Takrifat

‘Syarat ‘Illat

Dalam istilah ushul, ‘illat didefinisikan sebagai sesuatu yang karenanya ada hukum, atau sesuatu yang menjadi sebab adanya hukum. Dengan ungkapan lain, seperti yang dikatakan oleh Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, ‘illat adalah sesuatu yang membangkitkan hukum (al-bâ’its ‘alâ al-hukm). Makna al-bâ’its ‘alâ al-hukmi adalah al-bâ’its ‘alâ at-tasyrî’ (yang membangkitkan tasyri’ [pensyariatan]), bukan membangkitkan pelaksanaan hukum dan pengadaannya. Dengan demikian ‘illat itu merupakan sebab pensyariatan hukum.

Sesuatu hingga dapat dinilai sebagai ‘illat yang memenuhi deskripsi itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan oleh para ulama ushul. Syarat-syarat ‘illat yang dipaparkan oleh para ulama setidaknya ada dua puluh empat syarat. Dua puluh empat syarat itu dipaparkan oleh Asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fukhûl dan secara lebih panjang lebar oleh az-Zarkasyi di dalam Al-Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqh. Sebagian di antaranya disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan keberadaannya sebagai syarat ‘illat.

Berikut adalah beberapa syarat utama untuk ‘illat (Al-‘Allamah asy-syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz III menyebutkan delapan syarat; Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl Ilâ al-Ushûl menyebutkan sepuluh syarat, di antaranya yang disebutkan oleh Al-‘Allamah an-Nabhani ditambah syarat lainnya; Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî menyebutkan enam syarat utama,  yang menurut beliau, syarat-syarat lainnya sudah tercakup oleh enam syarat itu).

Pertama: Harus merupakan ‘illat dengan makna al-bâ’its ‘alâ al-hukmi (yang membangkitkan hukum). Artinya, ‘illat itu tidak cukup hanya amârah (penanda) atas hukum, yakni menjadi ‘alâmat (tanda-tanda) atas hukum. Sebab jika demikian maka itu hanya berfaedah memberitahukan hukum, sementara hukum itu sendiri diketahui dengan khithâb, bukan dengan ‘illat yang di-istinbath dari khithab itu.

Kedua: Harus merupakan washf[an] zhâhir[an] mundhabith[an] yang mencakup makna yang sesuai, yakni merupakan washf[un] mufhim[un] (sifat yang mengandung konotasi) penetapan ‘illat. Zhâhir artinya tidak khafiy (tidak tersembunyi), yakni sifat itu jelas dapat diketahui secara inderawi sehingga mudah diketahu ada dan tidaknya, bukan tersembunyi dan sulit diketahui.  Mundhabith, menurut syaikh Wahbah az-Zuhaili, artinya memiliki hakikat tertentu dan tidak ada perbedaan signifikan antara orang dan kondisi. Sebab asas qiyas adalah kesamaan antara perkara cabang dan perkara pokok pada ‘illat hukum. Ini mengharuskan ‘illat itu akurat/tetap, tidak berubah-ubah atau berbeda-beda. Sifat zhâhir mundhabith itu posisinya di dalam kalimat (nas) harus memberi faedah (pengertian) ‘illat, yakni memberi faedah sebab adanya hukum itu. Inilah yang dimaksud harus berupa washf[un] mufhim[un].

Ketiga: Harus berpengaruh (mu‘atstsirah) terhadap hukum. Jika tidak berpengaruh pada hukum maka tidak boleh menjadi ‘illat. Sebagian ulama ushul menyebut mu‘atstsirah dengan munâsabah (kesesuaian). Al-Ustadz Abu Manshur menjelaskan maksudnya, bahwa sifat itu sah jika hukum dikaitkan dengannya. Jika tidak boleh dikaitkan hukum dengan sifat itu maka sifat itu tidak bisa menjadi ‘illat hukum.  Qadhi Abu Syuja’ di dalam At-Taqrîb menjelaskan, makna “keberadaan ‘illat itu berpengaruh pada hukum” adalah dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) pada diri mujtahid bahwa hukum tersebut ada ketika ‘illat itu ada, yakni hukum itu ada karena ‘illat itu, bukan karena sesuatu yang lain.

Contoh syarat ini, firman Allah SWT:

لِّيَشۡهَدُواْ مَنَٰفِعَ لَهُمۡ ٢٨

Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka (QS al-Hajj [22]: 28).

 

Ini tidak memberi faedah ‘illat. Pasalnya, sifat “menyaksikan berbagai manfaat” tidak berpengaruh pada hokum, yakni kewajiban berhaji. Dengan demikian sifat itu tidak menjadi ‘illat atas kewajiban haji.

Hal itu berbeda dengan firman Allah SWT:

كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ ٧

Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr [59]: 7).

 

Ini memberi faedah ‘illat. Sebab sifat “tidak beredar di antara orang-orang kaya saja” itu berpengaruh pada hukum dan hukum itu ada ketika sifat itu ada.

Keempat: Harus selamat, yakni tidak ditolak atau dibatalkan oleh nas al-Kitab, as-Sunanh atau Ijmak Sahabat. Az-Zarkasyi di dalam  Al-Bahru al-Muhîth fi Ushûl al-Fiqhi menyebutkan, hal itu karena Qiyas itu adalah cabang dari al-Kitab, as-Sunnah dan Ijmak. Tidak digunakan kecuali ketika tidak ada pernyataan dari ketiganya. Karena Qiyas tidak boleh lebih tinggi dari ketiganya, maka jika al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak menolaknya maka Qiyas itu batal.

