Analisis

Akar Masalah Kapitalisme Global

Ekonomi dunia telah mengalami resesi global secara periodik dalam 5 dekade terakhir. Resesi terjadi pada tahun 1975, 1982, 1991, 1998, 2008-2009, 2012, 2015-2016 dan 2019-2020. Selama masing-masing periode tersebut, Resesi global sangat dirasakan dengan gangguan ekonomi dan keuangan yang parah di banyak negara di dunia [1].

Krisis atau resesi ekonomi sering disebabkan oleh antara lain: pasar yang terkoreksi [2]; kegagalan pasar [3]; perdagangan eksternal dan guncangan harga [4]; ketidakstabilan politik [5]; kerusuhan masyarakat sipil melalui protes [6].

Penyebab resesi global 2019-2020 memang sedikit berbeda dengan krisis sebelumnya. Hal ini dipicu oleh krisis minyak dan pandemi Covid-19. Namun demikian, akar penyebab krisisnya ada kemiripan.  Sebenarnya, perekonomian global mengalami perlambatan dalam pertumbuhannya meskipun tidak ada wabah. Wabah semakin memperlihatkan akar penyebab krisis secara kasatmata.

 

Akar Penyebab Krisis

Dalam perspektif Ekonomi Islam, akar penyebab krisis ekonomi Kapitalisme yang utama adalah riba dengan berbagai bentuknya. Terutama dalam wujud perbankan ribawi, mata uang berbasis dolar/fiat money, pasar saham dan sektor ekonomi non-riil. Banyak ayat al-Quran melarang riba (baik ringan maupun berat). Di antaranya: QS al-Baqarah (275-276, 278-279), Ali Imran ayat 130, an-Nisa’ ayat 161 dan ar-Rum ayat 39. Selain itu banyak hadis tentang keharaman riba [7].

Secara logika makroekonomi, ada anomali dan lingkaran setan dari riba dalam sistem ekonomi. Di antaranya adalah menghambat investasi. Semakin tinggi tingkat bunga dalam masyarakat, semakin kecil kecenderungan masyarakat untuk berinvestasi. Masyarakat akan lebih cenderung untuk menyimpan uangnya di bank-bank karena keuntungan yang lebih besar diperolehi akibat tingginya tingkat bunga.

Bunga juga dianggap sebagai tambahan biaya produksi bagi para para pelaku usaha yang menggunakan modal pinjaman berbunga. Biaya produksi yang tinggi tentu akan memaksa perusahaan untuk menjual produknya dengan harga yang lebih tinggi pula. Melambungnya tingkat harga akan mengundang inflasi akibat semakin lemahnya daya beli konsumen.

Sistem ekonomi ribawi juga menjadi penyebab utama ketidakstabilan nilai uang (currency) sebuah negara. Pasalnya, uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riilnya rendah ke negara yang tingkat bunga riilnya lebih tinggi. Ini adalah akibat para spekulator ingin memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya di negara yang tingkat bunga riilnya relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah ekonomi, disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riil di sini maksudnya adalah tingkat bunga minus tingkat inflasi.

Sebagai contoh, bila tingkat bunga di suatu negara misalkan 12%, dengan tingkat inflasi misalkan 8 %, maka tingkat bunga riilnya adalah 4% (12%–8%). Ini berarti, walaupun tingkat bunga nominal (tingkat bunga sebelum dikurangi dengan tingkat inflasi) tinggi, tidak secara otomatis akan mempengaruhi investor untuk membeli rupiah, karena pada dasarnya tingkat bunga riil di negara tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga riil di negara-negara lain.

Tinggi-rendahnya nilai rupiah, misalnya, sangat dipengaruhi oleh jumlah permintaan dan penawaran rupiah di pasar uang. Semakin banyak jumlah permintaan mata uang rupiah, semakin tinggi nilai mata uang rupiah. Begitu pula sebaliknya. Begitu juga dengan penawaran. Semakin tinggi jumlah rupiah yang beredar di pasar, sementara permintaan rupiah rendah, maka nilai rupiah akan menurun. Begitu pula sebaliknya.

Inilah yang sedang berlaku di Indonesia. Jangankan para pengusaha asing, para pengusaha dalam negeri pun lebih cenderung membeli dolar atau mata uang asing lainnya dengan menjual rupiah di pasar valuta asing. Ini juga bermakna semakin berkurangnya dana asing yang masuk ke Indonesia, ditambah lagi dengan larinya dana dalam negeri ke luar sehingga akan sangat mempengaruhi ketersediaan dana yang memadai sebagai modal pembangunan ekonomi. Hal ini jelas semakin memperparah penurunan nilai mata uang rupiah dan semakin minimnya dana asing dan lokal yang tersedia untuk pembangunan ekonomi. Pada gilirannya ini akan menyebabkan krisis ekonomi berkepanjangan.

