Hadis Pilihan

Kepemilikan Umum Atas Padang Rumput, Air dan Api

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad dari jalur Hiban bin Zaid asy-Syar’abi Abu Khidasy, dari seorang laki-laki sahabat Nabi saw. Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Khathib dalam Mûdhih Awhâm al-Jam’i wa at-Tafrîq, Abu Nu’aim dalam Ma’rifah ash-Shahâbah pada bagian tarjamah Abu Khidasy dan al-Baihaqi dalam Sunan-nya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Ad-Dirâyah fî Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah mengomentari: “Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Abiy Syaibah dan Ibnu ‘Adi. Para perawinya tsiqah.

Para ulama hadis menilai para perawi hadis ini tsiqah.

Adapun Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla menilai Abu Khidasy sebagai perawi majhul (tidak dikenal).  Penilaian ini lemah karena para ulama hadis menilai Abu Khidasy seorang tabi’in yang ma’ruf (dikenal).  Abu Dawud sendiri dalam riwayatnya menyebutkan, Abu Khidasy ini adalah Hiban bin Zaid asy-Syar’abi.  Abu Hatim ketika ditanya, ia berkata, “Abu Khidasy tidak pernah berjumpa dengan Nabi saw.  Ia seperti yang telah dikatakan.  Abu Dawud telah menyebut namanya dalam riwayat beliau, yaitu Hiban bin Zaid. Dia adalah asy-Syar’abi. Dia seorang tabi’in yang sudah dikenal.

Ibnu Abdil Bar menilai hadis ini shahih.  Bahkan Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Abu Khidasy meriwayatkan hadis ini dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash.”

Hadis ini merupakan hadis mursal karena tidak disebutkan rawi Sahabat.  Para perawinya tsiqah. Tidak disebutkan rawi Sahabat itu tidak mengurangi kualitas hadis ini karena semua sahabat adalah adil. Alhasil, hadis ini sah dijadikan hujjah.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdulah bin Said, dari Abdullah bin Khirasy bin Khawsyab asy-Syaibani, dari al-‘Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas ras. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمنَهُ حَرَامٌ

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram.

 

Ibnu Hajar berkomentar dalam Talkhîsh al-Habîr, “Abdullah bin Khirasy matruk. Ibnu al-Muwatha’ menshahihkannya.”

Sebagian ulama menilai, yang dha’if adalah tambahan redaksi: wa tsamanuhu harâm (dan harganya haram).

Riwayat lain menyebutkan dengan lafal: An-Nâs syurakâ’un fî tsalâtsin fî …. (Manusia berserikat dalam tiga hal dalam…).

Hadis di atas menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput dan api.  Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.  Imam as-Sarakhsyi di dalam al-Mabsûth menjelaskan hadis-hadis di atas:



Di dalam hadis-hadis ini terdapat penetapan bahwa manusia manusia, baik Muslim maupun kafir, berserikat dalam ketiga hal itu.  Demikian juga penafsiran syirkah (perserikatan) dalam air yang mengalir di lembah, sungai besar seperti Jihun, Sihun, Eufrat, Tigris dan Nil. Pemanfaatan air itu posisinya seperti pemanfaatan matahari dan udara. Muslim maupun non-Muslim sama saja dalam hal ini.  Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi seseorang dari pemanfaatan itu.  Ini seperti pemanfaatan jalan umum dari sisi berjalan di jalan itu.  Maksud lafal syirkah bayna an-nâs (berserikat di antara manusia) adalah penjelasan ketentuan pokok ibahah (boleh) dan kesetaraan (musâwah) di antara manusia dalam pemanfaatan (ketiganya). Hanya saja ketiga barang itu dimiliki oleh mereka (bersama-sama).  Maka dari itu air di lembah itu bukan milik seseorang pun.

 
Para ulama sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang.  Mereka berbeda pendapat tentang sumur, mata air di tanah milik seseorang, padang rumput yang sengaja ditanam seseorang di tanahnya dan semisalnya; apakah boleh dimiliki pribadi ataukah milik umum.  Ash-Shan’ani al-Amir dalam Subul as-Salâm mengatakan, “Dikatakan, mungkin yang menyebabkan adanya perbedaan dalam hal air, hal itu karena keumuman kebutuhan dan toleransi manusia dalam hal (pemanfaatan) itu.”

Jika dikaji lebih jauh dalam masalah ini, ternyata Rasulullah saw. membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Seandainya berserikatnya manusia itu karena zatnya, tentu Rasulullah saw. tidak akan membolehkan air sumur itu dimiliki oleh individu.

Dengan demikian, berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak (komunitas) dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.  Artinya, berserikatnya manusia itu karena posisi air, padang rumput dan api sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas.  Sifat ini merupakan ‘illat istinbâth[an] perserikatan manusia dalam ketiga hal itu.

Maka dari itu, hadis itu memang menyebutkan tiga macam (air, padang rumput dan api), namun disertai ‘illat, yaitu sifatnya sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas.  Kaidah ushul menyatakan: “Al-Hukm yadûru ma’a ‘illatihi wujûd[an] wa ‘adam[an] (Hukum beredar bersama ‘illat, ada dan tidaknya [‘illat itu]).”

Dengan demikian, apa saja (air, padang rumput, api, sarana irigasi, dan selainnya) yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum yang dibutuhkan secara bersama oleh suatu komunitas—yang jika tidak ada maka masyarakat akan berselisih dalam mencarinya—maka manusia berserikat di dalamnya.

Perserikatan di situ bermakna perserikatan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua boleh memanfaatkannya. Tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja, sementara sebagian yang lain dihalangi/dilarang. Artinya, di situ ada izin dari Asy-Syâri’ kepada semua orang secara berserikat untuk memanfaatkan jenis harta itu. Sudah diketahui bahwa izin Asy-Syâri’ untuk memanfaatkan suatu harta merupakan kepemilikan.

Maka dari hadis di atas, dan nas lainnya, dapat di-istinbath kepemilikan umum, yakni izin Asy-Syâri’ kepada semua orang untuk memanfaatkan harta. Asy-Syâri’ sekaligus menetapkan jenis harta yang dibutuhkan oleh masyarakat atau menjadi fasilitas umum merupakan harta milik umum.

WaLlâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × four =

Back to top button