw. kepada kita. Tentu untuk menjadikan Islam sebagai agama yang utama dan menyebarkan keadilannya kepada semua manusia.

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٩

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun kaum musyrik membenci (QS ash-Shaff [61]: 9).

 

[Riza/Sumber: http://www.hizb.org.uk/viewpoint/five-things-you-need-to-know-about-sudans-revolution/]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + nineteen =

Back to top button