Memang, semakin rendah nilai rupiah, semakin kuat daya saing komoditas ekspor Indonesia di pasar internasional karena relatif murahnya harga komoditas ekspor tersebut di pasar internasional bila dibeli dengan mata uang asing. Namun, penurunan nilai rupiah ini tidak akan memberi pengaruh signifikan. Pasalnya, kebanyakan komposisi bahan mentah komoditas ekspor Indonesia terdiri dari bahan mentah yang diimpor dari negara luar. Dengan kata lain, kenaikan harga barang mentah mengakibatkan tingginya nilai mata uang (apresiasi) asing. Jelas ini akan menyebabkan biaya untuk memproduksikan komoditas ekspor tersebut akan bertambah mahal. Akibatnya, produk akhir komoditas itu harus dijual dengan harga yang mahal pula. Ini menunjukkan bahwa penurunan nilai rupiah semakin susah memberi kelebihan daya saing ekspor Indonesia di pasar internasional.

 

Ketidakseimbangan Neraca Pembayaran dan Perdagangan

Neraca pembayaran dan komponen-komponennya merupakan informasi yang sangat penting mengenai perekonomian suatu negara dan implikasinya bagi kestabilan makroekonominya. Jika negara kita lebih banyak impor dari ekspor, baik barang dan jasa, dan juga lebih banyak membayar negara/warga asing dalam hal pendapatan daripada yang kita terima dari negara lain, artinya kita mengalami defisit current account (neraca transkasi berjalan, terutama pada komponen neraca perdagangan). Artinya, devisa/mata uang asing yang kita terima (dari ekspor) lebih sedikit dari mata uang asing (devisa) yang kita butuhkan (untuk membayar impor).

Lalu apa yang harus dilakukan? Kita harus “meminjam” devisa dari negara lain, “membujuk” mereka untuk meminjamkan devisa atau menginvestasikan devisa tersebut di negara kita. Entah investasi langsung (FDI) ataupun investasi di pasar modal kita. Dengan kata lain kita butuh capital inflow.

Artinya, setiap defisit di current account kita harus ditambal dengan surplus di capital account. Bagaimana caranya supaya negara asing mau membawa capital inflow ke negara kita? Caranya kita harus membuat negara kita menarik untuk berinvestasi, bahwa investasi di negara kita memberikan hasil yang baik buat mereka. Prospek pertumbuhan ekonomi yang bagus, stabilitas yang terjaga, kepastian hukum, dan lain-lain. Untuk investasi portofolio, prospek laba perusahaan yang menarik, atau tingkat suku bunga yang tinggi kita tawarkan supaya mereka mau meminjamkan modal kepada kita.

Jika mereka tidak tertarik, apa yang terjadi? Yang terjadi, pasar “memaksa” kita untuk melakukan adjustment dengan melemahnya nilai rupiah. Ketika rupiah melemah, misalnya, harga aset di Indonesia di kaca mata asing menjadi murah, dan mereka akan tertarik untuk membawa capital inflow. Juga, pelemahan nilai rupiah akan membuat barang-barang ekspor Indonesia “murah” bagi asing, dan meningkatkan ekspor kita dan memperbaiki current account.

Apakah defisit current account itu selalu jelek dan akan menjurus pada pelemahan rupiah? Tidak mesti. Bisa jadi, current account yang defisit karena prospek ekonomi yang bagus pada masa yang akan datang, membuat banyak investor datang membawa modal ke Indonesia (surplus capital account). Aktivitas ekonomi yang digerakkan penanaman modal ini membutuhkan banyak impor (defisit current account). Kesimpulannya, defisit current account tidak menjadi masalah jika defisit ini terjadi untuk sesuatu yang produktif pada masa yang akan datang, untuk perekonomian dan untuk current account itu sendiri. Namun, jika terjadi gejolak suplai dan aliran dana global, negara dengan defisit current account akan lebih vulnerable.

Di Indonesia, kesenjangan ekonomi sangat tinggi. Satu persen orang di Indonesia menguasai 50% aset nasional, Jika dinaikkan jadi 10% keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya, sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% sisanya. Di Amerika kesenjangan juga tinggi, namun orang yang paling miskin masih bisa beli mobil dan sewa rumah. Di Thailand kesenjangan tinggi, namun sama-sama Thailand. Kita ini bangsa yang majemuk. Artinya, jika ada 10 orang kaya, 9 orang bukan Muslim, jika ada 10 orang miskin, 9 orang Muslim [9].