Kelima: Harus bersifat mutharidah (berturut-turut dan berkelanjutan), yakni setiap kali ‘illat itu ada maka hukumnya ada. Tidak boleh ada pembatalan dan kekurangan. Artinya, setiap kali sifat yang dianggap ‘illat itu ada maka hukumnya harus ada, tidak boleh kadang-kadang. Jadi jika sifat itu ada tetapi hukumnya tidak ada maka sifat itu tidak boleh menjadi ‘illat.

Contohnya, masyaqqah (kesulitan) tidak boleh dijadikan ‘illat kebolehan meng-qashar shalat ketika safar. Orang yang tidak safar sering mengalami masyaqqah ketika melakukan sesuatu yang sulit dan berat, misalnya memanggul beban berat, menggali tanah, dsb. Tingkat kesulitannya lebih dari kesulitan perjalanan. Apalagi perjalanan yang nyaman seperti menggunakan pesawat terbang, kereta, mobil, dsb. Meski demikian tidak ada rukhshah bagi orang yang tidak dalam safar itu untuk meng-qashar shalat. Sebaliknya, orang yang safar itu tetap memiliki rukhshah untuk meng-qashar shalat meski tidak ada masyaqqah.

Keenam: Harus bersifat muta’addiy yakni merembet ke yang lain. Jadi sifat itu tidak qâshirah (terbatas) pada perkara asal (pokok) saja. Jika bersifat qâshirah (tidak bisa merembet ke yang lain) maka tidak boleh menjadi ‘illat. Sebab faedah ‘illat itu adalah untuk menetapkan hukum pada perkara cabang menggunakan ‘illat itu. Jadi sifat yang menjadi ‘illat itu harus bisa ada pada banyak perkara dan mungkin ada pada selain perkara asal.  Sebab jika sifat itu terbatas pada perkara asal saja maka tidak mungkin dilakukan qiyas sebab terbatasnya ‘illat itu menghalangi terjadinya di perkara cabang. Padahl pondasi qiyas itu adalah berserikatnya perkara cabang dengan perkara asal (pokok) pada ‘illat hukum. Jika perserikatan ini tidak tercapai karena ‘illat-nya terbatas pada perkara asal dan tidak bisa merembet ke selain perkara asal itu maka jelas tidak sah dilakukan qiyas.

Ketujuh: Jalan penetapan ‘illat itu harus syar’i sebagaimana hukum syariah. Artinya, ‘illat itu harus ditetapkan dengan al-Kitab, as-Sunnah atau Ijmak Sahabat.  Jika tidak maka tidak sah dinilai sebagai ‘illat sehingga tidak sah pula dijadikan dasar melakukan qiyas. Jadi ‘illat itu harus ‘illat syar’i. Tidak boleh berupa ‘illat ‘aqliyyah, yakni ditetapkan dengan akal semata tanpa bersandar pada nas syariah. ‘Illat ‘aqliyyah ini tidak pantas bagi Qiyas. Hukum yang dihasilkan bersandar pada ‘illat ‘aqliyyah itu tidak dinilai sebagai hukum syariah.

Kedelapan: ‘Illat itu bukan merupakan hukum syariah. Suatu hukum syariah tidak menjadi ’illat bagi hukum syariah lainnya. Sebab seandainya suatu hukum menjadi ‘illat bagi hukum lainnya, jika itu dalam makna sebagai alamat (penenada) hukum atau mu’arrif ‘alâ (yang memberitahukan) hukum maka tidak menjadi ‘illat. Sebab ‘illat itu tidak sekadar alamat atau mu’arrif ‘alâ al-hukmi, tetapi al-bâ’its ‘alâ al-hukmi (yang membangkitkan hukum), yakni menjadi sebab adanya hukum. Adapun jika dalam makna bahwa hukum itu menjadi al-bâ’its ‘alâ al-hukmi, yakni sebab adanya hukum maka hal itu mustahil terjadi. Sebab jika begitu maka hukum syariah itu disebabkan atau dibangkitkan oleh dirinya sendiri. Ini mustahil.

Delapan syarat ini merupakan syarat yang utama. Syarat-syarat lainnya bisa dikembalikan pada delapan syarat ini atau syarat rukun qiyas lannya. Misalnya: Kesembilan: ‘Illat itu tidak boleh lebih akhir dari hukum asal/pokok.  Jika ‘illat lebih akhir dari hukum asal, maka hukum asal/pokok itu terbukti lebih dulu dari ‘illat yang dengan begitu artinya ‘illat itu tidak menjadi al-bâ’its ‘alâ tasyrî’ al-hukmi (tidak menjadi sesuatu yang membangkitkan pensyariatan hukum). Syarat ini sebenarnya juga dijelaskan dalam syarat hukum asal, meski tidak secara eksplisit.

Kesepuluh: ‘Illat itu bukan merupakan hikmah. Sebab hikmah itu bisa terealisasi dan bisa juga tidak. Syarat ini sebenarnya kembali pada syarat mutharidah atau syarat mu`atstsirah álâ al-hukmi atau syarat al-bâ’ist ‘alâ tasyrî’ al-hukmi. Jika kadang terealisasi dan kadang tidak, maka sifat itu tidak bersifat mutharidah. Ketika sifat itu tidak teraealisasi ketika hukumnya ada, maka artinya sifat itu tidak mu`atstsirah terhadap hukum itu. Fakta bahwa sifat itu kadang tidak terealisasi meski hukumnya terealisasi, artinya sifat itu bukan sebab pensyariatan hukum itu.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine − 7 =

Back to top button