 

Penyelesaian Masalah dengan Islam

Permasalahan Kapitalisme tidak dapat diselesaikan dengan metode tambal-sulam Islam parsial. Ibarat satu tubuh, badannya, jantungnya, darahnya dan pompa darahnya adalah kapitalisme. Jika hanya jantungnya saja yang diganti, sementara darahnya dan tubuhnya masih Kapitalisme, tentu tidak dapat menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Cacat bawaan Kapitalisme tidak dapat diobati secara tuntas, kecuali kalau diganti sistemnya secara keseluruhan dengan sistem Islam kaafah.

 

  1. Sistem Makroekonomi dan Mikroekonomi Islam.

Dalam Islam, permasalahan krisis ekonomi dapat diatasi dengan menata kembali sektor riil; dengan pelaku pasar rakyat luas, dengan barang dan jasa yang nyata. Ini akan memberikan dampak ekonomi (pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja) secara nyata. Selanjutnya tinggalkan pasar semu yang elitis, spekulatif, manipulatif dan destruktif yang berakibat pada proses pemiskinan masyarakat. Fungsikan uang hanya sebagai alat tukar saja dengan menghapus kegiatan judi dan spekulasi. Ekonomi ribawi sebagai sumber labilitas ekonomi harus dihilangkan. Berlakukan mata uang dinar dan dirham. Tata lembaga keuangan (bank dan non-bank) sesuai prinsip-prinsip syariah sebagai satu-satunya pilihan.

Dari sisi mikroekonomi, semua transaksi ekonomi ekonomi dan bisnis harus sesuai dengan prinsip bisnis syariah, baik Muslim maupun non-Muslim. Semua masyarakat harus paham semua transaksi yang diharamkan sehingga dapat menghindarinya. Semua harus memahami semua transaksi yang diperkenankan dalam Islam sehingga para pelaku ekonomi dan bisnis dapat berbisnis dengan berbagai alternatif yang diperkenankan dalam Islam.

 

  1. Sistem Distribusi Islam.

Allah SWT telah memberikan jaminan rezeki (Lihat, antara lain:  QS Hud [11]: 6). Artinya, rezeki yang diberikan oleh Allah kepada makhluk-Nya di muka bumi ini pasti cukup. Dengan begitu, tidak ada satu pun yang tidak mendapatkan bagian rezeki dari Allah SWT.

Namun, akibat buruknya distribusi, yang tidak pernah dianggap sebagai masalah dalam sistem Kapitalisme, maka krisis ekonomi, termasuk krisis moneter itu pun terjadi. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi Islam yang diterapkan Negara Khilafah, masalah distribusi ini telah diselesaikan dengan tuntas. Sistem distribusi dilakukan dengan pendekatan sosial (zakat, infak, sedekah, warisan dll), komersial (jual-beli, sewa, kerjasama bisnis) maupun pendekatan legal dengan menghilangkan berbagai praktik yang menghambat distribusi ekonomi (seperti menimbun).  Dengan demikian potensi terjadinya krisis dari pintu distribusi ini pun telah tertutup.

Sumber perekonomian negara yang bertumpu pada empat sektor (pertanian, perdagangan, industri dan jasa) bisa diupayakan oleh setiap warga negara Khilafah. Sumber-sumber lain dari harta milik umum dikelola oleh Negara. Demikian pula  harta milik negara itu sendiri. Dengan itu nyaris tidak ada pintu bagi krisis ekonomi maupun moneter dalam Negara Khilafah, kecuali kalau terjadi bencana atau peperangan.

Namun, potensi terjadi krisis akibat bencana atau peperangan pun bisa diminalisir karena faktor thawari’ atau emergency (darurat). Bukan karena faktor siklus tahunan. Apalagi sistemik. Jika faktornya karena thawari’ atau emergency (darurat), itu pun dengan asumsi, jika tingkat bencana atau peperangan yang terjadi melebihi cadangan dana yang ada di Baitul Mal.

Jika kondisi darurat tersebut terjadi, Negara Khilafah bisa memobilisasi potensi domestik. Melalui saluran televisi, radio, surat kabar, internet atau media yang ada, Khalifah bisa mengumumkan kepada seluruh rakyat, bahwa negara Khilafah sedang menghadapi kondisi emergency, baik bencana maupun peperangan. Diumumkan bahwa negara membutuhkan uluran tangan mereka. Dengan sukarela rakyat pasti akan berbondong-bondong memberikan hartanya kepada negara. Inilah yang ditempuh oleh Rasulullah saw., saat negara menghadapi Perang Tabuk.

Krisis di suatu wilayah juga bisa memicu terjadinya urbanisasi besar-besaran, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah. Urbanisasi ini juga bisa menimbulkan dampak social maupun finansial. Ini karena beban di wilayah tertentu, khususnya tujuan urbanisasi tersebut, meningkat. Dalam kasus lain, kesibukan umat Islam berjihad menaklukan wilayah Irak, Syam dan Mesir, ternyata juga menyebabkan terganggunnya pertanian Khaibar. Akibatnya, hasil panennya pun menurun.

Namun, untuk mengatasi krisis ekonomi dan keuangan dalam kondisi darurat tersebut, bisa ditempuh dengan cara yang dilakukan oleh Rasul. Jika tindakan tersebut tidak mencukupi, maka negara bisa melakukan pinjaman, bisa dari dalam maupun luar negeri. Tentu dengan syarat dan ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, dan tidak menjadikan negara tidak merdeka.

Seluruh kebutuhan tersebut kemudian akan ditutup oleh negara dengan menetapkan pajak (dharibah) kepada orang kaya, laki-laki, dewasa dan Muslim. Adapun orang miskin, anak-anak, kaum perempuan dan kaum kafir tidak terkena kewajiban membayar pajak.

 

Alternatif Lain

Selain solusi di atas, negara Khilafah bisa andil dalam memikul penderitaan dan memberikan keteladanan kepada rakyat. Khalifah Umar tidak pernah makan di rumah salah satu putranya ataupun di salah satu istrinya. Ia makan bersama rakyatnya sehingga Allah menghidupkan manusia seperti mereka hidup.

Selain itu, manajemen krisis pun telah berhasil dilakukan dengan baik. Misalnya, ketika urbanisasi ke Madinah, para pengungsi diatur dan diurusi dengan membagikan makanan dan lauk-pauk. Penanggung jawabnya adalah Yazid bin Namir, Miswar bin Makhramah, Abdurahman bin Abdul Qari dan Abdullah bin Utbah bin Mas’ud. Ketika kembali Khalifah Umar mengatur kepulangan mereka dengan perbekalan makanan yang cukup dan kendaraan unta.

Penduduk badui yang terkena dampak, yang tidak dapat diungsikan ke Madinah, dikirimi bantuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu tiap pagi dan sore Khalifah Umar mengecek makanan mereka.  Khalifah Umar juga melakukan beberapa pengecualian. Di antaranya, menunda penarikan zakat hewan yang terkena dampak krisis. Menganulir had pencurian, jika memang terdesak kebutuhan. Memberikan jaminan sosial wajib, dan pemulangan kembali orang-orang badui ke kampung mereka [10].

WalLahu a’lam. []

 

Referensi

[1]      M. A. Kose, Sugawara, Naotaka, and M. E. Terrones, “Global Recession,” 10/2020, 2015.

[2]      C. Jones, “The credit crunch: short-term UK housing market correction or long-term tipping point?,” Int. J. Hous. Policy, vol. 16, no. 1, pp. 70–90, Jan. 2016, doi: 10.1080/14616718.2015.1067971.

[3]      G. Petrakos, “Economic Crisis In Greece. European And Domestic Market And Policy Failures,” Reg. Dev., vol. 39, pp. 9–33, 2014.

[4]      J. Francois and J. Woerz, “The big drop: Trade and the Great Recession,” VOX-CEPR Policy Portal, 2009. [Online]. Available: https://voxeu.org/article/big-drop-trade-and-great-recession.

[5]      R. Lagravinese, “Economic crisis and rising gaps North–South: evidence from the Italian regions,” Cambridge J. Reg. Econ. Soc., vol. 8, no. 2, pp. 331–342, 2015.

[6]      M. Giugni and M. T. Grasso, “Austerity and Protest: Popular Contention in Times of Economic Crisis,” Contemp. Sociol. A J. Rev., vol. 46, no. 2, pp. 242–243, Mar. 2017, doi: 10.1177/0094306117692575a.

[7]      I. Ozsoy, “An Islamic Suggestion of Solution to the Financial Crises,” Procedia Econ. Financ., vol. 38, no. October 2015, pp. 174–184, 2016, doi: 10.1016/s2212-5671(16)30188-5.

[8]      M. R. Aziz, “Riba: Pengertian, Jenis, dan Contohnya,” Fanpage Muhammad Rosyid Aziz, 2017. [Online]. Available: https://www.facebook.com/mrosyidaziz/posts/riba-pengertian-jenis-dan-contohnyatanya-mohon-dijelaskan-tentang-pengertian-rib/1619319858118204/. [Accessed: 09-Jun-2020].

[9]      M. F. U. Haq, “Data Kesenjangan Indonesia: 1% Orang Kuasai 50% Aset Nasional,” Detiknews, 2019. [Online]. Available: https://news.detik.com/berita/d-4739313/data-kesenjangan-indonesia-1-orang-kuasai-50-aset-nasional. [Accessed: 09-Jun-2020].

[10]    H. Abdurrahman and A. Adiningrat, “Kebijakan Khilafah Mengatasi Krisis Keuangan,” @IslamMengaturMasyarakat, 2015. .

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen + fourteen =

Back to top button